Little Did We Know

Falcon Publishing
Chapter #2

BAB 1

Ternyata benar apa yang orang-orang bilang, masa paling indah adalah masa SMA. Adis merasa hidupnya lengkap. Dia memiliki kedua orang tua yang menyayanginya. Hidupnya nyaman dan berkecukupan. Dua sahabatnya selalu siap mendengarkan keluh kesahnya. Dia memiliki seabrek prestasi di sekolah, dan ... tentu saja cinta monyet yang membuat jantungnya berdebar tidak keruan. Kalau bisa memilih, dia ingin seperti ini selamanya.

Adis duduk sambil menyisir rambut lurus sepunggungnya di depan cermin meja rias. Dia bersenandung lirih mengikuti Manusia Kuat milik Tulus dari aplikasi layanan streaming musik digital di ponselnya. Suaranya memang tidak seempuk Tulus, tetapi tidak sampai menyakiti pendengaran. Tangannya mengucir rambut menyerupai ekor kuda, lalu merapikan anak rambut dengan menyisirnya ke atas.

Selesai membubuhkan sunscreen di wajah, Adis menambahkan bedak tabur, lalu pelembap bibir. Dia memperhatikan sekali lagi, memastikan riasannya sudah oke. Selain kulit putihnya yang bersih dan lembap, dia menyukai alisnya yang tebal melengkung rapi. Menurut kebanyakan orang, Adis mirip papanya yang asli Sunda. Dia mewarisi kecantikan khas mojang Bandung.

Jam bulat merah muda berukuran besar yang menghiasi dinding kamarnya menunjukkan pukul 05.50 WIB. Adis beranjak menuju meja belajar, meraih ransel, lalu mengambil ponsel yang tengah memainkan Melangkah dari Raisa.

Saat mematikan aplikasi streaming, sebuah notifikasi WhatsApp masuk. Alisnya sedikit bertaut saat melihat nama yang tertera. Selanjutnya dia menarik napas kesal. Pagi-pagi begini sudah mengirim pesan? Dia mengabaikan pesan tersebut dan memasukkan ponsel ke ransel.

Seperti biasa sebelum berangkat sekolah Adis menyempatkan menatap dream board yang dia tempel di dinding dekat meja belajar. Melihat tulisan itu setiap hari membuat semangat belajarnya terus menyala.



Matanya terpaku pada tulisan paling atas.

KULIAH S1 DI FEB UNIVERSITAS INDONESIA

KULIAH S2 DI INGGRIS 

Dia tersenyum kecil dengan mata berbinar. Tulisan itu dia buat saat masuk SMA. Ketika kebanyakan teman-temannya belum tahu mau kuliah di mana atau mengetahui rencana ke depannya, Adis sudah tahu apa yang diinginkannya.

Ketertarikan dengan negara Ratu Elizabeth itu timbul saat Adis dan mamanya mengunjungi papanya yang sedang mengambil Ph.D. di Birmingham. Saat itu usianya delapan tahun. Dia terpesona dengan kemegahan kampus yang didominasi warna terakota itu. Serupa benteng istana yang pernah dia tonton di film-film Disney.

Hasrat untuk kembali ke Britania Raya semakin besar saat guru les bahasa Inggrisnya yang seorang native speaker kerap menceritakan keindahan negara itu. Ditambah membaca tujuh jilid novel Harry Potter, hasil “racun” teman-teman di kelas bahasa Inggrisnya, membuat impiannya untuk bisa kembali menginjakkan kaki di negara tersebut semakin besar.

Orang tuanya mendukung rencananya untuk kuliah di Inggris, hanya saja mereka baru akan melepasnya sendirian ke sana setelah menyelesaikan S1 di Indonesia. Adis perlu bersabar sampai lulus S1 baru bisa melanjutkan S2 di Inggris.

Adis berharap bisa masuk UI lewat jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) di sekolahnya. Dia memilih Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI karena dulu papa dan mamanya pernah kuliah di sana. Selain itu papanya adalah dosen Ekonomi di salah satu universitas swasta di Jakarta.

Waktu selama dua tahun ini dia dedikasikan untuk meraih impiannya. Dia rela mengorbankan waktu bermainnya untuk belajar. Dia yakin, hasil tidak akan mengkhianati usaha.

***

Nyimas menarik napas, menahan tangis yang sudah di ujung tenggorokan. “Jangan sekarang,” pintanya dengan suara tertahan. Dia tidak mau suaranya terdengar oleh anaknya. Walaupun kamar tidurnya berada di lantai bawah, tetap saja dia khawatir anaknya yang di lantai atas bisa mendengarnya.

“Kita nggak bisa menunda terus-menerus,” balas Ganjar sengit. “Bukannya kamu yang menginginkan hal ini?”

Nyimas menaruh telunjuknya di bibir, meminta suaminya memelankan suaranya. “Sampai Adis lulus SMA,” katanya dengan suara pelan.

Ganjar berdecak kesal. “Itu terlalu lama.” Laki-laki berusia 45 tahun itu berdiri dari tepi tempat tidur, menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar. Dia mengambil handuk yang tersampir di gantungan handuk dekat pintu kamar mandi. “Malam ini kita bicara dengan Adis,” ujarnya tidak ingin dibantah. “Kalau kamu tidak mau bicara, aku yang akan bicara dengannya.”

Nyimas tertunduk lesu di depan meja rias. Menatap cermin yang memperlihatkan wajah pucat dan mata sembap akibat semalaman menangis, memikirkan persoalan yang sedang dia hadapi saat ini. Dia menarik napas panjang untuk mengurangi impitan di dadanya. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil. Air matanya kembali mengalir. 

***

Adis menuruni tangga sambil bersenandung kecil. Dia menaruh ransel di piano bench dekat ruang makan. Sudah lama juga dia tidak memainkan upright piano putih yang dibelikan papanya saat lulus SD.

Adis melihat papa dan mamanya sudah duduk di kursi meja makan. “Morning, Pa … Ma …,” sapa Adis. Dia mencium pipi wanita yang menjadi panutannya itu. Dia ingin seperti mamanya yang tetap memiliki karier walaupun sudah berumah tangga dan memiliki anak.

“Halo, Sayang.” Nyimas balas mencium pipi anaknya sambil memaksakan sebuah senyuman.

“Mama nggak ngantor?” tanya Adis ketika duduk di samping mamanya. Biasanya pagi-pagi begini mamanya sudah rapi, namun sekarang masih memakai baju rumah dan belum dandan sama sekali.

“Mama lagi nggak enak badan.” Nyimas memberi alasan.

Adis memperhatikan wajah mamanya yang sedikit sembap dan pucat. “Kenapa? Pusing lagi?” Mamanya akhir-akhir ini memang sering mengeluh kepalanya terasa berat.

“Sedikit.” Nyimas mengelak, tidak ingin membuat anaknya khawatir. “Istirahat sebentar sama minum obat juga sudah baikan, kok.”

Adis mengusap tangan mamanya sekilas dengan pandangan khawatir.

Lihat selengkapnya