Little Did We Know

Falcon Publishing
Chapter #4

BAB 3

Adis pernah mengalami mimpi buruk. Seperti ada sosok yang mengejarnya dan dia terus berlari dalam gerakan lambat, lalu terlempar ke jurang. Selanjutnya, dia akan terbangun kaget dengan dada berdebar pelan. Walaupun masih tersisa rasa takut, tetapi dia lega karena semua itu hanya mimpi.

Sekarang, dia ingin bangun dari mimpi buruk ini dan semuanya akan baik-baik saja. Kalimat papanya barusan hanya halusinasi atau dia salah mendengar. Skenario lain, semua ini hanya prank untuk konten di mesia sosial agar meraup views jutaan. Namun, untuk apa orang tuanya melakukan prank seperti itu?

“Adis.” Ganjar memanggil anaknya yang bergeming dengan wajah pucat pasi dan pipi basah. Dia menoleh ke Nyimas, meminta bantuan.

“Sayang ….” Nyimas bersuara lirih dan sedikit serak.

Adis masih terpaku. Dia menjengit saat mamanya tiba-tiba pindah duduk di sampingnya dan meremas tangannya pelan. Adis menoleh dan melihat air mata mengalir di pipi mamanya. Ketakutan menerpanya. Jadi, apa yang dikatakan papanya benar. Pernikahan kedua orang tuanya tidak baik-baik saja? Dan mereka memutuskan untuk …. Adis memalingkan wajahnya, menahan air mata yang kembali mendesak keluar.

“Adis, listen to me, Sweetheart.” Nyimas membujuk anaknya. “We love you so much. Mama dan Papa sayang sama kamu.”

“Nggak. Aku nggak mau Papa dan Mama pisah,” sergah Adis kalut. “Pokoknya aku nggak mau!” Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau orang tuanya berpisah. Bayangan negatif keluarga broken home di media sosial segera merasuki pikirannya yang tengah kusut.

“Sayang ….” Nyimas mengusap pelan punggung anaknya. “Kadang ada hal-hal yang nggak bisa disatukan, dan akan lebih buruk akibatnya kalau dipaksakan.”

“Kalau Mama dan Papa sayang aku, artinya kita nggak akan pisah, kan, Ma? Keluarga kita akan tetap sama-sama, kan?” Ketakutan memeluk Adis erat.

Nyimas tertunduk lesu. Dia sudah mengecewakan anaknya, tetapi sungguh tidak ada yang bisa dia lakukan. Baginya ini jalan terbaik bagi semua. Terutama bagi dirinya.

“Mama pernah bilang ke aku kalau di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin asalkan kita mau mencoba.” Adis membalikkan katakata mamanya dulu. “Kita pasti bisa terus sama-sama, Ma, asalkan Mama dan Papa mau berusaha.”

Nyimas menarik napas putus asa. “Mama dan Papa sudah mencoba, tapi nggak berhasil. Kami sudah berusaha berkali-kali. Ini solusi terbaik agar kami nggak saling menyakiti perasaan satu sama lain.”

“Terus bagaimana dengan perasaanku. Apa Mama dan Papa nggak peduli dengan perasaanku? Apa aku nggak penting di keluarga ini?” Suaranya meninggi. Sekarang dia berubah marah karena orang tuanya mengambil keputusan sepihak. “Bukannya kita selalu mendiskusikan segala sesuatu? Kenapa untuk hal sebesar ini Mama nggak nanyain pendapat aku?”

“Adis ….” Ganjar beranjak mendekati anaknya. Dia berjongkok di samping Adis. “Papa minta maaf untuk kali ini nggak mengikutsertakan kamu dalam pengambilan keputusan,” ujarnya. “Ada hal-hal khusus orang dewasa yang nggak bisa dimengerti oleh remaja seumuran kamu. Kamu harus percaya bahwa apa yang Papa dan Mama lakukan untuk kebaikan kita bersama ….

“Keputusan ini nggak kami ambil dalam semalam,” lanjut Ganjar. “Papa dan Mama sudah membicarakan ini selama berbulan-bulan. Ini adalah keputusan terbaik.”

“Terbaik? Maksud Papa kita tinggal berpisah dan keluarga ini akan berantakan, itu yang terbaik?” tanya Adis gusar.

“Sayang ….” Nyimas berusaha menenangkan Adis dengan merangkulnya.

Kali ini Adis mengelak rangkulan mamanya. “Aku nggak setuju Mama dan Papa pisah. Aku nggak mau tahu, pokoknya nggak ada perpisahan dan kita tetap tinggal satu rumah.” Dia berdiri dan berlari menuju tangga. Mengabaikan panggilan orang tuanya.

Sampai di kamar, dia mengunci pintu, membanting tubuhnya ke kasur, lalu membenamkan wajah ke bantal sambil menumpahkan air mata.

***

Nyimas tahu, percuma dia mengetuk pintu kamar Adis berulang kali sambil membujuk agar anaknya itu membuka pintu. Adis pasti kecewa dan marah kepadanya. Dengan langkah lesu, dia kembali ke ruang tengah, di mana suaminya tengah duduk dengan wajah tertunduk.

Ganjar langsung menengadah saat istrinya mendekat. “Gimana?”

Nyimas menggeleng pelan, lalu duduk di sofa yang berjauhan dari suaminya.

Ganjar mengusap muka, lalu membuang napasnya. Dia menyandarkan punggung ke sandaran sofa. Dia merasa gagal menjadi orang tua. Kesalahan yang dia lakukan harus dibayar dengan risiko kehilangan anak satu-satunya. Adis pasti membencinya saat ini.

“Terus gimana?” tanya Nyimas pasrah.

“Kita tunggu Adis tenang dan kita ajak bicara lagi,” sahut Ganjar.

Lihat selengkapnya