Tahun 1989
Saat Ratih masuk SMU, Ratih masuk SMU tepat di samping SMP di mana Dian sekolah. Jika sebelumnya Dian gagal masuk SMP yang sama dengan Ratih dan sedikit membuat kesal Ibunya-Sari karena harus menjemput dua anaknya yang bersekolah dengan jarak yang jauh, kali ini Ratih diterima masuk di SMU tepat di samping Dian bersekolah. Ratih dengan sengaja memilih sekolah di dekat Dian agar memudahkan Sari-ibunya untuk menjemput keduanya.
“Kamu harusnya bisa masuk SMU yang lebih baik, Ratih! Kenapa justru memilih masuk ke sana, Ratih??” tanya Sari bingung dengan pilihan Ratih.
Sari sebagai ibu berpikir bahwa Ratih mampu mengerjakan EBTANAS dan diterima di SMU yang jauh lebih dari SMU yang sekarang jadi sekolah Ratih. Tapi Ratih dengan sengaja memilih sekolah yang dekat dengan sekolah Dian dan hal itu membuat Sari merasa bingung.
“Tidak apa-apa, Bu. Sekolah di mana saja menurutku sama saja.”
“Kamu ini, Tih!! Padahal sekolah di sekolah yang lebih bagus akan membuatmu lebih mudah diterima di universitas kan! Sayang sekali!” Sari masih tidak percaya dengan pilihan Ratih.
“Tenang saja, Bu. Ratih pasti bisa diterima di universitas mana pun nantinya. Ibu percaya dengan kemampuan Ratih kan??” Ratih tersenyum pada Sari, menunjukkan rasa percaya dirinya. “Dan lagi ... Ibu tidak perlu capek-capek menjemput aku dan Dian yang sekolahnya berjauhan seperti beberapa tahun kemarin.”
“Aduhhh putri kesayangan Ibu ini, pengertian sekali sama Ibu. Makasih sayang.” Sari memeluk erat Ratih seperti yang biasa dilakukannya ketika merasa bangga dan senang dengan Ratih. “Ibu bangga sekali punya anak pengertian seperti Ratih.”
“Y-ya, Bu.”
Sari melepaskan pelukan eratnya yang singkat pada Ratih dan memandang Dian dengan sedikit tatapan tajam. “Harusnya Dian juga kayak Kakak. Pengertianlah sedikit, Dian! Kakakmu-Ratih ini sangat pintar, baik hati, pengertian dan berbakat. Ratih harusnya bisa diterima di sekolah yang lebih bagus dan lebih baik. Tapi karena kamu selalu tidak mampu mengejar Ratih, kamu membuat Ratih terus mengalah dan terus pengertian untukmu.”
Mendengar ucapan Sari, Dian tidak punya pilihan lain selain menundukkan kepalanya merasa bersalah menandang Ratih dan Sari. “Dian minta maaf karena membuat Kakak dan Ibu kesulitan karena Dian.”
“Berusahalah lebih keras lagi, Dian! Ibu tidak minta kamu sehebat Ratih, hanya saja jangan membuat Ratih terus mengalah dan pengertian untukmu! Kamu sudah besar! Sudah seharusnya kamu juga mulai pengertian terhadap orang lain! Mengerti?” Sari memberi peringatan kecilnya dengan penekanan kepada Dian.
“Ibu! Kenapa bicara begitu sama Dian? Dian kan selalu berusaha keras selama ini!!” Ratih langsung protes membela Dian.
“Tidak apa-apa, Ratih! Ibu bicara begitu supaya Dian lebih berusaha lagi!” ujar Sari. “Dian adalah adikmu, Ratih. Jika kamu bisa, maka Dian pasti juga bisa melakukannya!”
“Tapi, Bu-”
“Tidak apa-apa, Kak.” Dian langsung menyela Ratih yang ingin membela dirinya. “Ibu benar, Kak. Mungkin selama ini Dian masih kurang berusaha. Dian minta maaf karena membuat Kakak bersekolah di samping sekolah Dian karena tidak ingin membuat Ibu kerepotan untuk menjemput Dian dan Kakak.”
Seperti biasanya ... Dian lebih memilih untuk bersikap menerima dari pada berdebat tentang perlakuan Ibunya yang selalu pilih kasih ketika Ratih terus membuatnya bangga.