Kakak Lita memeluk adik bungsunya erat sebelum dibawa ke gubug pengasingan.
“Kamu yang sabar ya dek…” bisik kakak Lita di telinga adiknya.
Lalu giliran Lita. Dia peluk adiknya lebih erat. Lita tidak bisa berkata apa-apa. Lama Lita memeluk adiknya seakan dia tidak akan pernah bisa memeluk adiknya lagi. Sampai bapak Lita harus memisah mereka dan membawa adik Lita ke gubug.
Lita dan kakaknya hanya bisa memandangi adiknya dituntun masuk ke gubug. Bulan merah darah begitu besar di atas gubug. Di belakang sana, bukit keramat tampak begitu pekat. Beberapa saat kemudian, Lita masih berdiri lama sendiri di belakang rumah. Kalau saja dia diperbolehkan tidur di sebelah adiknya di dalam gubug itu. Sampai kakaknya menariknya untuk masuk ke dalam rumah meninggalkan malam yang semakin dingin.
Di pembaringan, Lita berusaha untuk memejamkan matanya. Malam ini hatinya gundah. Beberapa kali matanya terbuka. Sesekali dia melirik kakaknya yang terlelap di ranjang sebelah. Lita menduga, kakaknya hanya pura-pura tertidur. Tak berapa lama, Lita mendengar suara gemuruh. Seperti ada angin besar yang lewat di atas rumahnya. Tiba-tiba suara berdebum begitu kerasnya terdengar berkali-kali di atas atap. Lita terhenyak dan terduduk di ranjangnya. Demikian juga dengan kakaknya. Lita ingin beranjak dari ranjang tapi kakaknya menyuruhnya tetap diam di tempatnya. Seperti biasa, mereka akan menunggu sampai suara berdebum berhenti. Tapi kali ini, suara yang memekakkan itu seperti tidak berhenti. Lita dan kakaknya saling pandang. Kecemasan begitu terlihat di mata kakak Lita. Dan Lita teringat mimpi yang diceritakan kakaknya. Lita menghampiri kakaknya dan duduk di sebelahnya karena suara berdebum semakin banyak terdengar di atap. Tidak seperti biasanya hal ini terjadi.
“Kak…” Suara Lita penuh kekhawatiran pada kakaknya.
Kakak Lita tidak bisa berkata apa-apa kecuali memeluk adiknya.
Tapi seketika suasana jadi hening. Suara berdebum tidak terdengar lagi. Lalu bau benda terbakar menyengat masuk ke kamar.
“Kak… Bapak sama Ibu…” Suara Lita terbata.
Kakak Lita terlihat ragu. Kamar mereka adalah tempat yang paling aman yang dibuat orang tua Lita. Bau benda terbakar pun semakin menyengat. Dengan perasaan terpaksa kakak Lita mengajak Lita untuk keluar kamar. Tapi belum sampai pintu, tiba-tiba lampu padam. Lalu seketika kakak Lita memandang ke arah jendela yang tertutup dengan mata terbelalak.
“Ada apa Kak?” tanya Lita cemas.
“Banyak orang mau masuk ke rumah kita,” kata kakak Lita dengan bibir bergetar.
Dengan berjalan agak meraba, Lita membuka jendela. Di luar terlihat banyak orang sedang memanjat pagar besi rumah Lita. Beberapa orang sudah berhasil masuk ke halaman. Mereka membawa obor dan berteriak-teriak berlari ke arah rumah. Bunuh dukun santet! Bunuh dukun santet! Lita mendengar jelas riuh teriakan mereka.
“Lita ambil ransel kamu,” teriakan kakak Lita parau.
Dengan penerangan senter dari ponsel, Lita mengambil ranselnya dari lemari. Di lemari itu ada kotak kaleng. Itu kotak kaleng adiknya yang di dalamnya ada sapu tangan kakaknya dan bunga mawar dari Dion. Cepat Lita mengambilnya dan memasukkan dalam ransel.