“Leina … Leina … bangun, sudah siang!”
Leina membuka kelopak matanya mendengar teriakan suara ibu dari balik pintu. Ia mengucek-ngucek matanya, lalu meringis sakit ketika keningnya tersentuh tak sengaja dengan tangannya. “Leina … bangun! Lei!” teriak ibu lagi. “Iya Bu! Ini Leina sudah bangun,” sahut Leina berdiri dari lantai berjalan menghampiri meja belajarnya yang berantakan. Pinsil-pinsilnya berserakan di lantai begitu juga dengan kertas gambar dan buku-bukunya. Leina terdiam menatap itu semua lalu menggeleng perlahan. Ternyata apa yang terjadi semalam bukanlah mimpi.
Leina mengunpulkan kertas-kertas gambarnya, memunguti pinsilnya dengan gemetar kemudian merapikannya di atas meja. Tak terasa air matanya menetes. Leina mengepalkan tangannya menahan kesal tetapi ia tak bisa luapkan, ia hanya bisa berteriak dalam dadanya saja.
Ketika Leina telah memakai seragam sekolahnya dan muncul di dapur, ibu terkejut menatapnya. “Loh itu kenapa jidatmu bengkak begitu?” tanya ibu. Di meja makan, ayah tirinya yang sedang mengunyah mie goreng mendelik sekilas pada Leina dan Leina tahu arti delikan itu. “Jatuh dari tempat tidur Bu,” jawab Leina. “Ya ampun … kayak anak kecil aja kamu deh Lei, mimpi sampe jatoh,” tawa ibu, “eh semalam Ibu pulang kerja, Ibu ketuk-ketuk pintu kamarmu tapi ga ada jawaban.”
“Aku sudah tidur Bu,” jawab Leina padahal malam itu ia sedang menangis. “Ya sudah, ini bekal makananmu dan uang jajanmu … sudah kesiangan tuh, cepet pergi sana, awas! Jangan nyimpang kemana-mana lagi,” pesan ibu. Leina mengangguk dan berjalan ke pintu depan ditemani ibu.
“Oiya sepulang sekolah, Ibu titip beli daging di toko daging Edi ya … kita makan daging malam ini, Ibu baru gajian,” bisik ibu tersenyum. “Ehem!” ayah tirinya berdehem keras. “Lei, pamit dulu sana sama Ayahmu,” pinta ibu. Leina tidak menggubris permintaan ibu, ia terus berjalan keluar dan menutup pintunya dengan keras. “Sialan!” decak ayah tirinya membanting sendoknya ke piring. “Sudah, diam! Aku tidak mau ada keributan lagi pagi ini!” sentak ibu, “beri dia waktu untuk bisa menerimamu! Dia masih teringat ayah kandungnya!” Ayah tirinya mendengus, berkata sinis, “Orangnya saja entah kemana!” Ibu menghela nafas, “Sudah, sebaiknya kau lanjutkan makan saja, aku benar-benar sedang capek dan malas untuk ribut hari ini.”
Ayah tirinya pun melanjutkan menyuap mie gorengnya.
***
Leina berjalan kaki menuju sekolahnya yang berjarak beberapa blok dari rumah.
Berjalan di trotoar, melewati rumah dan toko. Ia berusaha membersihkan pikirannya dari kejadian semalam tetapi tak mudah. Ia marah pada dirinya sendiri yang tak berdaya. Leina terus berjalan hingga melewati dua anak perempuan kecil yang sedang bermain di pekarangan rumah mereka. Leina mendengar salah seorang anak itu seperti memanggilnya. Leina menghentikan langkah dan menoleh pada dua anak kecil yang sedang bermain itu.