I know what you did.
TRINITY terbelalak membaca deretan huruf di sehelai kertas dengan tepian berantakan, jelas akibat dirobek terburu-buru. Diam-diam dia melirik ke kanan dan ke kiri, memutar kepala ke belakang, memperhatikan teman sekelasnya satu per satu. Semua berkutat dengan urusan masing-masing. Mereka baru saja selesai berganti pakaian, dari pakaian olahraga yang penuh peluh kembali ke seragam putih abu-abu.
Kemudian, mata Trinity berhenti di tengkuk seorang cowok berambut cepak yang duduk di barisan kursi sebelah kanannya, di deretan kedua dari depan. Dia menekan bibirnya menahan geram, matanya menyipit, merasa yakin cowok itu yang menyelipkan kertas ini ke buku Olahraga yang ditinggalkannya di atas meja.
Sok sempurna! umpatnya dalam hati.
“Ih, nyebelin banget, deh. Lo tahu, nggak, Trin, anak-anak bilang Zaki hari ini nggak masuk ternyata ada misi khusus.”
Pipi Trinity memanas mendengar nama “Zaki” disebut. Perlahan dia menoleh kepada Reyana, teman sebangkunya, yang baru duduk di sampingnya.
“Misi khusus apaan?” tanyanya menahan rasa cemas.
“Bantuin anggota gengnya berbuat curang!”
Deggg! Ucapan Reyana kali ini membuat jantung Trinity berdebar makin keras.
“Maksudnya?”
Reyana memiringkan tubuhnya hingga menghadap Trinity sementara Trinity hanya menoleh, menunggu Reyana menjawab pertanyaannya.
“Jadi, pas ujian lari tadi, Zaki udah nungguin anak-anak gengnya di belokan yang nggak terlihat dari sekolah. Dia bawa mobil. Mereka masuk ke mobilnya, lalu diturunin di jalanan sebelum belokan yang terlihat dari pintu gerbang sekolah. Mereka jadi lebih cepat dari kita,” kata Reyana, ujung matanya berdenyut meredam kesal.
Trinity menelan ludah. “Lo tahu dari mana?” tanyanya berusaha terdengar biasa.
Reyana mengembuskan napas cukup keras.
“Nggak tahu, deh, siapa yang pertama cerita, tapi itu yang tadi diobrolin anak-anak di toilet saat ganti baju.”
“Terus?”
“Yaaa ... harusnya ada yang ngelaporin mereka, supaya nggak seenaknya gitu, dong.”