Setelah meninggalkan warung mi, Helen belari menuju ke gedung sekolah dan naik ke lantai dua melalui tangga terdekat. Ia pun mengetuk pintu studio 2 beberapa kali, lalu membukanya dan masuk.
"Halo, Len," sapa Hans yang sedang duduk di salah satu kursi kayu. Cowok itu melepas earphone-nya, lalu berjalan mendekati Helen.
"Halo, Ko Hans. Ada apa hari ini manggil?" tanya Helen sambil tersenyum seperti biasa.
"Duduk dulu aja, Len." Hans lebih dulu duduk di lantai studio. Helen pun mengikuti duduk di hadapannya.
"Omong-omong, tadi kamu barusan dari mana, Len? Warung mi ayam yang di mana? Kayaknya kamu barusan lari-lari gitu," ucap Hans.
"Aku barusan makan ke warung mi yang baru buka di sebelah itu, Ko. Aku lupa namanya apa. Tadi, sih sama Vivian dan Ko Jeffrey. Terus tiba-tiba Ko Hans telepon, jadi aku ke sini dulu, deh," jawab Helen.
"Oh. Terus kamu makannya udah selesai belum tadi?"
Helen tersenyum, lalu menggeleng jujur.
"Kalau gitu, habis ini kamu jangan lupa makan. Ini aku cuma sebentar, kok," ujar Hans cepat.
Helen mengangguk, lalu melipat tangan di depan kakinya yang bersila, siap-siap mendengarkan penjelasan dari Hans.
"Omong-omong, sekolah kita dapet undangan dan kesempatan manggung sekali di Gedung Kesenian Jakarta akhir tahun nanti. Aku pengin mastiin, kira-kira kamu mau gabung buat prepare pertunjukan ini atau enggak," ujar Hans langsung.
Helen spontan menangkupkan kedua tangan di depan mulutnya. Matanya membelalak kegirangan. Ia nyaris tidak percaya dengan ucapan Hans barusan. "Uwaw. Beneran, Ko Hans?" tanya Helen memastikan.
Hans tersenyum dan mengangguk sekali. "Iya. Aku berharap kamu bisa ikutan pertunjukan ini, sih. Soalnya kalo kamu nyanggupin tarian kali ini, aku sama pelatih-pelatih mau prepare-in kamu buat maju ke Dance Prix Indonesian tahun depan," jelasnya. "Kamu kan tahun ini udah umur enam belas, Len. Batas Dance Prix umur 19. Aku lihat kamu punya bakat. Sayang banget kalo kamu nggak pernah nyoba daftar sama sekali."
Helen masih terlalu terkejut untuk mengucapkan sesuatu. Ia menggigit bibir bawahnya diam-diam. Dalam hati, Helen tentu saja merasa senang. Namun, di sisi lain, ia merasa bingung. Jantungnya bedegup-degup kencang berantakan. Helen tahu ia sudah lama sekali berlatih balet dan seharusnya ini adalah umur emasnya. Namun, mengingat sebelumnya ia hanya menjalani latihan yang biasa-biasa saja dan kini akan melangkah ke tahap yang lebih serius, rasanya semua hal berjalan terlalu cepat. Tetapi Helen tentu saja tidak ingin hanya bergerak statis di satu anak tangga. Ia ingin membuat kemajuan. Seiring dengan perkembangan dirinya, ia berharap suatu saat nanti bisa berdiri di puncak posisi balerina.
"Gimana, Len? Kamu setuju nggak?" tanya Hans kemudian.
Helen menegakkan kepala dan menatap Hans. Ia ingin menjawab, tapi bibirnya bergetar dan terasa dingin. Ia merasa sangat gugup. Jawaban "ya" atau "tidak"-nya detik ini akan memengaruhi perjalanan baletnya bertahun-tahun ke depan.
Astaga. Gedung Kesenian Jakarta tahun ini. Dance Prix tahun depan. Pikiran itu terus berputar-putar di kepala Helen. Ia menyadari Hans yang masih menatapnya sambil menunggu jawaban. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengembuskan napas sambil memejamkan mata untuk menjada pikiran itu sejenak.