Leina membuka matanya ketika sayup-sayup mendengar suara orang menangis.
Ia berjalan mengikuti asal suara tangisan itu. Berjalan pelan, melewati kuburan-kuburan, Leina mendapati seorang anak perempuan memakai kerudung sedang duduk bersimpuh menangis di depan sebuah kuburan. Leina mendekatinya dari belakang, ia mengenali siapa anak perempuan ini.
“Mutia?” sebut Leina pelan.
Mutia terkesiap mendengar namanya disebut dari belakang, ia segera menoleh dan terkejut melihat Leina. “A … apa yang lo lakukan di sini?” tanya Mutia sambil mengusap air matanya. “Mmm … gue abis nengok kuburan temen gue, Hendri,” jawab Leina. “Lo bikin kaget gue aja,” ucap Mutia. Leina menatap nama pada batu nisan di kuburan yang Mutia tangisi itu; Sisnowati binti Ujang.
“Itu Ibu lo?” tanya Leina sembari ikut duduk bersimpuh di samping Mutia. Mutia mengangguk. “Tapi selama gue di sini, gue ga pernah lihat lo ke kuburan ini Mut,” ujar Leina. “Selama lo di sini?” heran Mutia menatap Leina mendengar kalimat yang janggal itu.
“Maksud gue … mmm … selama gue nengok ke kuburan temen gue itu, gue belum pernah lihat lo ke kuburan ini,” ulang Leina meralat kata-katanya yang salah tadi, ia tak ingin seorang pun tahu mengenai tempat pelariannya dan seberapa sering ia berada di pekuburan ini.
“Cukup sering kok … mungkin saat lo lagi ga kesini …” jelas Mutia sembari menatap nanar batu nisan itu. “Udah beberapa hari ini lo ga ke sekolah Mut,” ucap Leina. Mutia menghela nafas berat, bergumam, “Gue udah berenti dari sekolah.” Leina terkejut.
“Gue bisa minta waktu sebentar?” pinta Mutia.
Leina tersadar dan menggeser duduknya agak jauh dari Mutia memberinya ruang untuk menziarahi kuburan ibunya. Mutia menunduk, tangannya meraup tanah lalu dikepalkannya kuat-kuat, ia tidak berdoa, tampaknya ia hanya ingin menumpahkan apa yang sedang mengganjal di dalam hatinya saja dan tak menunggu lama, tangisannya pun pecah. Awalnya pelan makin lama makin keras membuat bahunya berguncang. Kepalan tangannya pun ikut bergetar hebat.
Leina terdiam memerhatikannya.
Terdengar Mutia memanggil ibunya. “Bu, Mutia kangen Bu … Mutia ingin ketemu Ibu,” lirih Mutia dalam sedu-sedannya. Tanah dalam kepalan tangan itu dibukanya dan dibiarkan tanah itu luruh jatuh ke atas gundukan kuburan. Mutia meraup tanah itu lagi, dikepal lalu dibuka kepalannya lagi hingga tanah itu jatuh luruh kembali. Mutia melakukannya berulang kali seraya menatap tanah kuburan yang luruh itu dan berkata dengan sesekali terisak, “Dari tanah kembali ke tanah, kita semua begitu … Ibu sudah lebih dulu … Mutia pun ingin begitu … kembali menjadi tanah bersama Ibu.”
Gemuruh keras petir terdengar dua kali di langit mendung.