Little Ballerina in A Dance Box

Jessie YiCha
Chapter #19

Bab 18

Keesokan harinya, Helen bangun pagi-pagi dan mandi pertama kali sebelum adik-adik kelasnya mendahului. Ia sudah menyiapkan kaus kaki putih tipis setinggi betis yang akan dipakainya selama seharian nanti. Ia memutuskan untuk menyembunyikan cedera ini. Kakinya memang masih terasa sakit, bahkan ketika hanya digunakan untuk berjalan. Namun, berdasarkan asumsinya, cedera ini tidak akan terasa lagi ketika ia telah tiba di panggung dan mulai menari. Karena menari selalu memberi imunisi baru bagi dirinya. Menari membuatnya melupakan rasa sakit dan sedih, serta mengungkapkan rasa bahagia yang tak terkira. Jadi, Helen pikir, asalkan tidak ada yang mengetahui perihal ini, semuanya akan baik-baik saja.

Setelah selesai bersiap-siap, Helen, Joanna, Amel, dan Sarah turun ke ruang sarapan bersama. Mereka mengenakan kaus biasa dan sudah membawa string bag yang berisi handphone, sepatu pointe, stocking, dan perlatan balet lainnya. Kostum pentas sudah disediakan di BOH Gedung Kesenian Jakarta, jadi mereka tidak perlu membawanya sendiri.

Pagi itu, sebenarnya kaki Helen masih terasa sakit, meskipun hanya digunakan untuk berjalan. Namun, ia berusaha berlagak seolah-olah semuanya baik-baik saja. Sejauh ini rasa sakitnya masih bisa ditahan. Helen memutuskan untuk tidak banyak bergerak saja. Hanya saja, ia takut jika nanti terjadi sesuatu yang lebih buruk pada kakinya saat pemanasan.

"Len, kenapa ngelamun?"

Tiba-tiba, Hans muncul di depan Helen. Cowok itu duduk di kursi di seberangnya, lalu mengambil sendok dan garpu.

Helen mengerjapkan mata. "Ehm … nggak papa, Ko," ucapnya sambil tersenyum tipis. Ia menunduk untuk menyendok makanan.

"Kamu baik-baik aja, kan Len? Hari ini pentasnya, loh. Jangan gugup berlebihan," ujar Hans.

Helen menghela napas, lalu mengangguk. "Iya, Ko."

"Sip. Kalo gitu, kamu makan dulu aja," sahut Hans sambil menyunggingkan senyum hangat. Ia mengulurkan tangan untuk menepuk bahu Helen pelan.

Helen membalas dengan senyuman skeptis. Entah mengapa, tiba-tiba keringat dingin mulai membasahi keningnya. Ia jadi takut dengan pertunjukan nanti.

***

Helen dan teman-temannya tiba di gedung Gedung Kesenian Jakarta di Gedung Kesenian Jakarta sekitar pukul 08.30. Mereka segera masuk ke BOH untuk melakukan persiapan, mulai dari make-up, memakai kostum, fitting sepatu pointe, pemanasan, dan seterusnya.

Helen tak berani melakukan banyak hal selama pemanasan. Ia menghabiskan sebagian besar waktu untuk berdiam di barre sambil mencoba melakukan plié beberapa kali. Helen memutuskan untuk mengakhiri pemanasannya lebih awal dan berkutat pada fitting sepatu yang harusnya tidak memakan waktu seberapa lama, apalagi ia masih menggunakan sepatu Grishko yang diberikan Jeffrey beberapa bulan lalu. Namun, ia memang sudah tidak punya ide lagi untuk menghabiskan waktu dengan kakinya yang sakit seperti sekarang.

Ketika Helen sedang melepas jahitan tali sepatunya yang rantas, handphone di sisinya berdering. Jeffrey menelepon. Ia segera menjinjing sepatu pointe-nya dan berjalan ke sudut ruangan yang agak sepi. Setelah itu, ia mengusap layar untuk menerima panggilan.

"Halo. Ada apa, Ko Jeff?"

"Halo, Len. Ini sekarang aku udah mau ke sana Gedung Kesenian Jakarta, nih. Kamu di mana?"

"Ini lagi di BOH, Ko. Masih fitting sepatu," jawab Helen.

"Oke, deh. Semangat, Len. Sampe ketemu di sana, ya."

Mendengar kata "semangat", tiba-tiba Helen jadi stres. Bagaimana ia bisa tetap semangat jika kakinya seperti ini? Ia menggaruk kepalanya gelisah, lalu berkata pelan, "Iya, Ko. Makasih."

Sebelum Helen menutup panggilan, tiba-tiba ada suara lagi. "Oh, ya Len. Omong-omong, kamu udah fully siap buat pentas, kan? Jangan gugup, loh Len. Hehe."

Lihat selengkapnya