Aku sedang duduk menatap ke luar jendela. Bagiku, di sinilah tempat yang paling nyaman. Entah apa yang dijelaskan oleh guru di depan. Aku tidak peduli, kalau soal pelajaran, aku bisa belajar di rumah. Teknologi sekarang bisa diandalkan.
“Hei, temani kami keliling sekolah, dong!” seru anak laki-laki yang berada di depanku. Di sampingnya, ada anak perempuan yang wajahnya mirip dengan anak laki-laki itu.
“Jangan gitu, dong, ngomongnya. Mama bilang nggak boleh kasar sama teman baru,” kata si anak perempuan, menyikut perut orang di sebelahnya. Yang disikut mendelik kesal.
“Siapa kalian?”
Aku terganggu. Sangat terganggu.
“Oh, hai. Kami murid baru disini. Kamu nggak merhatiin, ya, dari tadi?” Anak perempuan yang lebih sopan itu mengangguk sekali.
“Kami nggak tahu apa-apa tentang sekolah ini. Kalau kamu sedang tidak sibuk dan tentunya nggak keberatan, ng…” anak perempuan itu berujar dengan canggung. Mungkin karena melihat raut wajahku. “Bolehkah kamu mengajak kami berkeliling sambil menjelaskan tentang sekolah ini?” tanya anak perempuan. Sopan sekali. Tidak seperti anak laki-laki di sampingnya yang memutar mata gemas.
“Aku sibuk,” ketusku. Mereka emang nggak lihat, apa, aku sedang menikmati waktu sendirianku, ha?
“Semua teman yang lain sudah pergi beristirahat. Bisakah kamu melakukannya?” wali kelasku muncul dari belakang kedua orang yang mengganggu kedamaianku.
“Haaah.” Aku menghela napas kesal. Siapa, sih mereka?
Aku beranjak dari tempat dudukku. “Ayo.” Aku berjalan lebih dulu dengan malas.
Beruntung sekali mereka karena bertepatan dengan wali kelas yang masuk. Huh.
Aku mendengus kesal.
Aku hanya akan menemani mereka tanpa menjelaskan apa-apa. Titik!
“Hei, kenapa kamu tidak bermain dengan teman sekelas?” tanya si anak laki-laki. Mengganggu kedamaian heningku.
“Bukan urusanmu.”
Terdengar helaan napas di sampingku. Sepertinya anak laki-laki ini cerewet sekali. Aku pasti tidak akan tahan berteman dengannya.
“Hei, murid baru! Kalian jangan dekat-dekat dengan dia! Dia itu punya kutukan! Kalau kalian dekat-dekat sama dia, kalian bisa-bisa bakal hilang kayak ayah dan adiknya!” Entah siapa yang mengatakan itu. Aku lelah sekali mendengarnya. Inilah alasan aku tak ingin siapa pun berada radius satu meter di dekatku.
Haah. Aku menghela napas kasar.
Bisa saja perkataan tadi akan membuat kembar di belakangku ini menjauh. Sudahlah. Terserah mereka saja. Toh, aku yang memang dari tadi tak ingin diganggu siapapun.
Aku berjalan sambil terus memejamkan mata. Pusing.
“Mereka bicara apa, sih? Siapa yang ngilang?” tanya anak laki-laki dengan kening berkerut-kerut.
“Perkataan yang tidak jelas tidak usah dipedulikan,” jawab kembarannya kalem.