Mei tahun 1998 adalah bulan yang kelam dan penuh dengan tragedi. Karena krisis ekonomi yang terjadi pada negara ini, banyak hal terjadi: hutang meningkat, pengusaha gulung tikar dan demo terjadi di mana-mana. Kondisi negara yang memburuk terus menerus, membuat kerusuhan tidak lagi bisa dihindari. Jelasnya ... keadaan negara: politik dan ekonomi sedang memburuk di tahun 1998 dan memuncak pada bulan Mei.
“Akan lebih baik jika kamu tidak keluar kota. Keadaan beberapa kota di luar sana sekarang benar-benar buruk. Jakarta bak lautan api. Kerusuhan terjadi di mana-mana, penjarahan dan pembakaran juga terjadi di mana-mana.”
Dian mendengarkan Anis-teman SMP-nya yang sedang bercerita padanya ketika berkunjung ke rumahnya di Bandung. Sudah setahun sejak Dian pindah rumah karena beberapa pekerjaannya membutuhkan ketenangan dan rumah yang dulunya tenang kini tak lagi memiliki ketenangan karena Sari-ibunya terus menerus membuatnya berusaha menghubungi Ratih yang menghilang lebih dari setahun yang lalu.
Melihat kondisi Sari yang terus memburuk karena tidak bisa menerima keadaan Ratih, karier Ratih yang hancur dan pertanyaan para tetangga tentang keberadaan Ratih, Hari-ayahnya meminta Dian untuk tinggal di rumah mereka yang lain yang ada di Bandung. Rumah itu dulunya adalah milik nenek dari Ayah Dian yang sempat kosong selama beberapa tahun, sebelum akhirnya dibeli oleh Hari-ayahnya.
“Seburuk itu?” Dian bertanya dengan tangan yang terus mengetik papan ketik menyalurkan ide di dalam benaknya ke dalam bentuk kata-kata ke dalam komputer miliknya.
“Buruk sekali pokoknya. Saudaraku yang tinggal di Jakarta saja tidak berani keluar dari rumah dan lebih memilih mengurung diri di rumah sampai keadaan aman.”
Dian melirik Anis-teman SMP-nya yang telah menikah setelah SMA dan pindah ke Bandung ikut suaminya beberapa tahun. Dian melihat Anis yang kini telah menjadi Ibu dengan tubuhnya yang membengkak, karena telah memiliki dua anak dan tidak sempat merawat diri. Melihat Anis yang kini benar-benar berbeda dengan Anis yang dikenalnya semasa sekolah, Dian bertanya-tanya tentang nasib kakaknya-Ratih yang mengandung saat terakhir kali bertemu. Pasti Kakak sekarang sudah menggendong anaknya. Kira-kira anak Kakak, laki-laki atau perempuan?? Bagaimana keadaan Kakak sekarang? Apa Kakak akan gemuk seperti Anis juga?
“Nis ... “ Dian memanggil Anis, membuang pikirannya yang sempat memikirkan Ratih setelah sekian lama tidak muncul di dalam benaknya. “Kamu terus bicara di sini, bagaimana dengan anakmu? Tidak apa-apa meninggalkannya lama di rumah dan bicara denganku di sini??”
Anis melihat ke arah jam dinding di ruang kerja Dian yang terhubung dengan ruang makan, dapur dan ruang keluarga. “Masih jam sembilan pagi, Bayu masih tidur. Biasanya Bayu bangun tidur jam sepuluh. Tenang saja ... makan paginya sudah aku siapkan tadi. Aku hanya perlu menghangatkannya sebentar saja nanti.”
Dian menatap Anis lagi dan sedikit merasa iba. “Pasti berat yah jadi seorang Ibu??”
Kata-kata itu tiba-tiba keluar dari mulut Dian ketika melihat Anis yang membuatnya teringat pada Ratih yang entah bagaimana nasib dan kabarnya sekarang ini.
Dian mengira Anis akan memasang wajah sedih atau marah karena ucapan yang keluar dari mulutnya secara spontan itu. Tapi ... nyatanya Anis justru tersenyum dengan wajah bangganya.