Little Did We Know

Falcon Publishing
Chapter #3

BAB 2

Adis berjalan menuju kantin yang terletak di samping gedung sekolah. Dia tersenyum tipis saat berpapasan dengan beberapa adik kelas yang menyapanya. Adis memang cukup dikenal di sekolahnya.

Awal tahun ini, dia mewakili sekolahnya mengikuti Olimpiade Ekonomi tingkat nasional dan mendapat juara 3. Minggu lalu, dia juga mewakili sekolah mengikuti OLIPS (Olimpiade IPS) tingkat nasional dan mendapat juara harapan. Dia sempat diwawancara saat menjadi juara 1 speech contest yang diselenggarakan salah satu penerbit buku besar di Indonesia satu tahun yang lalu. Walaupun hanya muncul di kanal YouTube penerbit buku tersebut, dia cukup berbangga diri.

Adis mempercepat langkah karena waktu istirahat tidak banyak. Seperti biasa, kantin sekolah ramai. Matanya mencari-cari di mana kedua sahabatnya duduk. Kantin di sekolah ini luas dan bersih. Ruangannya terbuka dengan meja dan bangku-bangku panjang tersusun rapi di bagian tengah ruang. Penjual makanan dan minuman teratur rapi di sisi kanan dan kiri bangunan.

“Adis!”

Adis menoleh ke arah suara dan menemukan Rana tengah melambai antusias ke arahnya. Di sebelah Rana, duduk Kia. Dia balas melambai dan menghampiri kedua sahabatnya itu.

“Lo nggak makan?” tanya Rana saat Adis berada di dekatnya.

“Masih kenyang, gue.” Adis duduk di bangku panjang di hadapan Kia. Sebelum berangkat sekolah dia sudah sarapan roti satu tangkup. Lagi pula, ini baru istirahat pertama.

“Makan, Adis,” seloroh Kia. “Entar pingsan lagi pas ngerjain soal.”

Adis mencebik. “Minta,” ujarnya pada Kia. Saat Kia mengangguk, dia menyeruput es jeruk dari gelas sahabatnya itu.

“Aduh, malas gue bimbel hari ini,” ujar Rana.

“Bimbel apa hari ini?” tanya Adis. Mereka bimbingan belajar di lembaga yang sama, hanya saja beda kelas karena dia IPS, sedangkan kedua sahabatnya IPA.

“Fisika,” kata Kia.

“Huh, gila ya. Sudahlah belajar dari pagi sampai sore, eh … ditambah lagi bimbel,” keluh Rana.

“Namanya juga sudah kelas dua belas, Na,” ujar Kia. “Kudu persiapan ekstra buat ujian.”

Rana menghabiskan mi bakso, lalu meminum teh manisnya yang tinggal sedikit. “Belum lagi ngerjain PR. Masa sampai rumah masih buka buku pelajaran lagi? Kapan istirahatnya kalau tidurnya selalu tengah malam?” Dia melanjutkan mengeluh, tidak memedulikan kalimat Kia barusan.

“Kalau mau nyantai, ngulang SD saja!” seru Adis membuat Rana merengut.

“Pengin cepat-cepat weekend, biar bisa ngelanjutin nonton drakor kesayangan gue,” ujar Rana.

“Drakor mulu dipikirin,” kata Kia. “Tuh, soal-soal dikerjain!”

Rana mengabaikan ucapan Kia. “Mendingan mantengin oppa-oppa ganteng daripada soal yang njelimet.”

“Ck! Oppa lagi, oppa lagi ...,” keluh Adis.

“Entar kalau remedial, baru nyesel!” sahut Kia.

“Kalau mau nilai bagus, ya, belajar, Rana,” tambah Adis. “Bagus atau nggak rapor lo tergantung seberapa keras usaha lo. Nggak ada yang susah kalau ada kemauan. Tapi kalau kerjaan lo nonton terus, ya ... wassalam.”

“Gue sudah belajar dari Senin sampai Jumat, kurang belajar apa lagi, coba?” balas Rana sengit. “Lagian nggak semua orang itu pintar kayak lo berdua. Ada yang sudah belajar mati-matian, tapi tetap saja nggak bisa.”

Adis mendengkus. Sulit menghadapi sahabatnya satu ini. Baginya tidak ada yang tidak mungkin asalkan ikhtiar sungguh-sungguh. Kuncinya adalah berlatih, semakin sering berlatih maka akan semakin mudah mengerjakan soal-soal. Dia sudah membuktikannya.

“Halah! Ngaku lo tiap malam bergadang nonton drakor diam-diam di kamar, kan. Kalau ke-gap sama nyokap, baru tahu rasa,” sergah Kia.

Rana merengut. Dia tidak membalas karena ucapan sahabatnya itu seratus persen benar. “Eh, besok pulang ekskul nonton, yuk!” Dia mengalihkan pembicaraan. “Kan sudah selesai PTS, jadi boleh, dong, senang-senang sebentar.” Dia mengedip-ngedipkan matanya sambil tersenyum, lalu menoleh ke Adis. “Lo jemput gue, ya.”

Adis berpikir sejenak. “Gue ada tugas geografi.”

Rana merengut. “Ayolah, Dis.” Dia membujuk. “Nggak seru kalau nggak ada lo. Tugas dikerjain Minggu saja.”

Mereka memang sudah lama tidak ke mal bareng dan nonton bioskop. Satu bulan kemarin Adis fokus belajar untuk menghadapi Penilaian Tengah Semester. “Gue tanya nyokap dulu, ya. Mudahmudahan Pak Karna bisa antar,” ujar Adis. Dia masih setengah hati.

“Naik motor saja, gue bonceng, lebih praktis,” ujar Kia mendukung ide Rana. Dia juga butuh penyegaran setelah ujian.

“Terus gue?” tanya Rana sambil menunjuk ke dirinya. Dia memang bisa naik motor, tetapi orang tuanya tidak mengizinkannya membawa motor ke jalan besar.

“Ojek!” seru Kia santai.

“Ogah! Gue bareng Adis saja naik mobil.” Rana mencibir.

Adis tersenyum kecil melihat tingkah kedua sahabatnya. Mereka sudah berteman cukup lama, sejak masih berseragam putih biru. Selalu sekelas saat SMP dan tinggal di satu komplek perumahan yang sama, hanya beda klaster.

Rana paling ekspresif di antara mereka dan mudah bergaul dengan orang lain. Kalau Kia cenderung pendiam, hanya mengomentari halhal yang perlu saja. Namun, sekali berbicara, kata-katanya tajam dan mengena.

Menjadi dekat bukan berarti mereka tidak pernah bertengkar. Kadang berbeda pendapat untuk beberapa hal, apalagi Adis termasuk lugas dalam berbicara dan bersikap. Namun, tidak pernah sampai berantem besar.

“Kalau Pak Karna nggak bisa, nanti gue minta antar sama nyokap.” Adis menengahi. Dia mulai terbawa antusiasme keduanya.

Lihat selengkapnya