Desas-desus itu tersebar cepat. Awalnya dari grup-grup WA kelas hingga sampai ke pembicaraan di sekolah. Semua murid membicarakannya, sedang para guru belum menyadarinya. Begitulah, sebuah kabar jelek seseorang akan lebih cepat tersebar dibanding kabar baiknya. Sebagian besar orang lebih menyukai membicarakan keburukan orang lain dan sebagian besar orang lebih senang melihat orang lain susah.
“Pelacur!” maki Reni dengan suara keras saat Mutia melewatinya.
Ia sengaja melakukan itu untuk Mutia. Mutia tahu maksud Reni tapi ia malas untuk meladeninya maka ia tidak mendengarkan dan terus saja berjalan menuju kelas. Tetapi di depan pintu kelas Mutia dilarang masuk. Teman-teman satu kelasnya menghadang. “Heh Mut … gue ga mau satu kelas sama cewek kotor kayak lo!” seru salah satu di antara mereka diikuti anggukan kepala lainnya. Keringat dingin keluar dari dahi Mutia merembesi kerudungnya. Hatinya sudah tak enak sejak pagi tadi sebelum berangkat ke sekolah dan sekarang terbukti sesuatu yang ia takutkan sepertinya sedang terjadi.
“Heh, masih diem … pergi sana! … Temen-temen lo udah ga mau liat lo lagi!” sahut Reni yang datang bersama teman-temannya. Mutia hanya bisa terdiam, ia tercekat tak bisa membela dirinya sendiri. “Ada masalah apa?” hanya pertanyaan itu yang bisa dilontarkan Mutia dengan gemetar meski dalam hatinya ia sudah bisa menduga apa yang terjadi.
“Dih pake nanya ada masalah apa … lo ga tau ya kalau foto lo udah kesebar di grup-grup WA kelas?” ketus Reni. Jantung Mutia seakan berhenti berdetak mendengar kalimat itu. “Atau lo pura-pura ga tau?” sambung Reni, “oh iya gue lupa … lo ‘kan ga punya hape jadi ga tau kalau lo udah jadi bahan pembicaraan di sekolah ini selama dua hari!”
Reni mengeluarkan telepon genggamnya lalu menunjukkan sebuah foto ke depan wajah Mutia. “Lihat nih! Kelakuan lo! Tampilan aja pake kerudung kayak yang suci, ga taunya kelakuan lo kotor! Jijik gue!” serang Reni. “Ya Allah,” lirih Mutia melihat foto itu. Lututnya seketika lemas, tapi ia berusaha untuk tetap berdiri. “Mau ngomong apa lo? Buktinya sudah ada!” cetus Reni. Mutia tak bisa berkata-kata. Apa yang ditakutkannya benar terjadi. Dadanya terasa sesak, seperti ada batu besar yang menindihnya. Mutia sudah tak tahan lagi maka ia membalikkan badannya bergegas pergi. Sontak semua yang berada di situ menyorakinya.
Leina yang baru datang di gerbang sekolah, berpapasan dengan Mutia.
“Mut … mau kemana?” tanyanya melihat Mutia berjalan bergegas dengan menundukkan kepala serta mengusap air matanya. Mutia tidak mengindahkan pertanyaan Leina, ia hanya terus berjalan menjauhi sekolah secepat mungkin. Leina hanya berdiri menatap punggung Mutia tak mengerti.
***