Satu bulan kemudian.
“Apa setelah ini Bunda akan membuangku lagi sama seperti saat aku kecil??”
Dian menatap Astrid yang kini melihatnya dengan tatapan penuh amarah. Dian bingung dan tidak mengerti apa yang membuat Astrid marah besar padanya secara tiba-tiba. “Apa maksudnya dengan membuangmu? Bunda nggak ngerti. Bunda nggak akan pernah membuangmu, Astrid.”
“Semua orang membuang Astrid! Ibu Astrid pergi, Ayah dan keluarganya tidak menginginkan Astrid, Kakek dan Nenek yang tidak suka dengan kehadiran Astrid dan sekarang Bunda pun akan membuang Astrid sama seperti saat Astrid kecil! Semua orang tidak menginginkan Astrid! Sekarang ... Bunda pun juga tidak menginginkan Astrid kan??”
Dian yang masih tidak mengerti berusaha menelaah situasinya saat ini. Mungkinkah Astrid marah besar padanya setelah melihat Raka yang memeluknya? Apa Astrid marah karena aku mulai menerima kehadiran seorang pria dalam hidupnya? Tapi kenapa? Bukankah sebelumnya Astrid baik-baik saja dengan Raka? Kenapa sekarang Astrid memberikan reaksi penolakan? Dian bertanya dalam benaknya. Tapi dalam sekejap ... Dian ingat ingatan lamanya yang mengatakan bahwa Astrid pernah memintanya untuk menikah karena dirinya sudah mulai dewasa.
Ada yang salah di sini! batin Dian.
“Kenapa kamu tiba-tiba berpikir begitu, Astrid? Bunda nggak akan membuang kamu! Astrid bisa percaya pada ucapan Bunda!” Dian berusaha meyakinkan Astrid dan membujuk Astrid agar menjelaskan alasan kemarahannya hari ini.
“Nggak, Bunda pernah membuang Astrid! Sekarang Bunda punya Paman Raka, Bunda pasti akan membuang Astrid seperti waktu itu!!” Astrid berteriak dengan air matanya yang terus berjatuhan.
Itu ... kapan Astrid mendengar cerita lama itu? Dian berusaha berpikir dengan keras. Otaknya memutar kejadian lama di mana dirinya pernah hendak membuang Astrid dan saat itu yang tahu akan kejadian itu hanyalah Anis. Tidak mungkin Anis menceritakan hal itu pada Astrid. Anis sayang pada Astrid sama seperti menyayangi dua putranya yang lain. Kalau bukan Anis, dari mana Astrid tahu akan hal itu?
Ingatan Dian kemudian membawa Dian pada kejadian tiga tahun lalu di mana Dian membawa Astrid ke rumah orang tuanya. Di sana, Dian ingat pernah menceritakan masalah itu pada Hari-ayahnya. Mungkinkah saat itu Astrid mendengarnya??
“Dengarkan Bunda, Astrid! Percaya sama Bunda! Hanya karena Bunda punya hubungan dengan Paman Raka, bukan berarti Bunda akan membuangmu, Astrid!” Sekali lagi, Dian berusaha meyakinkan Astrid. “Membuang Astrid adalah sesuatu yang tidak mungkin Bunda lakukan!!”
“Nggak!! Bunda akan membuang Astrid! Semua orang benci kehadiran Astrid! Kakek dan Nenek, Bunda dan Ayah kandungku!!”
Ayah kandungku?? Itu dia!! Dian menangkap alasan sebenarnya dari kemarahan Astrid yang meluap saat ini. “Astrid, ... apa mungkin kamu yang seminggu lalu membuka ruang kerja Bunda dan dokumen tentang ayahmu??”
Masih dengan wajahnya yang basah oleh air mata dan tatapan mata tajam, Astrid tanpa ragu menjawab pertanyaan Dian. “Itu memang aku, Bunda!”
Dian ingat seminggu yang lalu beberapa buku di ruang kerjanya terjatuh. Awalnya Dian mengira jika buku-buku itu terjatuh begitu saja tapi mendengar pengakuan Astrid sekarang, Dian yakin Astrid masuk ke ruang kerjanya dan menemukan dokumen mengenai Rendi-Ayah kandungnya.
“Jadi kamu masuk ke ruang kerja Bunda dan melihat dokumen tentang ayahmu, Astrid?” tanya Dian memastikan.