Berkat pengumuman yang dibuatnya untuk melindungi Astrid, kehidupan Dian sebagai penulis dengan nama ‘Bumi yang dilupakan’ bersama dengan Astrid mulai menjadi sorotan. Banyak orang yang mendukung Dian yang belum menikah dan menjadi ibu tunggal untuk Astrid, tapi di sisi lain ada banyak orang yang penasaran alasan Dian mau menerima Astrid sebagai anak angkatnya bahkan ketika dirinya belum menikah.
“Jangan dengarkan ucapan orang lain, Astrid! Apapun yang terjadi ... Bunda tetap akan jadi Bunda Astrid. Paham?” Dian sebagai orang dewasa dan ibu dari Astrid berusaha untuk memberikan pengertian pada Astrid untuk ucapan orang-orang yang mungkin menyakiti Astrid.
“Ya, Bunda. Astrid tidak akan mendengarkan mereka! Ucapan mereka tidak ada artinya karena Astrid tahu Bunda akan selalu di samping Astrid!”
Mendengar jawaban Astrid, Dian teringat akan dirinya di masa muda. Dian merasa malu dan menyesal pada dirinya sendiri yang dulu lebih memilih untuk mendengar ucapan orang-orang dan berakhir dengan membenci Ratih daripada melihat sendiri kebaikan Ratih.
Aku ini ... benar-benar adik yang gagal.
Dari Astrid, Dian banyak belajar dan memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Sama seperti Astrid, Dian berusaha untuk tidak ambil pusing mengenai ucapan orang-orang yang penasaran dengan kehidupannya bersama dengan Astrid. Tapi teman sekaligus tetangganya-Anis, tak henti-hentinya berkomentar tentang orang-orang yang berbicara buruk mengenai Dian.
“Mereka benar-benar!! Apa mereka tidak tahu betapa hebatnya sahabatku ini? Dian belum menikah dan mampu membesarkan anak di saat mental dan fisiknya belum siap!!” Anis selalu jadi orang pertama yang membela Dian.
“Sudah jangan dibaca lagi!! Kamu hanya akan merasa kesal membacanya, Nis!!” Dian belajar dari pengalaman lamanya, meski Dian sendiri masih sering merasa kesal sendiri karena telinga dan perasaannya masih tidak bisa mengabaikan ucapan orang-orang.
“Kamu benar juga, Dian! Tidak akan ada habisnya jika membahasnya.” Anis meletakkan tablet di tangannya dan duduk di samping Dian yang sedang sibuk melukis. “Tapi ... bicara soal menjadi Ibu, sepertinya kamu benar-benar menikmati peranmu itu, Dian??”
“Apa aku tidak boleh melakukannya?” Dian melirik sedikit ke arah Anis.
“Hanya nggak nyangka aja. Kamu yang selama ini selalu berusaha menyembunyikan identitasmu sebagai penulis novel, tiba-tiba membuka identitasmu hanya untuk membalas orang-orang yang membuat Astrid tersiksa. Kamu benar-benar sudah berubah, Dian.” Anis menepuk bahu Dian sekali dan cukup keras.
“Aku, berubah?” Dian yang tadinya sibuk dengan kanvas dan kuasnya, meletakkan kuas dan palet catnya. Dian menatap Anis dengan tatapan menyelidik butuh penjelasan.
“Ya. Kamu ingat bukan saat kamu berusaha membawa Astrid pada orang tuamu? Kamu saat itu kan benar-benar kesal setengah mati pada kakakmu-Ratih karena Ratih seenaknya saja membuatmu mengasuh Astrid. Tapi sekarang sepertinya ... kamu sedikit berubah menjadi lebih baik. Kurasa membesarkan Astrid bukan pilihan buruk kan??”
Dian ingat kejadian saat itu. Dian ingat bagaimana dirinya kesal setengah mati pada Ratih yang pergi dan meninggalkan tanggung jawab sebagai ibu kepada Dian yang selama ini sangat membencinya di lubuk hatinya.
“Kurasa begitu. Membesarkan seorang anak memberikanku banyak pengalaman dan pelajaran. Ditambah lagi melihat Astrid tumbuh, aku teringat banyak hal tentang kakakku-Ratih.” Dian tiba-tiba membuka mulutnya dan menceritakan apa yang dirasakannya selama menjadi ibu dari Astrid.
“Apa yang kamu ingat?”
“Kamu tentu tahu kan ingatan manusia ini lebih banyak menyimpan keburukan orang lain dari pada kebaikan orang lain??” Dian balik bertanya pada Anis.
“Kurasa.” Anis tidak terlalu yakin. “Tapi, aku juga kadang-kadang begitu. Karena satu kesalahan besar, kita bisa amat membenci seseorang padahal banyak kebaikan yang diperbuatnya untuk kita. Mirip seperti nila setitik, rusak susu sebelanga.”