Suara deru motor matic yang tak asing berhasil mengalihkan perhatian Nida dari display cake di dekat pintu masuk. Matanya mengarah ke luar. Kemudian, merasa lega sekaligus senang saat melihat siapa yang turun dari motor matic itu. Dengan tubuh berbalut skinny jeans, long-shirt, serta sepatu kets di kakinya, ia bisa mengenali sosok itu dengan sangat mudah.
Kini ia melangkah ke arah pintu, masih menenteng helm di tangan dengan wajah resah. Namun, melihat kedatangannya, Nida yakin akan mendapatkan kabar gembira.
“Kei .…”
Belum sempat Kesha melangkah semakin dalam, Nida sudah mengejutkannya di depan pintu. Ia tersenyum dan mau tak mau Kesha balas tersenyum, seadanya.
“Ada apa pagi-pagi udah datang? Mama nggak lupa bawa obat, kok.”
Kesha berdeham setelah berdiam agak lama. Bola matanya bergerak pertanda tak tenang. Nida masih tersenyum penuh arti di depannya. Mungkin tanpa mengatakannya, ibunya sudah tahu apa tujuan ia datang ke Sugar Bakery sepagi ini. Pada saat pelayan belum terlihat di ruang display dan toko belum dalam keadaan terbuka sepenuhnya.
“Aku bersedia, Ma.”
“Bersedia? Untuk apa?”
Kesha menahan jengkel. Ibunya jelas tahu bersedia untuk apa. Namun, ia kenal tabiat ibunya yang suka bermain-main dengannya. Ia menghela napas, membuang perasaan gusarnya.
“Aku ikut bantu nyelesain orderan besar Mama.”
Senyuman Nida semakin lebar. Kesha memalingkan wajah. Mewanti-wanti diri dari hal yang tak terduga. Dan, ia mendapatkannya. Nida memeluknya cepat. Terasa berlebihan. Tapi, seperti itulah ibunya. Sikapnya kadang mudah ditebak, kadang sangat sulit.
“Makasih, Sayang.”
“Iya.” Kesha melepaskan pelukan itu karena merasa risi.
“Ya udah, langsung ke dapur, ya. Atau, perlu Mama temani? Oh, harusnya iya. Mengingat ini pertama kalinya kamu kembali ke dapur.” Nida menarik Kesha menuju dapur.
Pagi ini tak seperti biasa, ruang dapur Sugar Bakery yang tak seberapa luas sudah dipenuhi kesibukan karyawan. Lama tak melihat pemandangan seperti ini membuat Kesha merasa sedikit asing. Sudut-sudut dapur dipenuhi kegiatan setiap karyawan. Bersama dalam deru mesin mikser, blender, dan denting oven. Aroma mentega dalam balutan tepung, gula, dan baking powder memenuhi udara. Kesha menahan diri. Hari ini tak ada Evan, tidak ada celah untuk memikirkan ataupun mengingatnya.
“Chef Gathan.” Nida memanggil Gathan yang tadinya tengah memasukkan tepung ke dalam standing mixer yang mengaduk telur beserta gula. Pandangan Gathan beralih. Sudut bibirnya melengkungkan senyum sederhana. Kemudian, ia beralih kepada Kesha yang masih memperhatikan aktivitas di dapur.
“Ya, Bu?”
“Kesha udah bersedia bantu nanganin orderan besar kita hari ini. Jangan sungkan ngasih dia kerjaan. Dan, bimbing dia, ya.”
Ucapan itu mengejutkan Kesha. Ia menoleh ke arah Nida. Dua kalimat terakhir pernah ia dengar pada waktu yang telah lama. Saat kali pertama Kesha masuk ke dapur Sugar Bakery, saat ia bertemu Evan, kalimat itu pula yang dikatakan Nida.
Manik mata Kesha bergerak ke arah Gathan. Ia baru saja mengiyakan permintaan Nida, lalu lanjut menunduk, memandang adonan yang berputar dalam mikser.
“Mbak Kesha.” Gathan memanggil. Mengejutkannya dari lamunan kecil. Ia menoleh. Suara Gathan sedikit besar. Menyadarkannya bahwa ia tak pernah lagi mendengar suara laki-laki itu setelah pertemuan pertama mereka.
Kesha mendekat. Saat memanggilnya, Gathan sama sekali tak mengalihkan pandangan dari adonan. Bahkan, tangannya masih sibuk memasukkan tepung ke adonan cupcake. Kesha mengerti bahwa membuat cupcake butuh ketelitian menggabungkan seluruh bahan. Ia berdecak tanpa suara. Sejak pertemuan pertama, ia yakin tak akan menemukan kecocokan dengan laki-laki ini. Sikapnya saja terasa congkak.
“Panggil Kesha aja. Nggak usah pakai ‘mbak’.” Kesha memotong, setengah jengkel. Gathan mengangkat kepalanya. Perempuan di depannya memasang ekspresi kesal. Jemarinya mengambil daftar kue di atas meja. Ternyata Moccakino memesan pie apel, egg tart, cupcake, dan muffin yang memang dalam empat bulan terakhir menjadi favorit pelanggan Sugar Bakery. Mereka juga memesan beberapa jenis cookies sebagai bingkisan untuk para tamu undangan. Serta yang paling utama, kue tar. Kesha dengar pembukaan cabang coffee shop itu sekaligus untuk merayakan ulang tahun pemiliknya.
Kesha tertegun, mengingat Evan. Beberapa kue yang tertera memakai resep buatan laki-laki itu. Jika Evan tahu mereka dapat orderan besar untuk resep buatannya, ia pasti sangat senang dan bangga. Lalu, dengan wajah jailnya ia akan menyombong di depan Kesha. Rasanya ia ingin sekali melihat raut wajah itu lagi.
Gathan berdeham pelan, lalu memperbaiki ucapannya. “Oke, Kesha. Biar saya jelaskan pembagian kerjanya. Bimo bagian egg tart, Ratna bagian kue pie, Tomi bagian cookies termasuk bingkisannya, Fani bagian krim untuk kue dan kebersihan. Saya sendiri menangani muffin, cupcake, dan cake.
“Sebenarnya, pesanan untuk muffin sedikit lebih banyak dari jumlah cupcake.” Gathan terlihat menimbang-nimbang. “Kamu bisa tangani muffin-nya?”
Bersamaan dengan ucapan itu, mata Kesha memandang pada dua baris kata di kertas. Chocolate muffin dan banana muffin. Hatinya berdesir. Bukan jenis perasaan yang menyenangkan. Resah yang sedang ia tahan kembali muncul ke permukaan.
“Gimana? Bisa, kan?” Gathan membuyarkan lamunan Kesha. Dalam sekejap mata Kesha melirik ke arahnya. Pertanyaan itu seolah meragukan kemampuannya. Ia mengangguk tanpa suara.
Sebelum beranjak ke dry store untuk mengambil bahan-bahan yang ia butuhkan, sebentar Kesha melihat karyawan di dapur. Mereka larut dalam kegiatan masing-masing.
Bimo di bagiannya membuat egg tart. Laki-laki berusia 25 tahun itu memiliki tubuh bongsor. Ia tertarik pada dunia pastry karena kesukaannya pada makanan yang manis. Lalu, jauh di sebelahnya ada Ratna yang menangani pie. Ratna seorang ibu muda yang tertarik pada kue sejak ia menikah.
Lalu, di sisi lainnya Tomi menangani adonan cookies. Tomi dengan lengan kokoh sangat diandalkan jika mereka punya orderan besar. Fani, dia anggota baru sebenarnya, dan tugasnya tidak seperti yang lain. Ia masih menangani bagian yang mudah. Seperti krim dan mencuci peralatan masak yang kotor. Ibarat peran asisten dapur di sebuah restoran. Walau begitu, pekerjaannya bukan main-main.
Di dry store, Kesha mengambil telur, tepung, margarin, gula dan chocochips. Begitu meletakkan semua bahan di atas meja, ia kembali tertegun. Memperhatikan sekitar.
Kesha sadar waktu yang ia lewatkan sama sekali tak mampu membuat bayang Evan memudar. Aroma pekat di dapur ini masih sama seperti dulu. Ia masih bisa merasakan ketika Evan masih di sini. Berdiri di depan meja panjang di tengah dapur. Mata yang fokus, sudut bibir yang membentuk senyum, dan jari-jari yang bergerak lincah membuat kue. Kemudian, ia memanggang adonan kue dalam oven. Memunggungi meja, bersandar seraya melihat proses matangnya kue.
Kini yang ada di depannya bukan lagi Evan, melainkan laki-laki bernama Gathan yang sama sekali tak menghiraukannya. Saat ini ia sedang memasukkan adonan cupcake yang berwarna merah muda ke dalam cetakan. Wajahnya sangat serius. Matanya ikut bergerak seirama adonan yang jatuh ke atas cetakan. Begitu terus-menerus sampai adonan habis. Kemudian, ia memasukkan adonan itu ke dalam oven besar di belakangnya. Mengatur suhu dan waktu. Setelah itu berbalik. Pandangan mereka bertemu. Kesha terbelalak dan langsung sok sibuk.
Sial. Ia ketahuan memperhatikan Gathan. Tak ada kata dari Gathan. Tangannya kembali sibuk. Kembali mengayak tepung. Menimbangnya di atas timbangan analog dan menyisihkannya bersama bahan lain.
“Kalau merhatiin kerja orang lain, kerjaan kamu nggak bakal selesai.” Gathan tiba-tiba berkata. Kesha benar-benar kaget sampai nyaris menjatuhkan kotak susu cair di sebelah sikunya.
Mata Gathan mengarah kepadanya. Mendapati wajahnya yang gugup. Tanpa kata-kata, Kesha menunduk. Mulai memikirkan apa yang harus ia lakukan kali pertama. Dua bulan lebih tanpa semua ini membuatnya mulai pikun. Dan, kegugupan membuatnya kian tak bisa berpikir dengan baik.
“Telur diaduk sama gula, vanilla extract, dan susu.” Gathan memberi petunjuk karena melihat Kesha yang seperti kebingungan melakukan apa terlebih dahulu. Perempuan itu menoleh dengan cara yang sinis. Sorot matanya berubah tajam. Bibirnya menipis.
“Sa-saya tahu, kok!” Ia kemudian melakukan seperti yang diberi tahu laki-laki itu. Sekarang ia sungguh terlihat bodoh. Tapi, terserahlah. Lagi pula, ia tak akan menginjakkan kaki di dapur ini lagi setelah selesai memenuhi permintaan ibunya. Punya pengalaman konyol dengan chef baru bukan hal yang harus ia khawatirkan.
Kini gantian Gathan yang memperhatikan Kesha. Jelas terlihat gemetar di tangan perempuan itu. Ia tak fokus dengan pekerjaannya. Ingin Gathan menyela dan memberitahukan bahwa telur yang dikocok bersama gula itu belum rata, tetapi ia khawatir akan reaksi Kesha.
Seperti yang sebelumnya dikatakan Nida kepadanya, Kesha punya temperamen yang sedikit buruk. Selalu melibatkan emosi dan mood dalam mengerjakan sesuatu. Yang artinya jika mood-nya baik maka apa pun yang ia kerjakan akan berbuah hasil yang baik. Sebaliknya, jika mood-nya buruk maka rusaklah semua. Dan, dilihat dari cara Kesha bekerja saat ini, Gathan menduga kalau perempuan ini dalam mood yang kurang baik. Bahkan, keningnya berkerut ketika menyatukan campuran telur ke dalam tepung.
“Kalau merhatiin kerja orang lain, kerjaan kamu nggak bakal selesai.” Tiba-tiba Kesha mengulang ucapan Gathan tadi. Laki-laki itu terkejut, tetapi tak mengalihkan pandangan. Ia tersenyum masam, lalu memutuskan mengambil alih pekerjaan Kesha. Perempuan itu terbelalak, tak sempat menghindar. Ia merasakan mata karyawan lain melihat ke arah mereka.
Gathan memutar whisk dengan gerakan yang teratur. Gerakan yang menyatukan adonan dengan baik. Tidak menggumpal. Ia kemudian memberikannya kepada Kesha kembali.
“Adonan bisa masuk angin kalau kamu terlalu lambat ngaduknya.” Gathan kembali ke pekerjaannya. Kesha mendengus pelan. Walau ia akui bahwa Gathan memang cekatan menyatukan adonan muffin barusan.
“Saya tahu, kok.” Kesha seperti mengulang ucapannya yang sebelumnya. Ia menuang adonan ke dalam pastry bag, kemudian menyemprotnya ke dalam loyang muffin yang sudah dilapisi kertas cup. Lalu, ia membawa loyang itu ke oven yang sudah dipanaskan dalam suhu 180 derajat. Muffin akan dipanggang dalam waktu 15 sampai 20 menit, hingga matang dan mengembang.
Tak lama Gathan datang membawa adonan cupcake-nya. Ia menggunakan oven yang ada di sebelah oven yang dipakai Kesha.
Kesha meliriknya sesaat. Namun, Gathan tampaknya tak peduli. Ia kembali ke bagiannya untuk membuat cupcake lagi. Kesha pun turut kembali.
“Untuk cake-nya .…”
Gathan melirik ke arah Kesha yang belum menuntaskan kalimatnya. Perempuan itu tampaknya ragu bertanya.
“Kamu udah ada ide?” lanjut Kesha.
“Ya.” Gathan mengeluarkan selembar kertas dari dalam saku apron-nya. Kesha melihat isi kertas yang disodorkan kepadanya itu. Tar dua tingkat dengan krim putih. Sederhana.
“Gini aja?”
Gathan mengiyakan.