Little Bit of Muffin

Bentang Pustaka
Chapter #2

Dua

Lama Kesha berdiri di depan Sugar Bakery, mengulang saat kali pertama ia kembali ke tempat ini. Dalam hatinya, gusar dan kesal bergumul jadi satu. Mengaduk-aduk hatinya hingga tingkat emosinya bertambah sedikit demi sedikit. Beberapa menit yang lalu, ibunya menelepon untuk mengantarkan barangnya yang tertinggal, lagi. Kesha cukup mengerti akan sifat keras kepala ibunya itu, yang tak akan mudah menyerah untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Sifat keras kepala yang juga diturunkan kepada putri semata wayangnya.

Sebelum melanjutkan langkah memasuki toko, sejenak Kesha menarik napas. Kemudian, mengembuskannya dengan gaya yang agak mendramatisasi. Ia tak tahu berapa kali lagi akan menghadapi situasi seperti ini.

Setelah susah payah menahan dirinya agar tak terbuai dengan harum kue-kue yang baru matang dan menghiasi tiap sudut display, Kesha menghela napas pelan. Kakinya kembali melanjutkan langkah ke ruangan ibunya. Namun, ia justru terhenti ketika melintasi pintu menuju dapur. Aroma familier yang begitu akrab dengan indra penciumannya, menyentak kesadarannya. Membuat ia mau tak mau menoleh dan tertegun lama memandang ke dalam dapur.

Di dalam dapur yang luas itu semua karyawan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Menguleni tepung, memadukannya dengan bahan lain, memberinya bentuk menarik, dan kemudian memanggangnya.

Sugar Bakery memiliki delapan orang karyawan, termasuk Gathan. Tiga orang pelayan di ruang display dan sisanya staf di dapur.

Gathan selaku chef baru di dapur terlihat memberikan instruksi kepada asisten koki yang saat itu tengah membalut velvet cake dengan butter cream. Gathan dengan serius memperhatikan gerak tangan asisten koki yang men-spuit-kan krim. Melihat raut wajahnya yang tak tenang, sudah bisa dipastikan ia merasa tak puas.

Detik berikutnya, ia mengambil alih pekerjaan itu. Ia menunjukkan kepada Ratna, asisten koki caranya menghias velvet cake dengan benar. Asisten koki itu kemudian mengangguk-angguk, mengerti, dan mendapatkan kembali pekerjaannya. Setelah berhasil mempraktikkan seperti yang dicontohkan, Gathan kemudian meninggalkannya untuk melanjutkan pekerjaannya sendiri.

Laki-laki itu sepertinya akan mulai membuat kue. Secara tak sadar, Kesha jadi penasaran. Ingin tahu bagaimana cara Gathan membuat kue. Ia menunggu, tak sabar.

Tangan laki-laki itu mulai bekerja. Dengan cekatan memecahkan telur dan memasukkannya ke mangkuk berbahan stainless. Setelah itu gula, ekstrak vanilla, susu cair, mentega cair, dan pisang yang sudah dilumat. Semua bahan itu diaduk menjadi satu. Kesha terkejut ketika menyadari kue apa yang akan dibuat Gathan dari melihat bahan-bahan yang digunakan. Ia lantas menjauhi dapur. Tak dikiranya Nida ternyata sudah berdiri lama di belakangnya.

“Mama!” ia berseru kaget. Ibunya hanya tersenyum penuh arti, sebentar dilihatnya dapur yang baru saja diperhatikan Kesha.

“Gimana? Keren, kan, cara kerja chef baru kita?”

Kesha mendengus. Tak berniat mengutarakan pendapat. Ia merogoh tas untuk memberikan botol vitamin milik ibunya. Ia tahu Nida meninggalkannya dengan sengaja.

“Ini. Mama sengaja banget ninggalinnya.”

Nida tak lekas menerima. Justru membalikkan tubuh dan berjalan ke arah ruangannya berada. “Nggak usah buru-buru mau pulang, Kei. Temani Mama sebentar di dalam.”

Kesha menahan gejolak emosinya. Tetapi, ia tetap menuruti permintaan Nida. Mengikutinya masuk ke ruang kerja.

Tanpa melihat wajah Nida, Kesha meletakkan botol vitamin itu di atas meja. Ia berdiri dengan wajah tertekuk dalam. Menandakan betapa kesalnya ia sekarang. Nida menahan senyum seraya menyodorkan kertas kepada Kesha. Mata Kesha melirik ke sana. Secara perlahan matanya membesar sebelum beralih ke arah Nida.

“Kita dapat orderan besar untuk minggu depan.”

Kesha masih bungkam. Sepertinya, ia tahu ke mana arah pembicaraan ini.

“Jadi, Mama butuh kamu di sini, Kei.” Dugaan Kesha tak memeleset. Sudut bibirnya terangkat. Membentuk senyum sinis. Ia yakin ibunya pasti tahu apa jawabannya. Ia tak akan melakukannya.

“Ini orderan untuk Moccakino coffee shop. Kamu tahu coffee shop itu, kan?”

Kesha tahu coffee shop yang namanya sedang ramai dibincangkan belakangan ini. Dalam setahun terakhir mereka sudah membuka tiga cabang di Bandung. Cabang terakhir akan diresmikan minggu depan, begitu yang dilihat Kesha pada kertas yang baru saja diterimanya. Mereka tak jarang menerima orderan seperti ini. Namun, kali ini memang jumlah pesanan kuenya jauh lebih banyak dari biasanya.

“Kalau pelanggannya puas sama kue kita, pihak mereka bakal jalin kerja sama dengan Sugar Bakery.” Ibunya menjelaskan tanpa diminta.

Kesha tak berkata apa pun. Namun, dari gelagatnya yang gusar, Nida tentu mengetahui bahwa penolakanlah yang akan diterimanya. Ia menghela napas. Dalam hati sebenarnya ia pun turut prihatin melihat Kesha yang kehilangan semangatnya.

“Kei .…”

“Aku nggak bisa, Ma.”

“Mau sampai kapan kamu kayak gini? Apa kamu pikir Evan bisa balik dengan sikap kamu yang nggak jelas gini?”

Ucapan itu sangat menyentak dirinya. Tetapi, ia memang tak bisa membuat pembelaan. Ibunya benar, dan selalu benar. Dengan menjauhkan diri dari kue dan urusan toko, tak akan bisa membuat keadaan berubah. Evan tetap bersekolah di Italia. Laki-laki itu tetap tak akan tahu apa yang ada dalam hatinya, apa yang ia inginkan.

“Udahlah, Ma. Aku nggak mau kita berdebat tentang ini lagi. Aku nggak bisa bantu Mama. Maaf, aku mau pulang.” Kesha membalikkan tubuh. Pergi dengan perasaan yang tak menentu. Nuraninya mengatakan bahwa tindakan yang ia ambil salah. Tetapi, nurani telah dikalahkan oleh sikap egoisnya.

Lihat selengkapnya