Malam ini adalah malam pengorbanan buat kakak Lita. Usianya genap 17 tahun hari ini. Dan tahun ini merupakan tahun yang spesial buat banyak teman sebaya kakak Lita yang merayakan ulang tahun dengan pesta dan mengundang teman sekolah. Tapi tidak buat kakak Lita. Di malam ulang tahunnya dia harus menjalani ritual yang orang tuanya rencanakan. Malam ini kakak Lita akan diserahkan pada penguasa sendang darah.
Lita melangkahkan kakinya hati-hati menaiki jalan setapak ke atas bukit. Bukit yang dipercaya penduduk tempat ribuan dedemit dan lelembut bersemayam. Beberapa kali langkah Lita terseok karena tanah yang licin bekas kucuran gerimis. Terlebih Lita harus membawa buntalan kain putih yang berisi kepala kerbau. Ini tugas yang harus dia emban malam ini. suasana begitu gelap di sekitar Lita. Hanya Bapak dan ibunya yang membawa penerangan lampu senter di depan. Bapak ibu Lita sedang menuntun kakaknya mendaki jalan gelap menembus gugusan rapat pohon-pohon yang sudah berumur ratusan tahun. Kakak Lita memakai jubah hitam dengan penutup kepala. Semakin mendekati puncak, tanah yang Lita injak semaikin landai. Di atas, gelap ranting semakin rapat bersilangan. Lita mulai mendengar suara bambu yang diketuk. Semakin lama suara itu semakin jelas. Bayangan-bayangan hitam pun mulai merambati pepohonan di kanan kiri dengan suara-suara mendengung.
Sinar bulan mulai terlihat menerobos sela rimbunan pohon. Lita bisa melihat puncak bukit. Gugusan batu-batu besar ada di sana. Sesampai sana orang tua Lita menaruh perbekalan di salah satu batu. Di tengah batu-batu itu ada sebuah sendang. Airnya yang bening memantulkan cahaya bulan. Ini pertama kali Lita ada di tempat yang tidak pernah ada orang berani kesini. Bapak Lita mengambil kepala kerbau dari tangan lita dan meletakkannya di pinggir sendang. Lalu dia menyembelih ayam berbulu hitam. Darahnya dia teteskan di atas kepala kerbau, sisanya dia kucurkan semua ke sendang. Air sendang yang bening mulai tercampur dengan merah darah. Ibu Lita sibuk mengitari sendang dengan menaburkan bunga. Lalu ibu Lita membuka jubah kakak Lita. Lita bisa melihat tubuh semampai kakaknya yang telanjang di remang cahaya bulan. Pelan ibu Lita menuntun kakak Lita masuk ke air hingga sebatas pinggang. Dengan batok kelapa, ibu Lita menyiramkan air sendang ke seluruh tubuh anak sulungnya. Lalu ibu Lita meninggalkan anaknya yang telah berlutut hingga air sebatas lehernya. Bapak ibu Lita bersila dipinggir sendang. Mulut mereka komat-kamit membaca mantra.
Beberapa saat Lita melihat sekitar. Bayangan-bayangan hitam mulai banyak mengelilingi mereka dengan suara-suara dengungan. Bulan mulai redup tertutup awan hitam seperti sengaja membuat malam menjadi makin pekat. Bunyi bambu yang dipukul kini terdengar saling barsautan. Lita merasa angin begitu kencang berhembus. Dia melihat kakaknya yang makin menggigil. Tapi air yang dingin itu kini seperti mendidih. Gelembung-gelembung muncul di permukaan. Lita beranjak dari duduknya. Karena kini kakaknya terlihat tertidur lemas, tapi kepalanya tetap berada di permukaan air. Dan pelan tubuh kakaknya terangkat ke atas seiring asap yang mengepul di air. Lalu di depan kakaknya, muncul kepala dari dalam air. Kepala itu terlihat sebatas hidung. Lita bisa melihat kilatan cahaya dari matanya. Lita makin terkesiap karena tubuh kakaknya yang tak berdaya sudah berdiri di atas permukaan air. Dan sosok kepala tadi mulai muncul dari dalam air. Awan yang makin tebal menutup bulan membuat Lita hanya melihat sosok itu dalam kegelapan. Sosok itu laki-laki berambut panjang. Badannya tegap telanjang dada. Di sisa cahaya, terlihat sisik yang mengkilat di sekujur tubuhnya. Tapi lama Lita perhatikan, bukan sisik itu yang mengkilap. Tapi di sana memang ada titik-titik cahaya yang muncul berkilauan. Beberapa saat mata tajam sosok itu mengamati tubuh kakaknya. Lalu sosok itu seperti meleleh menjadi air yang berjatuhan ke sendang. Seiring dengan itu tubuh kakak Lita jatuh lemas tenggelam ke air. Buru-buru bapak Lita masuk ke air dan mengangkat tubuh kakaknya ke pinggir. Ibu Lita segera memakaikan jubah ke kakaknya dan memaksakannya untuk duduk.
Awan gelap mulai menyingkir, menghadirkan temaram cahaya bulan kembali. Bapak Lita ada di pinggir sendang. Matanya mengawasi ke kedalaman sendang yang kembali terlihat jernih. Di tengah sendang Lita melihat sesuatu yang berkilau. Seperti kerlipan-kerlipan cahaya di tubuh bersisik sosok yang muncul dari air. Bapak Lita masuk ke air dan mengambil benda itu. Sebuah logam bebertuk cincin ada di tangannya. Lalu cincin itu dia pakaikan ke jari kakak Lita.
Lita mencoba mempercepat langkahnya walau beberapa kali hampir terpeleset. Bapak ibunya yang ada di depan juga kewalahan menuruni bukit di jalan setapak. Mereka berusaha mengikuti kakak Lita yang telah memakai jubah hitam. Sejak dari sendang tadi, kakak Lita tidak dituntun bapak ibunya, karena kini langkahnya begitu cepat menyusuri jalan setapak yang gelap. Dari ketinggian, Lita bisa melihat kerlip cahaya lampu rumahnya di bawah sana. Kakak Lita telah menyelesaikan ritual yang harus dijalaninya. Tapi suara dengungan dan ketukan bambu masih sayup terdengar. Lita tidak mau melihat kanan kirinya, apalagi menoleh ke belakang.
Sesampai di rumah, kakak Lita langsung mengganti bajunya dengan baju tidur yang biasa dia pakai. Tapi Lita heran, malam ini kakaknya tidak tidur di ranjangnya. Ibu Lita sudah menyiapkan kamar di sebelah yang biasa digunakan buat pasien untuk kakaknya tidur malam ini. Lita melihat Ibunya memeluk kakaknya sebelum kakaknya masuk ke kamar itu. Lita bisa mencium bau wangi keluar dari pintu kamar yang terbuka. Sebelum melangkah masuk, kakaknya sempat tersenyum ke Lita, tapi pandangannya tetap datar.
Malam makin larut. Lita masih terjaga di ranjangnya. Dia masih memikirkan apa yang terjadi malam ini. Pikirannya melayang pada apa yang akan terjadi pada dirinya nanti. Tahun depan Lita akan berusia 17 tahun. Akankah dia harus menjalani ritual seperti kakaknya? Lalu adiknya yang akan membawa kepala kerbau? Bau wangi dari kamar sebelah mulai menusuk. Lita menutupkan selimut sampai kepalanya. Dia tidak mau membayangkan penguasa sendang darah mendatangi kakaknya. Sekuat tenaga Lita memejamkan matanya hingga kantuk menidurkannya.
Pagi hari, seperti biasa Lita dibangunkan kakaknya. Dengan malas Lita beranjak dari ranjangnya. Adiknya sudah keluar dari kamar mandi dan sibuk dengan baju seragamnya di depan cermin. Lita melihat kakaknya di kamar mandi baru selesai menyikat gigi. Lita merasa kakaknya terlihat baik-baik saja, seperti kejadian semalam tidak pernah terjadi. Sembari membawa handuk, Lita masuk ke kamar mandi.
“Kak..?” Lita ingin bertanya pada kakaknya. Banyak pertanyaan di kepalanya hingga tak sepatah kata keluar dari mulutnya.
Kakak Lita memandang adiknya lama,”kenapa Lita?” tanya kakaknya sembari meletakkan sikat giginya.
“Kakak masih perawan?” hanya kata itu yang tiba-tiba terucap dari mulut Lita.
Kakak Lita memandangi adiknya lagi,” Kenapa kamu tanyakan itu?”
“Mahluk dari sendang itu…?” Lita tidak bisa meneruskan kata-katanya.
“Tenang Lita… Kakak masih perawan…” jawab kakak Lita dengan suara yang dibuat santai,” Sekarang kamu mandi gih,” tambah kakak Lita. Sepertinya dia enggan meneruskan pembicaraan.
“Kak… Aku nggak mau didatangi mahluk itu…” Lita masih memaksa bicara pada kakaknya.