Little Did We Know

Falcon Publishing
Chapter #5

BAB 4

Seharusnya saat ini dia menikmati masa remajanya yang hanya sekali seumur hidup. Bukannya memikirkan hal berat seperti perceraian kedua orang tuanya. Dia lebih memilih stres belajar menghadapi final Olimpiade IPS dibanding persoalan keluarganya saat ini.

“Ngapain, sih, Na!” seru Kia. “Lo masih belum kapok juga?”

“Kali ini beda,” balas Rana sengit.

“Semua cowok sama saja!” Kia memasang wajah jengkel.

Adu argumen kedua sahabatnya menyeret Adis dari lamunan. “Kenapa?” tanya Adis. Mereka tengah makan siang di food court sebuah mal sambil menunggu waktu tayang film bioskop mulai.

“Ini, Rana masih saja bahas tentang cowok yang lagi pe-de-ka- te sama dia.” Kia memutar bola matanya. “Sudah gue bilang, jangan diladeni.”

Adis membentuk huruf “O” dengan mulutnya. Rana pernah cerita kalau sekarang ada teman satu angkatan yang sedang mendekatinya, tetapi dia belum mau cerita siapa orangnya. “Dia sudah nembak lo?” tanya Adis.

Rana menggeleng.

Adis mengerutkan alisnya, mengingat-ingat apakah ada cowok yang dekat dengan Rana saat di sekolah. “Siapa, sih?” tanyanya penasaran. Rasanya dia tidak pernah melihat Rana mengobrol atau berduaan dengan cowok mana pun selama di sekolah. Biasanya ke mana-mana mereka selalu bertiga.

“Ada, deh.” Rana tersenyum penuh rahasia.

“Sudah kelas dua belas, Na. Fokus ujian, jangan pacaran,” nasihat Kia.

Rana berdecak pelan. “Mulai, deh,” sahutnya malas.

“Percaya sama gue, pacaran cuma bikin lo nggak fokus belajar. Belum lagi kalau lo patah hati, jangankan belajar, mandi saja lo males,” tambah Kia. “Lo harusnya belajar dari pengalaman lo sama Erik.”

Adis tersenyum kecil kalau mengingat masa itu. Erik adalah kakak kelas mereka. Cowok itu menembak Rana saat kelas 11. Mereka hanya jadian selama tiga bulan dan sahabatnya itu tidak bisa move on sampai dua bulan setelahnya. Adis tahu benar bagaimana merananya Rana saat itu. Seperti tidak ada gairah dan setiap curhat selalu menangis.

“Sekarang bilang sama gue, apa manfaat pacaran buat lo?” tanya Kia ke Rana.

“Ada teman curhat,” jawab Rana cepat.

“Lo bisa curhat ke gue atau Adis,” kata Kia. “Kita kan sahabatan.”

“Ada yang perhatiin.” Rana memberikan jawaban lain.

“Jadi gue sama Adis kurang perhatian sama lo?” balas Kia sengit.

“Ada yang sayang,” tambah Rana.

“Jadi kita berdua nggak sayang sama lo?” Adis ikut-ikutan.

Rana merengut. “Ya beda, lah.”

“Bedanya di mana?” tanya Kia.

Rana tampak berpikir. “Ya ... beda saja.” Dia tidak bisa memberikan jawaban akurat.

“Bedanya lo sama dia bisa pegangan tangan terus peluk-pelukan, gitu?” tanya Kia blak-blakan.

“Dasar! Emang gue cewek apaan?” Rana memasang wajah tidak suka.

“Jadi pas lo sama Erik, kalian nggak pernah pegangan tangan?” cecar Kia.

Rana berdesah. “Apa salahnya pegangan tangan?” Atau pelukan, tambahnya dalam hati.

See!” seru Kia. “Cowok itu cuma mau ambil keuntungan saja karena kalau sudah pacaran mereka menganggap boleh ngapa-ngapain sama pacarnya. Dan percaya sama gue, pegangan tangan saja nggak cukup buat mereka.”

“Nggak semua orang pacaran gitu juga kali.” Adis protes. Walaupun dia belum pernah pacaran, menurutnya ada juga pacaran sehat.

“Adis ... kalau ada orang pacaran nggak ‘ngapa-ngapain’.” Kia memberikan gestur tanda kutip dengan kedua tangannya. “Terus ngapain pacaran?”

“Hadeh, Kia, capek gue debat sama lo,” ujar Rana. “Lo sudah mirip-mirip Kak Nila, kayak ustazah ngasih tausiah.”

Adis tertawa kecil. “Film sudah mau mulai, nih.” Dia mengalihkan pembicaraan. “Kita salat dulu baru beli camilan.” Ada untungnya dia memutuskan untuk bepergian bersama sahabat-sahabatnya siang ini, sedikit banyak bisa membuatnya tertawa dan sejenak melupakan persoalannya.

“Gue ngomong kayak gini karena gue sayang sama lo, Na,” tambah Kia dengan nada lembut. 

“Gue tahu, Kia,” balas Rana. “Dan gue juga sayang sama lo!” Rana merangkul sahabatnya itu dengan sedikit berlebihan, membuat Kia kesulitan bernapas.

“Rana!” Protes Kia disambut tawa lepas Rana.

Adis ikut tertawa lebar. Tawa lepas pertamanya sejak kemarin malam.

***

Lihat selengkapnya