Hari-hari berganti, dan aku sedikit demi sedikit bisa melihat perbedaan raut wajahnya. Hingga pada hari Minggu malam, saat kami berdua berada di ujung stasiun dan masih berada di antara kerumunan orang yang bergeming dengan aktivitasnya hingga berakhir sepi. Tersirat dengan jelas raut wajah pucat pasi dengan kedua tangannya yang dingin.
"Ibu, apa ibu sakit?" Tanyaku sambil menepuk pundaknya.
"Ibu kau semakin kurus," batinku kembali memekik.
"Ibu nggak papa Jingga, ayo pulang!" Jawabmu dengan tenang.
Kami berjalan kurang lebih 1 kilometer mulai dari stasiun kota, kemudian melewati jembatan kota yang ditopang oleh pagar yang terlihat gagah, hingga akhirnya sampai pada suatu perkampungan yang ada di belakang sungai. Rumah kami sederhana, sesederhana cara hidup kami. Hanya sebuah gubuk reot yang menjadi pondasinya dan lampu minyak sebagai penerang kami saat gelap mulai menguasai bumi. Aneh, baru pertama kali ini aku melihat bagaimana ibuku sangat lelah. Dia langsung berbaring dan memejamkan kedua matanya.
"Jingga!" Panggilnya.
Aku melangkah mendekatinya.
"Iya Bu?" Tanyaku sambil meraih kedua tangannya.
"Ibu mau tanya sesuatu," kata-katamu membuat isi kepalaku berputar.
"Tanya apa Bu?" Aku bertanya sekali lagi untuk menanyakan sebuah kejelasan.
"Apa kamu bisa hidup jika Ibu meninggal nanti?."
Kata-kata itu sungguh membuatku hancur lebur. Sungguh, hatiku berkecamuk. Lidahku kelu, hingga sulit rasanya tuk bersahabat dengan isi kepalaku sendiri. Air mata yang sudah ku bendung membuatku lemah, hingga pada akhirnya jatuh membasahi pipiku.
"Ibu, kenapa kau berkata seperti itu?" Tanyaku sekali lagi.
"Nak, Tuhan hanya memberi kesempatan Ibu untuk hidup sekali. Bukan belasan, puluhan, ratusan, ribuan bahkan milyaran."
Kakiku lemas, hingga aku tak sadar jika aku sudah terduduk lemas di bawah tempat tidurnya.
"Kau harus mendengarkan kata-kata Ibu Jingga!" Sambungnya.