Pagi menjelma menjadi sebuah karya maha agung terindah yang pernah kulihat. Kedua netra ku langsung tertuju kepada siluet biru yang membiarkan sang mentari berkuasa pada saat itu. Kepada garis waktu yang mengartikan takdir, saat ini aku mengerti bahwa dibutuhkan kekuatan untuk mengilhami segala rasa yang terus mengendap merasuki jiwa. Kedua tanganku kubiarkan teregang, mataku terpejam. Memberikan kesempatan pada suara-suara alam untuk menyapa dan membelai ku yang sedang berusaha mengetuk ruang waktu agar aku bisa berteman dengannya.
"Lihatlah, aku semakin dewasa dengan kisah yang pernah kita alami. Dan aku bersyukur untuk itu," Aku merapalkan syukur dalam relung hati yang paling dalam dan sekilas terbentuk lengkung senyumku.
Jika ada satu memori yang merubah caraku untuk memandang dunia. Maka itu adalah kisah yang pernah ku sebut sebagai sebuah pertemuan antara garis kebahagiaan dan juga kesedihan. Aku bisa merasakan bagaimana Taman yang menjadi tempatku berdiri menungguku untuk mengaksarakan segala kalbu kisah itu. Seolah menuntunku untuk bertegur sapa dengan kalbu yang kian lama kian mengendap dan memenuhi ruang ingatanku tuk mengingatkanku pada skenario dimana salah satu perhelatan dunia pernah terjadi.
Sedangkan beberapa orang yang mengelilingiku sedari tadi tanpa kusadari menatapku nanar. Jika dia tak memaksaku untuk duduk dan bercerita sekarang, mungkin dia sudah meledak dan membuatku tertawa simpul sambil berlagak ketakutan.
"Baiklah, aku akan menceritakan semuanya Syasa," pita suaraku menuntunku untuk bercerita dengan nada rendah.