Tahun 2015.
Wiu, wiu, wiu!!
“Bunda, Bunda!! Jangan tinggalin Astrid, Bunda!! Astrid minta maaf! Astrid salah sama Bunda!! Astrid minta maaf, Bunda! Jangan tinggalin Astrid, Bunda! Apapun terjadi, Astrid mohon Bunda harus hidup!! Bunda nggak boleh tinggalin Astrid sendirian!! Astrid nggak punya siapa-siapa selain Bunda!!”
Dian melihat putrinya-Astrid menangis menggenggam tangannya erat, meski tangan Astrid gemetar hebat karena melihat darah terus mengucur dari bagian kepala Dian. Untuk sejenak ... Dian terkejut dirinya masih sadarkan diri dalam keadaan seperti ini. Melihat jumlah darah yang mengucur dari kepala, Dian yakin lukanya cukup parah.
Ahh, aku lelah dengan semua ini! Di saat seluruh tubuhnya terasa sakit bukan main, Dian hanya bisa mengeluh dalam hidupnya yang berat. Dian menatap Astrid yang tidak henti-hentinya menangisi dirinya dan memohon padanya untuk tetap bertahan hidup apapun yang terjadi. Setelah sekian lama aku bertahan, jika bisa ... aku ingin semua kelelahan dan beban ini pergi dariku sekarang juga!!
“Bunda harus hidup! Bunda nggak boleh tinggalin Astrid!! Astrid mohon! Astrid salah, Bunda!! Astrid mengaku salah!! Bunda harus bertahan hidup apapun yang terjadi! Astrid nggak punya siapa-siapa lagi selain Bunda!!!”
Astrid terus menggenggam erat tangan Dian dengan matanya yang basah oleh air mata karena perasaan bersalah dan takut. Benar ... Dian mengalami luka seperti ini karena tubuhnya bergerak sendiri dan tanpa sadar melindungi Astrid.
Krek, krek! Ranjang dorong yang membawa Dian akhirnya tiba di depan ruang operasi. Dian tadi sudah mendengar sedikit bagaimana keadaan dan luka yang dideritanya setelah berusaha menyelamatkan Astrid setelah bertengkar hebat dengan Astrid di pinggir jalan. Jika saja Astrid tidak berusaha melarikan diri ke arah jalan tanpa melihat ke kanan dan ke kiri, mungkin Dian tidak akan berbaring di ranjang dorong ini dan harus masuk ke dalam ruang operasi.
Ahhh ... hidupku ini!! Kira-kira ... apa yang aku lakukan di kehidupanku sebelumnya hingga hidupku sekarang berjalan seperti ini?? Aku belum menikah dan tiba-tiba membesarkan seorang anak seorang diri! Dan sekarang ... aku harus masuk ruang operasi karena tubuhku bergerak sendiri melindungi dia! Jika harus menebak, mungkinkah di kehidupan sebelumnya aku berhutang pada Ratih dan Astrid? Dian mengeluh lagi sebagai ganti rasa sakit yang menyerang tubuhnya.
“Nak, mohon tunggu di sini! Ibumu harus segera dioperasi karena luka di kepalanya yang parah!”
Pihak perawat yang ikut mendorong ranjang Dian, berusaha untuk melepaskan tangan Astri yang terus menggenggam erat tangan Dian dan menolak melepaskannya.
“Bunda, Bunda!” Astrid menangis memanggil Dian karena tidak ingin berpisah dari Dian saat ini.
“Kalau kamu ingin Ibumu bertahan hidup, tolong lepaskan tangan Ibumu dan biarkan Ibumu menjalani operasi sekarang juga, Nak. Kalau tidak Ibumu bisa berada dalam situasi yang berbahaya, Nak!”
Meski merasa enggan dan takut, Astrid harus melepaskan tangan Dian demi menyelamatkan nyawa Dian yang saat ini berada dalam bayang-bayang kematian.
“Tenang saja, Nak. Ibumu pasti akan baik-baik saja.”
Astrid melepaskan tangan Dian dan membiarkan Dian masuk ke dalam ruang operasi. Dari ranjang dorong yang semakin menjauh, Dian melihat Astrid-putrinya menangis dan tak melepaskan pandangannya sedikitpun dari Dian hingga pintu ruang operasi tertutup. Dian sadar pandangan yang Astrid berikan sekarang adalah pandangan takut kehilangan yang teramat besar.