Waktu terus bergulir dan hidup harus terus berjalan. Meskipun di bulan Januari kaki Helen sudah tidak terasa terlalu sakit, tapi jaringan tendonnya masih belum membaik dan ia masih perlu memakai kruk, tapi itu tidak bisa menjadi alasan untuk terus meratap dan menghindari tanggung jawab yang harus ia jalani. Jadi, Helen tetap berangkat ke sekolah untuk menjalani semester duanya di Beauté Dance Academy. Hanya saja, karena kondisi kaki Helen masih belum bisa diandalkan, pihak sekolah mengirimkan Hans untuk menjemput Helen di stasiun di kampung halamannya. Jadi, cewek itu tidak akan sendirian selama perjalanan.
Seperti biasa, perjalanan dari rumahnya ke sekolah memakan waktu sekitar empat jam. Hans menyuruh Helen menggunakan sebagian besar waktu di kereta untuk beristirahat. Jadi, Helen pun melakukannya. Sesampainya di stasiun, mereka pun langsung mencari taksi dan menuju ke dorm sekolah.
Helen sebenarnya ingin memakan mi ayam yang dagingnya sangat banyak di warung dekat stasiun. Ia menoleh beberapa kali ke arah warung itu sebelum masuk ke taksi, seolah berharap akan ada orang yang tiba-tiba datang dan menawarinya mi gratis. Namun, tentu saja itu tidak terjadi. Helen juga tidak berani minta mampir ke sana karena Hans, pelatihnya ada di sebelahnya.
Hmm … ya, udah, deh. Mungkin lain kali. Atau nggak nanti minta Ko Jeffrey ngajakin makan mi bareng, pikir Helen positif. Biar bagaimanapun, ia harus mengawali tahun ini dengan optimisme. Tuhan sudah memberinya napas hingga detik itu. Ia masih memiliki alasan untuk bersyukur.
Beberapa menit kemudian, taksi berhenti di depan gedung dorm siswa-siswi Beauté Dance Academy. Hans membayar argo taksi, lalu membantu Helen keluar dari mobil.
"Ehm, makasih, Ko," ucap Helen. Ia menerima kruk yang dibawakan Hans, lalu berjalan ke bagasi belakang untuk mengambil barang-barangnya.
Supir taksi membukakan pintu bagasi, lalu Hans membantunya mengangkat koper dan tas jinjing milik Helen. Cowok itu bahkan membawakannya hingga Helen berbelok ke kanan, ke pintu dorm putri.
"Makasih banyak, Ko Hans. Maaf ngerepotin," ucap Helen sambil mengambil alih kopernya.
"No problem, Len. Tetep jaga kesehatan, ya," sahut Hans hangat. Setelah itu, ia pergi meninggalkan Helen.
Helen memasuki area dorm sambil menarik koper dengan tangan kiri dan memegang kruk dengan tangan kanan. Beberapa orang yang berpapasan dengannya memandangi Helen dengan tatapan bertanya-tanya. Helen bukan orang yang suka menjelaskan sesuatu yang terjadi pada dirinya kepada semua orang. Jadi, ia hanya terus berjalan sambil menundukkan kepala hingga tiba di depan kamarnya sendiri.
Helen mengeluarkan kunci dari tasnya, lalu membuka pintu. Seperti biasa, Vivian selalu sudah sampai sebelum Helen. Cewek itu selalu jadi yang paling semangat dalam menyambut semester baru.
Ketika Helen masuk ke kamar, Vivian spontan menoleh. Ia hendak menyapa dengan antusias. Namun, ia langsung menutup mulutnya kembali ketika melihat Helen yang memakai kruk. Ia segera meninggalkan kegiatannya merapikan barang di lemari, lalu berjalan mendekati Helen.
"Len, k-kamu, kok pake anu, Len?" Vivian memandang kruk yang dipegang Helen dengan bingung. Lalu pandangannya beralih pada kaki kanan Helen yang dibebat gips putih.
"Huum. Cedera, Vi," jawab Helen sambil menyunggingkan senyum singkat. Ia meletakkan koper dan kruknya ke dekat meja dekat pintu, lalu berjalan dengan langkah terpincang-pincang menuju kasurnya sendiri.
"Kok bisa, Len? Kapan kejadiannya? Kok aku nggak tau?" tanya Vivian sambil berjalan mendekati Helen.
Helen mengembuskan napas. "Kakiku cederanya pada H-1 pertunjukan The Sleeping Beauty di Jakarta kemarin. Awalnya cuma radang tendon pas aku latihan sendiri. Tapi gara-gara aku maksain sampai selesai pertunjukan, akhirnya tendonnya sobek. Jadi harus operasi, terus nunggu penyembuhan beberapa bulan," ucapnya.
"Berarti kamu sejak Desember pake barang itu, Len?" tanya Vivian sambil melirik kruk Helen yang disandarkan di pinggir ruangan.
Helen mengangguk. "Ini konyol, sih. Sebenernya udah nggak bener-bener sakit. Tapi aku nggak mau kalo nanti tiba-tiba penyembuhannya mesti diperpanjang lagi gara-gara infeksi dikit. Jadi, ya mending pake kruk aja. Sebenernya nggak terlalu ngerepotin, sih. Cuma nambah satu bawaan di tangan aja," ucapnya sambil berusaha menyunggingkan senyum tenang.
Vivian memanyunkan bibir, lalu memeluk Helen. "Ehm. Semangat terus, ya Len. Semoga cepet sembuh. Biar kita bisa nari di studio bareng lagi," ucapnya tulus.
Helen membalas pelukan Vivian. "Makasih, Vi."
Vivian mengundurkan diri, lalu menatap Helen. "Omong-omong, kamu kapan mulai bisa nari lagi, Len?"