Pagi harinya kami tetap bersekolah seperti biasa. Hari ini adalah hari selasa, hanya tinggal hari ini perlombaan pidato akan di selenggarakan. Bram tidak masuk sekolah, ia mungkin menjaga ayahnya yang sedang di rawat di puskesmas. Sesampainya aku di dalam ruangan kelas, Wati sudah sehat dan ia sedang duduk di bangkunya. Ketika aku lewat dari samping, ia memanggilku dan mengatkan kalau ia sudah mengetahui maslah yang sedang terjadi. Wati memujiku ia merasa bangga padaku, yang telah menggantikannya dalam lomba pidato untuk mewakili kecamatan dan aku bisa mewakili kecamatan kami. Ia memberiku semangat dan yakin padaku, kalau besok aku pasti bisa tampil berpidato di depan bapak bupati.
Pak Harto berbicara di halaman sekolah ketika kami berbaris, ia memberikan semangat kepada kami agar tetap semangat dalam belajar. Selain itu, pak Harto juga mengatakan agar kami fokus untuk belajar dan jangan memikirkan hal lain yang berhubungan dengan masalah sekolah. Pak Harto berjanji akan memberikan, yang terbaik bagi kami murid-muridnya.
Setelah selesai berbaris, bu Santi datang masuk ke dalam ruangan kelas kami. Ia mangatakan agar membaca buku bahasa Indonesia, karena ia ingin ikut bersama dengan bu Yanti dan bang Simal ke kantor dinas pendidikan. Bu Santi pergi meninggalkan kami, kupandang dari pintu ruangan kelas ia membonceng bu Yanti, dan bang Simal hanya sendirian naik sepada motor ayah. Aku sungguh tidak bersemangat untuk membaca buku, pikiranku fokus untuk pidato besok apakah aku bisa tampil atau tidak.
Lonceng jam istrahat pertama berbunyi, aku pergi ke halaman sekolah. Sepeda motor ayah yang di pakai bang Simal, belum ada di parkiran. Aku duduk di bawah pohon di halaman sekolah, ku termenung sembari tetap memandang ke parkiran, menantikan kedatangan bang Simal, bu Santi dan bu Yanti. Mikel, Wati dan beberapa temanku yang lain datang menghampiriku, mereka juga duduk di bawah pohon. “Kamu harus tetap semangat Saga” ucap Mikel. Mereka menemaniku duduk di bawah pohon, sembari tetap memandang ke parkiran mendanti kedatangan bang Simal, bu Santi dan bu Yanti. Suara lonceng jam istrahat telah selesai berbunyi, tetapi kami masih tetap duduk di bwah pohon smebari menatap ke area parkiran.
Pak Harto datang menghampiri kami, dan menyuruh untuk masuk ke dalam ruangan kelas. “Izinkan kami menunggu bang Simal, bu Yanti dan bu Santi di sini pak” ucapku. Pak Harto menyuruh agar menunggu mereka, di dalam ruangan kelas saja. “Apa gunanya kami di dalam ruangan pak, kalau hanya badan kami yang di sana sedangkan pikiran kami ada di sini” ucap Wati. Aku juga memohon kepada pak Harto agar mengijinkan, untuk tetap duduk di bawah pohon ini sampai bang Simal, bu Yanti dan bu Santi datang. “Selama ini kami mendengarkan semua perkataan bapak, dan kami tidak pernah meminta sesuatu pun, sekali ini kami meminta kepada bapak agar izinkan kami tetap disini pak” ucapku.
Pak Harto meninggalkan kami tanpa sepatah kata pun, ia masuk kedalam ruangan kepala sekolah. Aku sungguh terkejut, tiba-tiba pak Harto mengambil bangku dan duduk bersama kami. Guru-guru dan seluruh murid yang lain juga mengikuti pak Harto, duduk bersama kami sembari menatap ke parkiran menanti kedatangan bang Simal, bu Yanti, dan bu Santi. Semua terkejut melihat Bram lewat naik kerbau, ia tepat di pandangan kami semua. Posisi parkiran kendaraan tepat di samping jalan pedesaan, sehingga siapa saja yang lewat termasuk Bram tidak luput dari pandangan kami.
Bram dengan santai berhenti di pinggir jalan sambil menatap kami. Ia seperti heran, melihat kami sedang duduk dan memandang ke arahnya. Bram dengan berani menghampiri naik kerbau, pak Harto bertanya kenapa ia tidak sekolah. Bram menjelaskan ayahnya sedang sakit dan tadi malam mereka tidur di puskesmas, ia dengan kedua orang tuanya baru saja pulang dari puskesmas.
Bram ingin pergi memberi makan kerbaunya ke tanah lapang tempat biasa bermain bola. Bram hendak pergi tadi pagi kesekolah, tetapi tidak mungkin karena sudah jam Sembilan pagi. Aku membenarkan perkataan Bram kalau ayahnya memang sakit, dan hampir terkena demam berdarah karena trombositnya rendah. Mendengar itu pak Harto kembali duduk, dan Bram bertanya pada Mikel kami sedang apa. “Belajar duduk” kata Mikel.
Bram melihat semua hanya diam termenung, ia mengikatkan kerbau ke pagar sekolah dan kerbaunya memakani rumput di pekarangan sekolah. Bram pun duduk bersama kami, seakan ia sedang bersekolah. Hanya ia yang tidak mengenakan seragam sekolah. Beberapa orang yang lewat di jalan, sepertinya heran melihat kami semua duduk terdiam di bawah pohon sambil menatap ke depan. Tidak tau sudah berapa lama kami duduk, tetapi yang pasti harapan kami hanya manantikan kedatangan bang Simal, bu Yanti dan bu Santi.
Tampak bang Simal telah datang sedangkan bu Snati dan bu Yanti, berada di belakang Bang Simal. Mereka menatap kami seakan heran melihat kami semua berada di bawah pohon, dan kerbaunya Bram yang sedang makan rerumputan di halaman sekolah. Semua berdiri sedangkan bang Simal, bu Santi dan bu Yanti berjalan menuju kearah kami. “Bagaimana hasilnya Simal?” tanya pak Harto. Bang Simal hanya tertunduk terdiam, bu Santi mengatakan semua harus bersabar menerima kenyataan kalau sekolah aku tetap di batalkan ikut lomba pidato. Aku sungguh terkejut mendengarnya, tidak tau harus mengatakan apa lagi. Aku hanya diam dan duduk di tanah.
“Kau berdiri Saga” kata pak Harto dengan nada tegas. Aku berdiri dan meneteskan air mata. “Kenapa kita diperlakukan tidak adil pak!?” kataku. “Hapus air matamu Saga dan jangan seperti orang yang kalah, kita belum kalah Saga.” “Diri kita mungkin kalah, tetapi jiwa kita adalah jiwa pemenang” kata bu Santi dengan nada yang keras. Pak Harto menyuruh kami pulang lebih awal, untuk menenangkan pikiran. Semua bubar ke dalam ruangan masing-masing untuk mengambil tas, sedangkan aku masih di bawah pohon beserta dengan Bram dan bang Simal.
Tiba-tiba bu Santi memanggil Bram, sebab kerbaunya Bram membuang kotoran di halaman sekolah. Bram di suruh bu Santi untuk segera membawa kerbaunya pulang, Bram mengajak aku untuk pergi ke lapangan tempat biasa kami bermain bola. Aku pun pergi dengan Bram, sedangkan bang Simal mengatakan ke rumah dulu baru akan menyusul mereka kelapangan. Sesampainya di lapangan, Bram mengikatkan kerbaunya di sebuah kayu yang sudah tertancap di tanah. Aku dan Bram berbaring di rerumputan, tempat kami biasa bermain bola sambil memikirkan bagaiman aku bisa besok iktu berpidato. Aku belum menyerah untuk menerima keadaan, pikiranku masih berhayal aku besok berdiri di depan bapak bupati untuk berpidato.
Terdengar suara sepeda motor, kami mengira itu adalah bang Simal, ternyata kak Nara dengan bang Rudi. Bang Rudi sudah lama tidak pulang ke desa Kaja karena bekerja di kota. Bang Simal datang dengan menaiki sepeda motor ayah, ia membawakan sesuatu di dalam kantong plastik hijau. Bang Simal duduk di saming bang Rudi, kemudian kak Nara memperkenalkan bang Rudi adalah calon suaminya dan dua minggu lagi mereka ingin menikah. Aku tidak terlalu terkejut medengarnya, karena mulai dulu bang Rudi dan kak Nara selalu bersama-sama. Lain halnya dengan bang Simal, tampak dari ekspresi mukanya yang terkejut mendengar kak Nara akan menikah dengan bang Rudi. “Oooo selamatya Nara” ucap bang Simal. Kak Nara mengatakan kepada bang Rudi, kalau bang Simal adalah mahasiswa yang pernah di ceritakanya kepada bang Rudi lewat telepon.
“Kok kalian sudah pulang sekolah Saga?” kata kak Nara. “Kami di suruh bapak kepala Sekolah untuk pulang cepat kak” kataku. “Loooo kok gitu Saga?” kata kak Nara. “Aku juga tidak tau kak” kataku.
“Jadi tadi ada sedikit masalah di sekolah, pak Harto memulangkan murid-muridnya lebih cepat Nara” kata bang Simal. “Oooooo…eh bajumu untuk besok sudah siap looo Saga” kata kata Nara. “Iya kak” kataku dengan muka lesuh. “Sepertinya kamu tidak senang Saga!” kata kak Nara. “Itu akibat, masalah yang di katakan bang Simal kak” kata Bram. “Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi, Simal sebenarnya ada apa?” kata Kak Nara.
Bang Simal menerangkan semua yang terjadi di sekolah, termasuk juga kalau aku tidak jadi ikut lomba pidato untuk besok. Mendengar itu kak Nara langsung memelukku, ia memberikan semangat padaku dan agar aku tetap semangat apapun yang terjadi. Begitu juga bang Rudi, ia memberikan semangat juga padaku sembari menepuk pundakku. “Kamu nanti harus datangya Simal, ke pernikahanku” ucap kak Nara. Tetapi bang Simal tidak bisa berjanji untuk hadir di acara pernikahan kak Nara, karena bang Simal hari Sabtu akan balik ke kota.
Kak Nara dan bang Rudi pergi! “Bang di dalam palstik itu apa?” tanya Bram. “Oooo ini mie goring, abang belikan tadi dua bungkus untuk kalian” ucap bang Simal. Bram langsung semangat ingin memakan mie goring tersebut, aku juga kebetulan sudah mulai lapar. Aku dan Bram memakan mie goreng, sedangkan bang Simal sesekali ia memfoto kami sambil makan mie goreng. Cabai potong yang ada di dalam mie goreng tergigit Bram, iapun kepedasaan sambil meminta air putih kepada bang Simal dan aku tertawa melihat Bram.
Bang Simal lupa membawa air putih, ia hendak pergi membelikan air putih tetapi Bram mengatakan tidak usah. Plastik kantongan yang hijau tadi di bawa Bram berlari, “Bram itu mau kemana Saga?” tanya bang Simal. “Bram itu mau ke mata air dibawah pohon bambu itu bang (sembari menunjuk)” kataku. Bang Simal bertanya kembali apakah air dari mata air itu, bisa di minum langusng tanpa di masak terlebih dahulu. Ku yakinkan bang Simal, kalau minum air mentah dari mata air itu tidak akan kenapa-napa. Kami ketika main bola dan kalau lagi kehausan, aiar yang kami minum adalah air mentah dari mata air yang ada di bawah bambu.
Bram datang dengan berlari dan sepertinya ia tidak kepedasan lagi, ia memberikan air di dalam kantongan plastik hijau untukku. Baram kembali duduk, dan melanjutkan memakan mie gorengnya kembali. Aku memberikan air yang di ambil Bram ke pada bang Simal, agar ia membuktikan langsung ucapanku tadi. Bang Simal meminum air tersebut, ia menuangkan ke mulutnya dari plastik itu. “Ada manis-manisnya dikit ya” ucap bang Simal. Aku kemudian meminum air itu juga, karena mie gorengku sudah habis. Begitu juga dengan Bram, ia telah menghabiskan mie gorengnya dan tempat mie gorengnya sangat bersih di buatnya.
Pak Karno tetangga Bram datang menghampiri kami, pak Karto mengatakan agar Bram sabar karena ayahnya telah meninggal dunia. Sungguh aku sangat terkejut mendengarnya, Bram emlemparkan kantongan plastic yang bersi air dari tanganya dan langsung berlari pulang ke rumahnya. “Bram………” teriakku memanggil Bram yang sudah berlari jauh meninggalkan kami. Aku hendak membawa kerbaunya Bram pulang, tetapi pak Karno menyuruh kami untuk menyusul Bram. Pak Karno yang akan membawa kerbaunya Bram pulang. Bang Simal langsung melajukan sepeda motor ayah dengan laju yang sangat cepat, kami tidak melihat Bram lagi di jalan. Di jalan yang berlubang terpkas bang Simal memperlambat kecepatan, kebetulan kak Kristin lewat dari depan kami. “Ayahnya Bram meninggal kak” kataku. Kak Kristin langsung mengikuti kami dari belakang, dan sesampainya di depan rumah Bram orang-rang desa sudah banyak berkumpul.
Terdengar ke halaman rumah Bram, ia sedang menangis berteriak sambil memanggil ayahnya. “Saga ayahnya Bram meninggal gara-gara apa” ucap kak Kristin dengan suara yang pelan. “Kemarin aku dan bang Simal ke puskemas mengjenguk ayahnya Bram kak, dan kata ibunya Bram ayahnya Bram cuma kelelahan dan trombositnya rendah” ucapku. Ayah dan ibu juga datang dengan pakaian untuk melayat, ibu menyuruhku untuk mengganti seragam sekolahku dulu. Ibu juga menyuruhku untuk mengunci pintu rumah, ibu dan ayah buru-buru tadi dan lupa mengunci rumah.