Sehari sebelum seleksi The Swan dimulai, Helen dan teman-temannya menambah jam latihan di studio 8, studio tari paling kecil di Beauté Dance Academy yang selalu dibuka dua puluh empat jam setiap hari. Ada beberapa murid lain yang juga berlatih di ruangan itu, tetapi semuanya fokus dengan latihan sendiri-sendiri dan tidak saling tergabung satu sama lain. Helen dan teman-temannya juga membentuk kelompok bertiga sendiri.
Semua orang yang ada di studio 8 malam itu berlatih dengan fokus, mulai dari gerakan tangan, kaki, pinggang, punggung, dan sebagainya. Ada seorang anak tahun keempat yang membawa timbangan berat badan dan menawarkan kepada teman-teman lainnya untuk ikut menimbang dengan sukarela. Helen sebenarnya penasaran dengan berat badannya hari itu, tetapi ia takut semangatnya akan menurun jika mengetahui bahwa perihal berat badannya masih belum baik. Akhirnya, Helen memutuskan untuk membiarkan hal itu menjadi kejutan di esok hari.
Sehari setelahnya, semua murid jurusan balet yang mengisi formulir untuk seleksi pentas The Swan berbondong-bondong menuju studio 1 sekitar pukul delapan pagi. Mereka semua sudah mengenakan leotard, tutu, dan sepatu pointe yang baru dikustom.
Di kamarnya, Helen masih kelimpungan mencari spons untuk diletakkan di ujung sepatu pointe-nya. Kakinya yang terluka kemarin lusa masih belum sepenuhnya sembuh. Ia tidak akan bisa melakukan en pointe dengan sempurna jika ujung kukunya masih sobek begitu. Kemarin ia berfokus pada latihan punggung dan tangan untuk sementara karena kakinya yang sakit. Namun, saat seleksi nanti, ia harus menggunakan semua anggota tubuhnya untuk menari. Tidak ada belas kasihan untuk kuku kaki yang terluka.
"Len, udah nemu spons belum, sih? Temen di kamar sebelah udah kamu tanyain belum?" tanya Jenna sambil melakukan en pointe dan berjalan ke sana kemari dengan tidak sabar.
"Udah, Jen. Mereka nggak punya," jawab Helen sambil terus mencari ke berbagai laci, dompet skincare, dan kotak jahit.
Tiba-tiba, Vivian berlari keluar dari kamar mandi sambil membawa sekantong kapas wajah. "Len, pake ini aja, deh. Buruan. Udah mau jam delapan, nih. Jangan sampe telat," ujarnya cepat.
Helen menghela napas. Akhirnya, ia menambah satu lapisan kaus kaki lagi dan menyelipkan dua lembar kapas ke ujung platform sepatu pointe. Kemudian, ia pun berangkat ke studio 1 bersama teman-temannya.
***
Puluhan anak mengantre di depan studio 1 untuk mengisi lembar presensi dan mengambil nomor undian tampil. Helen menghela napas berkali-kali untuk menetralkan kegugupan. Tangannya memanas dan mulai berkeringat. Ia mencoba melakukan en pointe beberapa kali dengan kaki kanannya yang kemarin lusa terluka. Rasanya tidak terlalu sakit karena ia memakai banyak dobelan. Meskipun tidak terlalu nyaman, tetapi ini sudah merupakan cara terbaik. Semoga saja kakinya baik-baik saja saat seleksi nanti.
Beberapa saat kemudian, terlihat Hans yang berjalan cepat mendekati Helen. Cowok itu menyunggingkan senyum sapaan pada Helen, lalu memberi isyarat dengan gerakan tangan untuk meminta Helen mengikutinya. Helen berpamitan sebentar kepada Vivian dan Jenna, lalu berjalan mengikuti Hans.
"Gimana, Ko?" tanya Helen saat mereka sudah berada di salah satu sisi koridor yang tidak terlalu ramai.
"Kaki kamu gimana, Len? Kata Vivian kemarin lusa kuku kakimu sobek. Sekarang udah bisa buat nari belum?" tanya Hans memastikan.
"Udah, kok Ko. Tadi aku udah coba en pointe beberapa kali. Udah nggak terlalu sakit. Aku juga pake beberapa dobelan kaus kaki," jawab Helen.