Ibu bergegas membuka pintu setelah mendengar ketukan.
Ia terkejut ketika melihat Leina berdiri di depan pintu dengan seragam sekolah dan tasnya yang basah kuyup. “Astaga Leina! Kenapa basah kuyup begitu? Kamu dari mana saja sih? Sudah malam begini baru pulang. Ibu khawatir dari tadi! Tadi sore Ibu telpon ke sekolah, tapi kata pihak sekolah kamu sudah pulang dari siang, trus kamu kemana?” berondong ibu cemas. Leina melangkah masuk. Dilihatnya ayah tirinya sedang menonton televisi dengan kaleng-kaleng bir di atas meja. Leina lewat di belakangnya menuju kamar mandi. “Heh, lewat saja … ga salam sama ayahmu apa?!” sentak ayah tirinya. Leina tidak mengindahkan, ia terus berjalan masuk ke dalam kamar mandi.
Ayah tirinya mengambil kaleng bir yang kosong lalu melemparkannya pada pintu kamar mandi seraya mengumpat, “Sialan kau!” Ibu melotot pada pria itu, “Jaga mulutmu!” Pria itu mendengus lalu kembali menonton televisi.
Setelah berganti baju dan makan, Leina duduk diam di atas tempat tidurnya sembari memeluk bantalnya. Di hadapannya duduk ibu di kursi belajar, menunggu. Menit-menit berlalu, di luar hujan masih turun. “Lei … kok diam? Coba cerita ke Ibu, kemana aja kamu sepulang sekolah tadi?” tanya ibu tak sabar. Leina menatap ibu.
“Aku tadi nganterin temen pulang.”
“Ini temen yang tempo hari kamu katakan itu bukan?”
Leina mengangguk.
“Siapa namanya?”
“Mutia,” jawab Leina.
“Terus?”
“Dia tinggal di panti asuhan, sejak ibunya meninggal dia tinggal di situ … karena dia anak paling besar, jadi dia yang membantu kakek kepala panti untuk mengurus adik-adik pantinya yang masih kecil … aku kagum melihat dia begitu dewasa dan cekatan Bu … padahal dia masih seumuran denganku … dan dia baru saja bersedih tapi dia ga tunjukkan itu tadi.”
Ibu semakin mendengarkan dengan seksama.
“Dia mengajakku bicara … dia bercerita soal semuanya … dan yang membuat aku masih belum percaya adalah, dia memintaku untuk jadi saudara perempuannya, Bu ….”
Mata ibu melebar, dadanya dipenuhi senang, “Terus?”