Lita Perempuan Iblis

Mohamad Novianto
Chapter #8

Kotak Berisi Sapu Tangan dan Setangkai Bunga

Asih terhenyak. Dia terduduk di atas ranjangnya. Nafasnya memburu. Peluh memenuhi wajahnya. Mimpi buruk itu berulang kali menghantuinya. Mimpi orang-orang beringas dengan obor yang dinyalakan. Mereka menyeret dua tubuh yang tak berdaya. Lalu ada jalan setapak yang gelap dan menanjak. Bayangan-bayangan hitam merambati ranting-ranting yang rapat di kanan kirinya. Lalu bunyi berdengung itu yang lama-lama memekak membangunkannya.

Pelan Asih turun dari ranjang susunnya. Keempat teman asramanya masih lelap tertidur. Dengan mengendap, dia menyusuri lorong keluar asrama. Di luar gelap dan dingin. Tapi Asih ingin menhirup udara bebas sebanyak-banyaknya. Sampai dia mulai tenang dan mencoba melupakan mimpinya. Saat hendak kembali ke dalam, di luar pagar, Asih melihat sosok itu lagi. Anak perempuan berambut panjang, berbaju merah. Sosok itu hanya berdiri melayang-layang di sana, seperti tidak berani melewati pagar. Beberapa kali Asih melihat sosok itu di sana. Kali ini Asih menggerakkan kakinya mendekat ke sana. Asih hanya berjarak beberapa meter dari pagar. Beberapa saat Asih melihat wajah pucat sosok itu. 

“Lita…” suara anak kecil keluar dari sosok itu.

Asih mundur sejengkal. Jantungnya berdegup. Selain anak laki-laki yang mengendarai motor waktu itu, ada lagi sosok ini yang memanggilnya Lita. Kepala Asih mulai serasa berputar. Buru-buru dia melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Sampai di kamarnya, Asih langsung naik ke ranjang. Dia benamkan wajahnya ke bantal karena kepalanya makin serasa berputar. Sekuat mungkin, dia berusaha memejamkan matanya. Hingga kantuk kembali menidurkannya.

***

Bagda Isya, setelah mengaji, Asih berjalan keluar masjid bersama-sama temannya. Mereka menuju ke arah asrama yatim. Tapi dari tadi Asih selalu memperhatikan arah pintu utama dimana para santri sedang berkerumun keluar. Begitu melihat Daud, Asih langsung berlari ke sana dan membuat teman-temannya heran.

“Asih mau kemana?” kata seorang temannya.

Tapi begitu melihat Daud yang dituju, mereka malah tertawa cekikikan.

Sementara Asih dengan suara kecilnya berusaha memanggil Daud. Tapi sepertinya Daud sedang sibuk bercakap dengan teman-temannya.

“Kak Daud!” Asih mengeraskan suara dan memajukan langkahnya.

Begitu Daud melihat Asih tak jauh darinya, dia langsung meninggalkan teman-temannya yang belum selesai mengobrol.

“Asih, ada apa?” Daud heran malam-malam Asih mendatanginya. Tapi sebenarnya dia senang malam ini bisa melihat Asih.

“Assalamualaikum Kak Daud…”

“Assalamualaikum Asih…”

“Kak Daud ada yang ingin aku tanyakan… Penting…”

Melihat Asih yang serius, Daud menyuruh temannya meninggalkannya dulu, nanti dia menyusul, karena sepertinya mereka sedang ada acara.

“Kenapa, Sih,” tanya Daud penasaran.

“Kak Daud aku mau tanya… Tahu nggak waktu aku pertama di sini… Kok aku nggak tahu ya… Kayak nggak ingat apa-apa…” 

“Mmm, memang kenapa, Sih!” Daud teringat cerita bapaknya, dia harus hati-hati bicara dengan Asih mengenai hal ini.

“Gimana ya Kak Daud… Akhir-akhir ini aku sering mimpi buruk, terus kepala pusing…” kata Asih dengan wajah memelas.

“Mungkin sebaiknya kamu nggak usah berusaha mengingat yang sudah berlalu, Sih… Disini kan kamu sudah banyak saudara… kamu guru yang baik disini dan disukai anak-anak… kamu termasuk santriwati yang pintar disini…” Daud berusaha menghibur Asih, karena Asih terlihat seperti orang bingung.

Lihat selengkapnya