LIRIK LANGIT

Danri AS
Chapter #21

BAB 21 - Rasa Bersama

Pagi harinya kami tetap bersekolah seperti biasa. Hari ini adalah hari selasa, hanya tinggal hari ini perlombaan pidato akan di selenggarakan. Bram tidak masuk sekolah, ia mungkin menjaga ayahnya yang sedang di rawat di puskesmas.

Sesampainya aku di dalam ruangan kelas, Wati sudah sehat dan ia duduk di bangkunya. Ketika aku lewat dari samping, ia memanggilku dan mengatakan kalau ia sudah mengetahui masalah yang sedang terjadi. Wati memujiku ia merasa bangga padaku, yang telah menggantikannya dalam lomba pidato untuk mewakili kecamatan. Ia memberiku semangat dan yakin padaku, kalau besok aku pasti bisa tampil berpidato di depan bapak bupati.

Pak Harto berbicara di halaman sekolah ketika kami berbaris. Ia memberikan semangat kepada kami agar tetap semangat belajar. Selain itu, pak Harto juga mengatakan agar kami fokus belajar dan jangan memikirkan hal lain berhubungan dengan masalah sekolah. Pak Harto berjanji akan memberikan, yang terbaik bagi kami murid-muridnya.

Setelah selesai berbaris, bu Santi datang masuk ke dalam ruangan kelas kami. Ia mengatakan agar kami membaca buku bahasa Indonesia. Ia ikut bersama dengan bu Yanti dan bang Simal, ke kantor dinas pendidikan.

Bu Santi pergi meninggalkan kami, kupandang dari pintu ruangan kelas ia membonceng bu Yanti, dan bang Simal hanya sendirian naik sepada motor. Aku sungguh tidak bersemangat untuk membaca buku. Pikiranku fokus untuk pidato besok, apakah aku bisa tampil atau tidak.

Lonceng jam istrahat pertama berbunyi, aku pergi ke halaman sekolah. Sepeda motor ayah yang di pakai bang Simal, belum ada di parkiran. Aku duduk di bawah pohon halaman sekolah.

Termenung sembari tetap memandang ke parkiran. Menantikan kedatangan bang Simal, bu Santi dan bu Yanti. Mikel, Wati dan beberapa temanku yang lain datang menghampiriku, mereka juga duduk bersamaku.

“Kamu harus tetap semangat Saga” ucap Mikel. Mereka menemaniku duduk di bawah pohon, sembari tetap memandang ke parkiran menanti kedatangan bang Simal, bu Santi dan bu Yanti. Suara lonceng jam istrahat telah selesai berbunyi. Kami masih tetap duduk di bawah pohon menatap ke area parkiran.

Pak Harto datang menghampiri, menyuruh untuk masuk ke dalam ruangan kelas. “Izinkan kami menunggu bang Simal, bu Yanti dan bu Santi di sini pak” ucapku. Pak Harto menyuruh agar menunggu mereka, di dalam ruangan kelas saja. “Apa gunanya kami di dalam ruangan pak, kalau hanya badan kami yang di sana sedangkan pikiran kami ada di sini” ucap Wati.

Aku juga memohon kepada pak Harto agar mengijinkan, untuk tetap duduk di bawah pohon ini sampai bang Simal, bu Yanti dan bu Santi datang. “Selama ini kami mendengarkan semua perkataan bapak, dan kami tidak pernah meminta sesuatu pun. Sekali ini kami meminta kepada bapak agar mengizinkan kami tetap disini pak” ucapku.

Pak Harto meninggalkan kami tanpa sepatah kata pun. Ia masuk ke dalam ruangan kepala sekolah. Aku sungguh terkejut, tiba-tiba pak Harto mengambil bangku dan duduk bersama kami.

Guru-guru dan seluruh murid yang lain juga mengikuti pak Harto, duduk bersama menatap ke parkiran. Menanti kedatangan bang Simal, bu Yanti, dan bu Santi. Semua terkejut melihat Bram lewat naik kerbau, ia tepat di pandangan kami semua. Posisi parkiran kendaraan tepat di samping jalan pedesaan. Sehingga siapa saja yang lewat, termasuk Bram tidak luput dari pandangan kami.

Bram dengan santai berhenti di pinggir jalan sambil menatap kami. Ia seperti heran, melihat kami duduk dan memandang ke arahnya. Bram dengan berani menghampiri kami dengan naik kerbau. Kami semua duduk mengganti tatapan kami kepada Bram. Ia berada di depan kami dan duduk diatas kerbau.

"Baru kau murid pertama di Indonesia ini Bram, tidak masuk sekolah tapi datang dengan naik kerbau" ucap pak Harto. "Iya Pak maaf" ucap Bram. "Kau turun dari kerbaumu Bram, jangan kau berbicara dari atas kerbau" seperti raja. "Tidak ada raja naik kerbau Mikel, raja itu naik kuda" kata Wati. "Kau turun Bram, tunjukkan rasa hormatmu berbicara dengan guru" kata Wati. Bram pun langsung lompat dari kerbaunya.

Pak Harto bertanya kenapa ia tidak sekolah. Bram menjelaskan ayahnya sedang sakit, tadi malam mereka tidur di puskesmas. Ia dengan kedua orang tuanya baru saja pulang dari puskesmas.

Bram ingin pergi memberi makan kerbaunya ke tanah lapang tempat biasa bermain bola. Bram hendak pergi tadi pagi ke sekolah, tetapi tidak mungkin karena sudah jam Sembilan pagi.

Aku membenarkan perkataan Bram kalau ayahnya memang sakit. Hampir terkena demam berdarah karena trombositnya rendah. Mendengar itu pak Harto memaklumi situasi Bram. Bram bertanya pada Mikel kami sedang apa. “Belajar duduk” kata Mikel.

Bram melihat semua hanya diam termenung. Ia mengikatkan kerbau ke pagar sekolah. Kerbaunya memakani rumput di pekarangan sekolah dengan lahap. Bram pun duduk bersama kami, seakan ia sedang bersekolah.

Hanya ia yang tidak mengenakan seragam sekolah. Beberapa orang yang lewat di jalan, sepertinya heran melihat kami duduk terdiam. Tidak tau sudah berapa lama kami duduk, tetapi yang pasti harapan kami hanya manantikan kedatangan bang Simal, bu Yanti dan bu Santi.

Tampak bang Simal telah datang sedangkan bu Santi dan bu Yanti, berada di belakang Bang Simal. Mereka menatap seakan heran melihat kami semua. Begitu juga dengan kerbaunya Bram, sedang makan rerumputan di halaman sekolah.

Semua berdiri sedangkan bang Simal, bu Santi dan bu Yanti berjalan menuju kearah kami. “Bagaimana hasilnya Simal?” tanya pak Harto. Bang Simal hanya tertunduk terdiam, bu Santi mengatakan semua harus bersabar menerima kenyataan kalau kami tetap di batalkan ikut lomba pidato.

Aku sungguh terkejut mendengarnya. Tidak tau harus mengatakan apa lagi. Aku hanya diam dan duduk di tanah.

“Kau berdiri Saga” kata pak Harto dengan nada tegas. Aku berdiri dan meneteskan air mata. “Kenapa kita diperlakukan tidak adil pak!?” kataku. “Hapus air matamu Saga dan jangan seperti orang yang kalah, kita belum kalah Saga.” “Diri kita mungkin kalah, tetapi jiwa kita adalah jiwa pemenang” kata bu Santi dengan nada yang keras.

Pak Harto menyuruh kami pulang lebih awal, untuk menenangkan pikiran. Semua bubar ke dalam ruangan masing-masing untuk mengambil tas. Aku masih di bawah pohon beserta dengan Bram dan bang Simal.

Tiba-tiba bu Santi memanggil Bram, sebab kerbaunya membuang kotoran di halaman sekolah. Bram di suruh bu Santi untuk segera membawa kerbaunya pulang. Bram mengajak aku untuk pergi ke lapangan tempat biasa kami bermain bola. Aku pun pergi dengan Bram, sedangkan bang Simal pulang dan akan menyusul kelapangan.

Aku dan Bram pergi dengan menaiki kerbaunya. Diperjalanan aku menjelaskan semua yang terjadi kepada Bram. Ia pun memberiku semangat. Sesampainya di lapangan, Bram mengikatkan kerbaunya di sebuah kayu yang sudah tertancap di tanah. Aku dan Bram berbaring di rerumputan. Aku belum menyerah untuk menerima keadaan, pikiranku masih berhayal aku besok berdiri di depan bapak bupati untuk berpidato.

Terdengar suara sepeda motor, kami mengira itu adalah bang Simal, ternyata kak Nara dengan bang Rudi. Bang Rudi sudah lama tidak pulang ke desa Kaja karena bekerja di kota. Bang Simal datang, ia membawakan sesuatu di dalam kantong plastik hijau. Ia duduk di samping bang Rudi. Kak Nara memperkenalkan bang Rudi adalah calon suaminya. Dua minggu lagi mereka akan menikah.

Aku tidak terlalu terkejut medengarnya, karena mulai dulu bang Rudi dan kak Nara selalu bersama-sama. Lain halnya dengan bang Simal, tampak dari ekspresi wajahnya terkejut. “Oooo selamatya Nara” ucap bang Simal. Kak Nara mengatakan kepada bang Rudi, kalau bang Simal adalah mahasiswa yang pernah di ceritakanya kepada bang Rudi lewat telepon.

“Kok kalian sudah pulang sekolah Saga?” kata kak Nara. “Kami di suruh bapak kepala sekolah untuk pulang cepat kak” kataku. “Loooo kok gitu Saga?” kata kak Nara. “Aku juga tidak tau kak” kataku.

“Jadi tadi ada sedikit masalah di sekolah, pak Harto memulangkan murid-muridnya lebih cepat Nara” kata bang Simal. “Oooooo…eh bajumu untuk besok sudah siap looo Saga” kata kata Nara. “Iya kak” kataku dengan muka lesuh. “Sepertinya kau tidak senang Saga!” kata kak Nara. “Itu akibat, masalah yang di katakan bang Simal kak” kata Bram. “Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi, Simal sebenarnya ada apa?” kata Kak Nara.

Bang Simal menerangkan semua yang terjadi di sekolah, termasuk juga kalau aku tidak jadi ikut lomba pidato untuk besok. Mendengar itu kak Nara langsung memelukku. Ia memberikan semangat padaku, agar aku tetap semangat apapun yang terjadi. Begitu juga bang Rudi, ia memberikan semangat juga padaku sembari menepuk pundakku.

"Kamu nanti harus datang ya Simal, ke pernikahanku” ucap kak Nara. Tetapi bang Simal tidak bisa berjanji untuk hadir di acara pernikahan kak Nara, karena bang Simal hari Sabtu akan balik ke kota.

Kak Nara dan bang Rudi pergi! “Bang di dalam plastik itu apa?” tanya Bram. “Oooo ini mie goreng, abang belikan tadi dua bungkus untuk kalian” ucap bang Simal. Bram langsung semangat ingin memakan mie goreng tersebut. Aku juga kebetulan sudah mulai lapar.

Aku dan Bram memakan mie goreng, sedangkan bang Simal sesekali ia memfoto kami sambil makan mie goreng. Cabai potong yang ada di dalam mie goreng tergigit Bram. Ia pun kepedasaan sambil meminta air putih kepada bang Simal. Aku tertawa melihat Bram.

Lihat selengkapnya