Tujuh tahun berlalu.
Astrid memiliki banyak persamaan dengan Ratih. Astrid lahir dengan wajah cantik dan otak yang cerdas seperti Ratih. Sayangnya ... ada sesuatu yang sedikit mengganggu Dian. Astrid terlalu bergantung pada Dian dan sedikit menyulitkan Dian. Berkat bantuan Anis, Astrid bisa dengan mudah berteman dengan anak-anak lain. Tapi Astrid tidak bisa lepas dari Dian. Jadi di manapun Astrid berada, Astrid harus melihat Dian dan ketika tidak menemukan Dian, Astrid akan menangis tanpa henti seolah kehilangan Dian.
Hal itulah yang terjadi ketika Astrid mulai masuk sekolah. Dari TK hingga kelas dua SD, Astrid selalu menangis setiap kali berpisah dengan Dian dan tangisan itu benar-benar merepotkan. Alhasil guru yang mengajar Astrid, selalu meminta Dian untuk duduk di dalam kelas layaknya murid lain. Bahkan sekolah menyediakan kursi khusus untuk Dian duduk.
Satu atau dua hari terjadi, itu bukan masalah besar untuk Dian. Akan tetapi kebiasaan buruk Astrid itu berlangsung selama beberapa tahun dan membuat Dian terpaksa membeli laptop yang berat untuk menemaninya menghabiskan waktu bersama Astrid di sekolah.
Tik, tik!
Suara papan ketik laptop Dian selalu menjadi perhatian bagi banyak murid, guru dan orang tua dari murid lain yang melihat Dian duduk di dalam kelas bersama dengan murid lain. Suara papan ketik dan tangan Dian yang mengetik dengan kecepatan tinggi, selalu saja menarik perhatian anak-anak lain dan membuat mereka selalu bertanya pada Dian.
Karena Dian menyembunyikan identitasnya sebagai penulis dengan nama pena bumi yang dilupakan, jadi Dian hanya mengatakan apa yang diketiknya hanyalah keisengan kecilnya ketika tidak punya inspirasi untuk melukis. Dan untuk menyiasati hal itu, terkadang Dian akan membawa buku sketsanya atau membawa kamera yang digunakannya untuk mengambil gambar sebagai inspirasinya untuk melukis nantinya.
Delapan tahun terlewati.
Tidak seperti delapan tahun pertamanya bersama dengan Dian, Astrid di usia 9 tahun benar-benar jadi anak yang mandiri. Astrid mulai berani sekolah seorang diri tanpa harus Dian temani, meski kadang-kadang Astrid masih harus meminta guru untuk menghubungi rumah hanya untuk mengatakan rindu pada Dian.
“Ya, Astrid. Kenapa menelepon rumah saat sekolah?” Dian yang menerima telepon Astrid, mengajukan pertanyaan yang sama setiap kali Astrid menelepon lewat telepon kantor sekolah.
“Astrid hanya rindu Bunda.”
“Apa sekarang sudah selesai rindunya??” tanya Dian.
“Sudah, Bunda. Dengar suara Bunda, rasa rindu Astrid sudah membaik, Bunda!”
“Kalau begitu tutup teleponnya dan belajar dengan baik di sekolah. Jangan terlalu sering merepotkan Bapak dan Ibu Guru. Astrid mengerti?”
“Ya, Bunda.”
Astrid di usia 9 tahun, sudah mampu melakukan banyak hal seorang diri. Dari menyiapkan seragam, sepatu, buku dan tas sekolahnya hingga merapikan kamar tidurnya dengan baik tanpa harus diperintah oleh Dian. Astrid juga disiplin soal jam belajar dan bermainnya. Waktu bermain, Astrid akan bermain, menonton TV atau membaca buku-buku milik Dian. Ketika waktu belajar tiba, Astrid akan langsung ke ruang belajarnya, mengerjakan tugasnya dan bertanya pada Dian jika memang tidak paham dengan tugasnya.
Melihat perubahan Astrid yang pesat tidak seperti sebelumnya, Dian jelas sekali merasa senang. Siapa yang tidak senang melihat anak mereka jadi mandiri dan tidak merepotkan padahal sebelumnya Astrid sedikit manja dan merepotkan? Siapapun orang tuanya, pasti mereka akan merasa senang dan itulah yang terjadi pada Dian ketika melihat perubahan besar terjadi pada Astrid: Dian merasa sangat senang.
“Astrid benar-benar jadi anak yang mandiri sekarang ini.” Anis memuji perubahan Astrid di usianya yang menginjak 9 tahun.