Tak pernah ada yang mudah ketika menjadi seorang ibu. Tak ada banyak waktu untuk beradaptasi karena anak terus berkembang. Perubahan terus terjadi dan di saat yang sama, orang tua terutama ibu juga harus mengikuti perubahan itu, mau atau tidak mau. Hal yang sama juga terjadi pada Dian yang mendadak menjadi seorang ibu karena tidak tega meninggalkan anak dari Ratih yang telah meninggal dan memutuskan untuk membesarkannya seorang diri. Dian yang sebelum tak pernah membayangkan dirinya jadi seorang ibu, kini mendadak menjadi seorang ibu dan tentu saja, Dian benar-benar kelabakan bukan main dengan tugas dan peran barunya itu.
“Minggu depan harusnya pembantu dan pengasuh akan datang, An.”
Anis sebagai teman sekaligus tetangga yang tahu tentang situasi tak terduga Dian, terus berusaha membantu Dian mengasuh Astrid selagi belum ada pembantu dan pengasuh. Anis bahkan meminta ibu mertuanya untuk mencari pengasuh dan pembantu terpercaya untuk bekerja di rumah Dian dan membantu Dian merawat Astrid. Beruntung sekali ibu mertua Anis punya banyak kenalan baik, jadi menemukan pembantu dan pengasuh berpengalaman bukan hal yang sulit.
“Terima kasih, Nis! Kalau kamu tidak ada, mungkin aku sudah kelabakan bukan main. Apalagi tenggat untuk pameranku hanya tinggal dua bulan lagi. Aku harus mengejar ketinggalanku itu.” Dian bersyukur dan berterima kasih sekali dengan Anis yang menyempatkan waktunya untuk membantunya padahal Anis sendiri punya dua anak yang mana salah satu anaknya berumur tidak jauh dengan Astrid.
“Tidak masalah, An. Mengasuh anak mungkin sulit, tapi aku sudah mengalaminya dua kali. Jadi ... aku tidak begitu kesulitan, lain halnya dengan kamu.” Anis menjawab dengan rendah hati. “Aku bisa membantumu sementara dan kamu bisa mengejar ketinggalanmu untuk pameran. Terus bagaimana dengan novelmu? Kamu tidak punya banyak waktu dan sudah sibuk mengurus lukisan dan Astrid beberapa waktu ini. Apa editor dan penerbit tidak bertanya soal novelmu?”
Huft! Dian menghela napas panjang setelah menelan makan paginya yang baru dimakan jam sepuluh pagi. Dian menatap Anis yang menggendong Astrid di dekapannya dan tertidur dengan pulas. “Soal itu, aku masih bisa sedikit merasa tenang. Kebetulan sekali bulan lalu, aku mengajukan istirahat sejenak karena masalah pekerjaanku yang lain. Hanya saja ... ketika pameranku berakhir, aku harus mengebut lagi menggarap novel yang baru setengah jalan.”
“Kamu benar-benar sibuk sekali, An! Tapi melihat bagaimana kamu bekerja hanya di rumah ini, aku sedikit merasa lega.” Anis menggantikan Dian menggendong Astrid dan setelah Astrid tidur pulas, Anis membantu Dian membersihkan rumahnya yang sudah bak kapal pecah.
Dian menganggukkan kepalanya setuju sembari mengumpulkan pakaian kotor dan bersiap untuk mencucinya. “Yah, aku sedikit tertolong karena pekerjaanku ini adalah pekerjaan dengan jam fleksibel dan aku hanya bekerja di rumah. Kalau kamu berminat untuk menjadi penulis sepertiku, aku bisa membantumu, Nis. Aku ingat sewaktu sekolah kamu pandai sekali membuat puisi??”
“Apa kamu sedang mengejekku??” Anis membalas Dian dengan kedua matanya yang mengernyit, tidak percaya sembari mencuci piring kotor di tempat cuci Dian.
Dian menggelengkan kepalanya. “Aku sungguh-sungguh, Nis. Kalau kamu ingin menggunakan waktu luangmu di rumah dan menghasilkan uang meski tidak terlalu banyak, aku bisa membantumu, Nis. Berikan saja naskah puisi milikmu padaku! Tiga bulan dari sekarang, editorku akan datang dan aku akan memberikan naskahmu untuk diperiksa olehnya.”
Anis menyipit kedua matanya. “Kamu ingin aku menggunakan jalur orang dalam??”
“Kenapa tidak??” Sembari menyalakan kran air dan bersiap untuk mencuci pakaian, Dian terus bicara dengan Anis. “Mumpung kamu punya teman penulis terkenal sepertiku, kamu bisa sedikit memanfaatkannya, Nis. Sayang sekali ... jika kamu tidak bisa menggunakan jalur orang dalam yang aku berikan!”
Anis meletakkan Astrid yang sudah tidur dengan pulas dan tak lagi butuh gendongan. Anis mendekat ke arah Dian dan memperhatikan wajah Dian dengan saksama. “Apa kamu benar-benar seterkenal itu, An??”
“Kamu bisa mencari buku karyaku di toko buku! Aku pastikan buku karyaku berada di daftar penjualan terbaik dan rekomendasi untuk pembeli.” Dian bicara dengan sedikit membanggakan dirinya sembari mengucek satu persatu pakaian kotor yang telah menumpuk selama tiga hari lamanya.
Anis menyipitkan lagi matanya mendengar ucapan Dian yang penuh dengan rasa bangga. Tugas Anis mencuci piring kotor telah selesai, Anis menghampiri Dian dan berniat untuk mengambil sapu di dekat Dian. “Kalau kamu sehebat itu, kenapa kamu bersembunyi di balik nama pena? Jika saja ... kamu menggunakan namamu yang sebenarnya, kamu mungkin bisa membuat orang-orang berhenti membandingkanmu dengan Kakakmu-Ratih! Kenapa tidak menggunakan nama aslimu, An?”
Dian tersenyum pahit mendengar pertanyaan dari Anis. Dian tadinya ingin memberikan penjelasan mengenai hal itu, tapi Dian lebih memilih diam dan bicara di dalam hatinya. Apa gunanya aku menggunakan nama asliku?? Jika dulu aku tidak berani menggunakan nama asliku karena takut tidak akan pernah sukses dengan jalan ini, maka sekarang ... aku tidak punya alasan untuk membuat orang-orang tahu siapa sosok di balik nama ‘Bumi yang dilupakan’. Orang tuaku ... pada akhirnya di mata mereka, hanya Kakak tetap yang terbaik.
“Kenapa coba??” Sembari menyapu rumah Dian, Anis terus bertanya pada Dian karena penasaran.