Dian tidak berharap banyak pada Sari-ibunya. Dian masih ingat dengan jelas penolakan yang diberikan ibunya pada Astrid belasan tahun yang lalu. Jadi kali ini ... Dian tidak berharap banyak agar tidak merasa kecewa dengan harapan yang dibuatnya sendiri. Dan Dian mengatakan peringatan itu pada Astrid agar dirinya juga tidak kecewa dengan harapan yang dibuatnya sendiri mengenai keberadaannya yang akan diterima Sari dan Hari.
Bukankah begitu? Sering kali manusia kecewa karena harapannya yang dibuatnya sendiri. Manusia membayangkan, mengharapkan sesuatu dan akhirnya sering terluka karena harapan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi.
Hal yang sama berlaku juga untuk Dian dan Astrid. Dian mengajarkan hal itu pada Astrid karena sejarah kelahirannya tidak terlalu baik seperti kebanyakan anak yang kelahirannya ditunggu dan dinanti banyak orang.
“Usir anak itu dari rumah ini!!! Karena dia, aku kehilangan Ratihku!! Ratihku yang bersinar terang, Ratihku yang cantik memesona-dia menghilang, dia pergi dari dunia ini karena anak itu!!!”
Dan ketika mendengar teriakan kesal dari Sari saat melihat Astrid yang tumbuh menjadi remaja, Dian sama sekali tidak terkejut, kecewa dan kaget.
“Maafkan nenekmu itu, Astrid.” Hari-Ayah Dian, berusaha untuk bersikap bijak menangani situasi di mana Astrid ditolak lagi oleh Sari. “Nenek masih belum bisa menerima kepergian ibumu setelah bertahun-tahun berlalu. Bisa kamu memahaminya, Astrid?”
“Y-ya, Kakek. A-Astrid bisa paham.”
Meski bicara dengan sedikit canggung karena ini adalah pertama kalinya Astrid bertemu Hari-Ayah Dian sekaligus kakeknya, Dian dapat dengan jelas melihat sedikit kebahagiaan di sorot mata Astrid ketika melihat Hari. Satu orang yang menerimanya itu sudah cukup jadi awal yang baik, mungkin itu adalah arti Hari bagi Astrid ketika Hari bersikap baik padanya.
“Kamu anak yang pengertian sekali. Kamu benar-benar mirip dengan ibumu, Astrid.” Hari memberikan pujiannya sembari menepuk pelan bahu Astrid. “Ratih-ibumu, dulu adalah anak yang sangat pengertian, cantik, berbakat dan berkat itu, Ratih disayang oleh semua orang. Kepergiannya secara mendadak, sulit diterima terutama Nenek. Kamu mirip sekali dengan Ratih-ibumu, Astrid. Andai Nenek juga melihat apa yang Kakek lihat. Kakek yakin seiring berjalannya waktu, Nenekmu pasti akan bisa menerima kamu, Astrid.”
Astrid tersenyum kecil mendengar pujian itu. “Ke-kelak, Nenek pasti akan melihatnya, Kakek. Astrid akan berusaha keras agar Nenek bisa dekat dengan Astrid.”
“Terima kasih banyak untuk pengertiannya, Astrid. Kamu memang anak yang sangat baik. Ratih-ibumu pasti akan sangat senang jika bisa melihatmu sekarang ini.”
Setelah perbincangan kecil sebagai tanda pertemuan dan perkenalan Astrid dan Hari, Dian meminta Astrid untuk pergi ke kamar Ratih dan melihat bagaimana rupa ibunya di masa lalu. Sementara itu Dian ganti bicara pada Hari karena sudah lama tidak bertemu selama bertahun-tahun.
“Ayah baik-baik saja? Bagaimana kabar Ayah?” tanya Dian sedikit canggung karena sudah lama tidak bertemu. “Maaf, Dian tidak bisa sering datang karena terlalu sibuk.”
“Tidak masalah, Dian. Ayah paham dengan keadaanmu. Kamu lihat sendiri kan? Ayah baik-baik saja. Demi ibumu dan juga demi kamu, Ayah harus menjaga kesehatan Ayah dan hidup untuk waktu yang lama.” Hari bicara dengan nada santai pada Dian. Hanya saja sorot matanya menatap Dian, bukanlah sorot mata santai. Ada begitu banyak arti dalam sorot mata Hari ketika memandang Dian saat ini. “Kamu benar-benar mampu membesarkan Astrid-anak Ratih seorang diri dengan baik, Dian. Ayah benar-benar tidak menyangka kamu mampu melakukannya, Dian.”