1997.
Hari ini harusnya jadi hari membahagiakan untuk Dian karena Dian akhirnya menyelesaikan kuliahnya dan melaksanakan proses wisudanya. Tapi sesuatu yang tidak terduga terjadi dan berkat itu prosesi wisuda Dian, dihadirinya tanpa Sari dan Hari-kedua orang tuanya yang harusnya hadir dalam acara penting dalam hidup Dian.
“Apa-apaan ini, Ratih?? Bukannya kamu janji sama Ibu kalau kamu akan menjaga diri dengan baik ketika hidup sendiri? Kenapa sekarang kamu pulang dalam keadaan seperti ini?? Katakan pada Ibu, siapa ayah anak ini?? Siapa pria tidak bertanggung jawab itu?? Katakan pada Ibu, siapa!!!!”
Harusnya ... Dian marah pada Sari dan Hari karena membuatnya seorang diri di prosesi wisudanya. Tapi begitu sampai di rumah dan mendengar amarah Sari pada Ratih, Dian mengurungkan amarah yang hendak keluar dari dalam dirinya. Untuk pertama kalinya Dian merasa penasaran dan kaget di saat yang bersamaan karena mendengar Sari-ibunya marah pada Ratih. Sepanjang hidupnya selama ini, Dian tidak pernah melihat Sari-ibunya sekalipun marah pada Ratih. Ini adalah pertama kalinya dan berkat itu, semua amarah dan rasa kesal yang tadi sudah berada di ubun-ubun kepala Dian, menguap begitu saja karena kaget dan tidak percaya.
Ini pertama kalinya Ibu marah pada Kakak. Kenapa?? Apa kesalahan Kakak hingga Ibu semarah ini pada Kakak padahal selama ini Ibu selalu membanggakan dan menyanjung Kakak bak dewi turun dari langit? Dengan banyak pertanyaan yang muncul di dalam benaknya, Dian mendekati ruang keluarga rumahnya di mana Sari bersama dengan Hari sedang marah besar pada Ratih.
Ini?? Bagaimana ini bisa terjadi?? Begitu melihat Ratih dan keadaannya, Dian akhirnya paham alasan dari kemarahan besar Sari yang keluar untuk pertama kalinya kepada Ratih. Kakak hamil??? Dengan siapa?? Bagaimana bisa Kakak melakukan ini setelah semua janjinya pada Ibu?? Pertanyaan itu langsung muncul di dalam benak Dian ketika menemukan perut Ratih yang kini terlihat jelas membuncit tanpa ada siapapun di samping Ratih.
“Sekarang katakan pada Ibu, siapa ayah anak ini!!! Siapa pria yang tega menghancurkan karier dan hidupmu, Tih?? Siapa pria kurang ajar yang membuat putri kesayangan Ibu seperti ini?? Siapa, siapa!!!!” Sari menaikkan nada bicaranya kepada Ratih.
“Maaf, Bu. Sekali lagi, Ratih minta maaf sama Ibu, sama Ayah. Ratih salah karena gagal menjaga janji Ratih sama Ibu dan Ayah. Tapi ... Ratih tidak bisa bilang pada Ayah dan Ibu, siapa ayah dari anak ini.”
“Apa maksudnya ini, Tih?? Jangan bilang dalam keadaan seperti ini kamu masih melindungi pria kurang ajar yang sudah tidak bertanggung jawab padamu??” Sari semakin marah.
“Maaf, Bu. Sekali lagi, Ratih minta maaf, Bu.”
Dian melihat Ratih terus berusaha melindungi identitas pria yang membuatnya hamil di luar pernikahan. Harusnya Kakak bilang saja siapa pria itu, kenapa Kakak bersikeras menyembunyikan identitas pria itu?? Apa Kakak tidak lihat Ibu benar-benar marah sekarang?? Kemarahan Ibu ini adalah kemarahan pertama yang menakutkan yang aku lihat sepanjang hidupku dari Ibu kepada Kakak.
Plakkk!! Benar saja seperti dugaan Dian, Sari yang sudah benar-benar tidak bisa menahan amarahnya kepada Ratih karena terus melindungi pria yang membuatnya hamil akhirnya melayangkan tangannya ke wajah Ratih.
“Ibu!!”
Melihat Sari menampar Ratih untuk pertama kalinya, Dian dan Hari langsung berteriak ke arah Sari dan berusaha untuk memisahkan Sari dan Ratih. Hari sebagai ayah, suami sekaligus kepala keluarga langsung menarik Sari menjauh dari Ratih, sementara Dian spontan langsung mendekat ke arah Ratih, menarik Ratih menjauh dari Sari dan berniat untuk membawa Ratih ke kamarnya.
“Aku akan bawa Kakak ke kamar, Yah!” ujar Dian berusaha membawa Ratih yang kini pasrah menerima kemarahan Sari.
“Ayah minta maaf membuatmu melihat kejadian seperti ini di hari wisudamu, Dian.” Hari bicara pada Dian sembari memeluk Sari yang kini mulai menangis karena tidak sanggup menerima keadaan Ratih.
“Ini sesuatu yang tidak terduga, Ayah. Dian paham, Yah.” Dian berbohong untuk kesekian kalinya, padahal saat pulang tadi Dian jelas-jelas sangat marah pada Hari dan Sari yang tidak datang di prosesi wisudanya.
“Kamu memang selalu pengertian, Dian. Ayah berterima kasih untuk itu.” Hari tersenyum kecil melihat ke arah Dian sebelum akhirnya melihat Ratih dengan tatapan sedikit tajam. “Ratih ... “
“Ya, Ayah.” Ratih menghentikan langkah kakinya, menoleh melihat Hari dan Sari.
“Nanti setelah Ibumu tenang, kita bicara lagi. Kamu masih harus menjelaskan banyak hal pada Ayah dan Ibu.”
“Ya, Ayah.”
Setelah itu semalam, Ratih meminta untuk tidur di kamar Dian karena merasa rindu dengan adiknya yang kini telah lulus kuliah.