LIRIK LANGIT

Danri AS
Chapter #22

BAB 22 - Akhir Sebuah Harapan

Terdengar suara ayam begitu kuat, aku terbangun dari tidur. Bang Simal sudah tidak ada lagi sampingku. Aku tetap teringat perlombaan pidato, hal itu membuatku merasa tak bersemangat ke sekolah. Aku pergi menjumpai ibu yang sedang memasak, sedangkan bang Simal berada di dalam kamar mandi. “Bu aku hari ini tidak masuk sekolah ya?” kataku. “Loooo kenapa kau tidak sekolah hari ini” kata ibu. Aku beralasan tidak bersemangat, dan selalu teringat perlombaan pidato membuatku tidak semangat.

“Hari ini guru akan mengadakan rapat lagi bu, sekitar jam sepuluh murid-murid sudah dipulangkan" kataku. "Biarkan saja Saga menenangkan pikirannya bu” kata bang Simal sambil melap kepalanya. Mendengar perkataan bang Simal, ibu mengijinkan untuk tidak bersekolah.

“Izin juga kepada ayah di teras rumah Saga” kata ibu. Aku pergi ke teras rumah untuk miminta izin, ayah sedang minum kopi sambil membaca Koran. “Yah hari ini aku tidak sekolah” kataku. “Kenapa kau tidak sekolah Saga?” kata ayah sambil membaca Koran. Aku mengatakan kepada ayah kalau aku lagi tidak bersemangat, mengulang yang di katakan bang Simal kepada ibu.

Ayah tetap tidak mengijinkan untuk tidak bersekolah, ia menyuruh agar tetap semangat bersekolah. Bang Simal tiba-tiba datang. Ia mendukungku untuk tidak bersekolah. Bang Simal menerangkan, kalau hari ini murid-murid hanya kebersihan saja dan setelah kebersihan akan di suruh pulang.

Mendengar penjelasan dari bang Simal, ayah mengijinkan untuk tidak bersekolah. Bang Simal sepertinya sangat mengerti apa yang kurasakan. Aku memang ingin melewati hari ini tanpa bersekolah untuk melupakan perlombaan pidato.

Setelah sarapan pagi, ayah dan bang Simal pergi ke kantor polisi. Aku dan ibu tinggal dirumah. Tiba-tiba aku teringat kepada Bram, ia juga hari ini tidak bersekolah. Aku meminta izin kepada ibu untuk pergi menjumpai Bram.

Ibu mengijinkan dengan syarat jangan kelamaan pulang. Aku berjalan sendiri menuju rumah Bram, sambil berusaha membuang jauh-jauh pikiran tentang perlombaan pidato. Sesampainya di depan rumah Bram, pamannya Bram sedang berdiri sambil memperbaiki sepeda motor. “Paman, Bram ada di rumah?” kataku. “Ehhh kau Saga, Bram ada di dalam rumah” kata paman Bram.

Aku berteriak memanggil Bram, ia keluar dengan baju kaos berwarna putih. “Bagaimana keadaanmu Bram?” kataku. “Aku merasa kehilangan Saga, tetapi ibu menyuruh agar tetap semangat dan mengiklaskan kepergian ayah” kata Bram. Kami bercerita di depan rumahnya, sambil duduk di atas gareta Bram. Aku terkejut ketika melihat Wati, dan semua teman satu kelas datang menjenguk Bram.

“Bram ajak teman-temannya masuk” kata ibu Bram sembari berdiri di pintu rumah. Raut wajah ibu Bram sudah mulai tampak sehat, tidak seperti kemarin sangat lemas dan pucat. Kami masuk ke dalam rumah, duduk di lantai beralaskan tikar. Canda tawa mulai terasa lagi dalam diri Bram, saat saling bercerita dan berbagi.

Ibu bram menghidangkan minuman teh manis. Paman Bram masuk ke dalam rumah dengan membawakan roti. “Seandainya kau beripidato hari ini Saga, kami pasti datang untuk mendukungmu” kata Bram. “Mungkin belum rejekiku Bram, berpidato di depan bapak Bupati” kataku. “Kau tetap semangat ya Saga” kata Wati. “Aku selalu semangat kok” kataku.

Terdengar suara sepeda motor, sepertinya suara itu aku kenal. “Saga” kata bang Simal. Ia tiba-tiba berdiri di pintu, kemudian duduk bersama kami. “Kau akan berpidato hari ini” kata bang Simal. “Maksudnya bang” kataku. “Bagaimana mungkin bang, bukankah Saga sudah dikeluarkan dari peserta lomba” kata Wati. Bang Simal tidak menerangkan, kenapa aku bisa ikut kembali dalam lomba pidato.

“Kalau gitu kami semua akan ke kantor bupati bang mendukung Saga” kata wati. “Kita naik apa ke kantor bupati?” tanya Mikel. “Kita pinjam mobilnya pak Bondo aja” kata Bram. Pak Bondo memiliki mobil tua dan jarang digunakan. Biasanya pak Bondo menggunkannya untuk mengangkut hasil panen dari ladang.

“Trus siapa yang jadi supir?” tanyaku. Kami bingung siapa yang akan menjadi supir. “Tenang saja, paman yang akan menjadi supir” kata paman Bram sembari berjalan duduk disampingku.

Bram dan bang Simal pergi ke rumah pak Bondo, untuk meminjam mobil. Sedangkan kami menunggu Bram dengan perasaan cemas dan bahagia. “Kau harus juara Saga” kata Wati. “Aku akan berusaha memberikan yang terbaik” kataku.

Aku kembali bersemangat, seakan tidak sabar lagi berpidato. Semangatku berkobar-kobar di dalam hati.

“Pak Bondo bersedia meminjamkan mobilnya” kata Bram. Aku diajak bang Simal pergi ke sekolah terlebih dahulu. Teman-temanku yang lain beserta pamannya Bram, berjalan kaki ke rumah pak Bondo.

Sesampainya di sekolah kami berjalan menuju kantor kepala sekolah. Tiba-tiba pak Harto keluar ruangan, ia heran melihat kami. “Kok kalian di sini Simal?” kata pak Harto. “Ada sesuatu kabar baik ingin saya sampaikan pak” kata bang Simal. Aku mendengar bang Simal bercerita kepada pak Harto, kalau kak Kristin adalah MC untuk acara lomba pidatonya. Kak Kristin tahun yang lalu juga pernah jadi MC di acara kabupaten, sehingga pihak panitia mengenal kak Kristin. MC untuk acara lomba pidato hari ini, tiba-tiba tidak bisa datang dan kak Kristin yang menggantikannya.

Bang Simal ternyata tadi di telepon kak Kristin. Sebab kami tidak ada terlihatnya di acara tersebut. Kak Kristin sebelumnya tidak mengetahui, kalau aku telah batal ikut lomba pidato. Kak Kristin menyuruhku datang ke perlombaan pidato. Ia berencana setelah semua selesai berpidato, akan menyuruhku maju ke atas panggung untuk berpidato.

Mendengar penjelasan tersebut dari bang Simal, pak Harto masih merasa ragu. Pak Harto merasa takut kalau aku nanti tidak bisa tampil. Bang Simal berusaha untuk meyakinkan pak Harto. Bu Santi dan bu Yanti datang, karena melihatku dan bang Simal.

Bang Simal menjelaskan rencananya, kepada bu Santi dan bu Yanti. “Saya sangat sepakat” kata bu Santi. Begitu juga bu Yanti yang setuju dengan rencanya bang Simal. “Kita telah dikeluarkan secara tidak hormat dari perlombaan pidato, kita harus melawan” kata bu Santi.

Pak Harto akhirnya bersedia mengikuti rencana dari bang Simal. “Saga kita bukan mencari kemenangan, tetapi kita mencari keadilan” kata bu Santi sembari jongkok dan menatapku dengan serius. Baru kali ini aku melihat, bu Santi berbicara dengan sangat serius.

Mendengar perkataan bu Santi, semangatku menjadi berkobar dan ingin segera berpidato. Bu Santi, bu Yanti, pak Harto dan guru yang lainnya, bergegas untuk pergi ke kantor bupati. “Bang, kita ke rumah kak Nara mengambil baju seperti bapak Soekarno” kataku.

Bang Simal langsung menancap gas ke rumah kak Nara. Jalan berlobang di hantamnya, ia begitu lihai dan aku merasa takut terjatuh. Aku memeluk erat punggung bang Simal, tanpa berani membuka mata.

“Sudah sampai” kata bang Simal. Aku membuka mata, dan melompat dari atas sepeda motor. Berlari masuk ke dalam kios tempat kak Nara menjait. Tidak ada kak Nara terlihat, hanya ada dua karyawan sedang menjait. Aku bertanya kepada karyawan tentang keberadaan kak Nara, tetapi tak satupun dari mereka tau kak Nara dimana. Aku berlari ke dalam rumah.

 “Kak Nara” kataku dengan suara keras. Ibu kak Nara membukakan pintu, “Kak Nara mana Bi?” kataku. “Kak Nara tadi pergi sebentar sama bang Rudi keluar” kata ibu. Aku menanyakan tentang bajuku yang di jait kak Nara, tetapi Bibi tidak tau. Bibi mengajak ke kios, untuk mencari baju tersebut.

Kami sudah mencari di setiap penyimpanan baju tidak ada ketemu. Pun, karyawan kak Nara tidak ada yang tau.

“Kau mau pakai hari ini ya Saga? Bukannya kau tidak jadi berpidato?” kata Bibi. Bang Simal menjelaskan kepada Bibi, kenapa aku hari ini bisa berpidato lagi.

Bang Simal menghubungi kak Nara tetapi hpnya ketinggalan. “Sudah Saga lupakan saja bajunya, kita tidak punya waktu lama” kata bang Simal. Aku pun harus mengiklaskan berpidato tanpa baju seperti baju bapak Soekarno.

Kami pamitan kepada bibi, bang Simal langsung menancap gas sepeda motor. Aku mengajak bang Simal untuk ke rumah dulu memberitahukan ayah dan ibu. Ternyata bang Simal sudah memberitahukan kepada ayah. Jarak tempuh ke kantor bupati dari desaku, membutuhkan waktu kurang lebih sekitar satu jam.

Terdengar suara petir menyambut perjalanan kami, sinar matahari mulai redup. Hujan turun dengan deras. “Kita tidak istrahat dulu bang, hujannya deras kita basah kunyuk” kataku. “Tidak ada waktu istrahat Saga, kita harus sampai di kantor bupati sebelum peserta terakhir selesai berpidato” kata bang Simal. Bang Simal menahan benturan hujan ke wajah. Ia dengan semangat tetap melajukan sepeda motor. Aku tetap memeluk erat bang Simal dari belakang. Meskipun aku kasihan melihatnya.

Lihat selengkapnya