Terdengar riuh sorak-sorai suara murid-murid di lorong gedung sekolah siang itu, seperti sedang menyoraki sesuatu. Seluruh murid di kelas Leina pun terpancing dengan keriuhan itu, maka mereka bangkit dari kursi masing-masing keluar kelas untuk melihat apa yang sedang terjadi begitu juga dengan guru mereka yang tadi sedang mengajar. Hanya Leina yang tidak peduli, ia tetap duduk di kursinya. “Lei ayo kita lihat,” ajak Asri menarik lengan Leina. Awalnya Leina menggeleng tapi Asri memaksanya, akhirnya Leina mengikuti Asri dengan malas. Di luar kelas mereka mengintip dari balik punggung murid-murid yang sedang ramai itu.
“Sudah! Sudah!” bentak guru mencoba memisahkan dua murid perempuan yang sedang bergumul dan jadi tontonan itu. Leina mengenali kedua murid perempuan itu, Mutia dan Reni. Kerudung Mutia tampak begitu kusut seperti habis ditarik, sedang baju seragam Reni juga kusut. “Ada apa ini? Apa yang kalian ributkan?” tanya guru itu. “Dia duluan Bu! Saya lagi ga ngapa-ngapain tau-tau diserang sama dia! Dasar gila!” cetus Reni menunjuk Mutia.
Mutia menggeleng, “Ga Bu, demi Allah, dia yang duluan … dia minta saya merangkak di depan dia dan teman-temannya karena saya ga bilang permisi. Dan dia juga menghina saya Bu!”
“Heh, mana mungkin gue melakukan itu?” sergah Reni.
“Jangan bohong!” balas Mutia.
“Sudah! Sudah! Sekarang kalian ikut Ibu ke kepala sekolah!” tegas guru tersebut, “yang lainnya bubar! Dan lanjutkan pelajaran kalian di kelas masing-masing!” Maka murid-murid semua perlahan membubarkan diri. Leina masih terus menatap Mutia yang berjalan menuju ruang kepala sekolah. “Itu cewek yang kemarin ngelambai sama lo di lapangan bukan?” bisik Asri. Leina mengangguk, “Mutia namanya.”
“Menurut lo, siapa yang benar di antara mereka?” lanjut Asri.
“Mutia,” jawab Leina lalu berjalan kembali ke dalam kelasnya.
***
Bel pulang sekolah berbunyi.
“Lei, pulang bareng gue yuk, kita jalan kaki bareng, rumah gue juga ga jauh dari rumah lo kok, misah jalan doang,” ajak Asri seraya memasukkan bukunya ke dalam tas. “Lain kali Sri,” jawab Leina. Asri terdiam lalu tersenyum, “Ok kalau gitu, gue duluan ya,” kemudian ia berjalan cepat keluar kelas dengan hoodie di kepalanya. Sedang Leina menunggu sekolah agak sepi, baru keluar kelas. Leina memang tak menyukai keramaian dan sebisa mnungkin menghindarinya. Ia berjalan menuju ruang kepala sekolah dan melongok pada ruang kepala sekolah yang tak ada orang, kemudian mencari di kelas XA, tapi kelas itu pun sudah kosong, nampaknya semua murid memang sudah pulang.
Leina akhirnya memutuskan untuk pulang saja tapi di luar gedung, tepatnya di pinggir lapangan ia melihat Mutia sedang duduk sendirian. Leina menghampirinya. “Hai,” sapa Leina kaku dan pelan. Mutia menoleh, menatap Leina. “Lo ‘hai’ ke gue?” tanya Mutia. Leina mengangguk. “Hai juga,” balas Mutia lalu menatap kembali ke lapangan. “Inget gue?” tanya Leina. Mutia menoleh pada Leina, tertawa. “Tentu saja inget … yang kemarin nyari kelas, yang gue lambaikan tangan dan yang diisukan sebagai penyembah setan hahaha,” bebernya. Leina terkejut, “Kabarnya sudah menyebar?”
“Cuma orang bego yang percaya kalau lo penyembah setan,” sahut Mutia. Leina duduk di sebelah Mutia. “Lagi lihat apa?” tanya Leina mengikuti tatapan mata Mutia pada lapangan yang kosong. “Lihat kosong dan sepi,” jawab Mutia singkat. ”Oh,” tanggap Leina pendek. Mereka pun terdiam dan sama-sama melihat pada lapangan kosong dengan debu yang beterbangan ditiup angin siang. “Tadi gue lihat lo berantem sama Reni,” celetuk Leina setelah beberapa saat mereka diam.
“Terus?”
“Gue tau lo yang bener.”
Mutia menghela nafas, “Tapi ga dengan kepala sekolah.”
“Kenapa memang?”
“Kepala sekolah lebih percaya dia yang benar.”