“Aku sudah dewasa, Bunda!!” Astrid menekankan kata ‘dewasa’ sebagai bentuk keyakinannya untuk meyakinkan Dian bahwa dirinya saat ini sudah dewasa. “Jadi ... kalau Bunda memang mau membuang Astrid sekarang, Astrid sudah siap!!”
Itu lagi! Membuang lagi! Apa yang kamu pikirkan, Astrid?? Kenapa kamu terus berpikir Bunda akan membuangmu?? Nggak bisakah kamu melihat dan merasakannya, Astrid?? Bunda nggak akan pernah membuangmu! Apa kamu benar-benar nggak bisa melihat dan merasakannya? Dian membatin. Tapi nyatanya apa yang keluar dari mulutnya berbeda dengan apa yang diucapkannya di dalam hati. “Bagaimana kamu tahu kamu sudah dewasa ketika ada masalah kamu justru melarikan diri seperti ini?? Jika kamu butuh waktu sendiri, kamu bisa mengirim pesan pada Bunda, Tante Anis atau siapapun di rumah. Orang dewasa mungkin butuh waktu untuk sendiri, tapi ketika mereka membutuhkannya, mereka akan mengabari keluarganya. Kamu tahu kenapa mereka begitu?”
“Nggak! Astrid nggak tahu!” Astrid menatap nyalang pada Dian seolah ingin menantang Dian.
“Karena mereka telah dewasa bahkan saat marah dan kesal setengah mati, mereka masih tetap memikirkan keluarga dan orang yang mereka sayangi. Bagaimana jika aku membuat mereka khawatir? Bagaimana jika sesuatu terjadi saat mereka khawatir padaku? Dua kalimat itu ... akan selalu jadi pertimbangan orang dewasa di saat mereka marah dan butuh waktu sendiri!!” Dian berusaha menjelaskan pada Astrid apa itu artinya menjadi dewasa. “Itulah artinya menjadi dewasa, Astrid! Bunda akan menganggapmu dewasa jika kemarin kamu mengirim pesan ingin kemari untuk menenangkan pikiran. Tapi kamu justru menghilang tanpa kabar dan membuat semua orang di rumah tidak bisa tidur dengan tenang karena takut sesuatu yang buruk menimpamu di saat kami tertidur! Itu tandanya kamu masih belum dewasa, Astrid!!”
Astrid menundukkan kepalanya secara tiba-tiba. “Mungkin Bunda benar, Astrid masih belum dewasa! Tapi ... hanya karena Astrid belum dewasa, Bunda merahasiakan keluarga ayah kandungku setelah tiga tahun lamanya. Padahal ... padahal tiga tahun yang lalu, Astrid bertanya pada Bunda. Harusnya ... harusnya saat itu Bunda menceritakannya pada Astrid!”
“Kalau Bunda menceritakannya apa akan ada berbeda?” Dian masih mencoba mencari tahu alasan kemarahan Astrid padanya.
“Ya, Bunda.” Astrid tiba-tiba meneteskan air matanya. “Kalau saja Bunda menceritakannya tiga tahun yang lalu, hari ini akan lain ceritanya. Setidaknya tiga tahun lalu ... aku nggak akan berharap untuk menemui keluarga ayahku dan berniat untuk tinggal dengan mereka.”
Deg. Mendengar ucapan Astrid, jantung Dian tiba-tiba berdetak kencang. Apa ini?? Apa ini? Apa ini artinya ... awalnya Astrid ingin meninggalkanku?? Itukah alasannya marah padaku? Dia marah padaku karena aku menyembunyikan identitas keluarganya dan membuatnya berharap selama dua tahun ini?? Begitukah??
Huft! Dian menghela napas dan melihat sekelilingnya di mana orang-orang mulai memperhatikan dirinya bersama dengan Astrid yang sedang beradu mulut. Tidak bisa! Aku tidak bisa bicara di sini!! Aku tidak peduli dengan diriku karena aku hanyalah penulis yang duduk di belakang layar, tapi tidak untuk Astrid! Jika orang-orang menemukan rahasia kelahiran Astrid, maka kariernya sebagai model mungkin terancam! Jika hal itu terjadi, apa yang terjadi pada Ratih mungkin terulang lagi pada Astrid! Sembari melihat sekelilingnya, Dian mulai khawatir dengan karier Astrid dan orang-orang yang mulai menatap mereka dan menaruh perhatian pada dirinya dan Astrid.
Kami harus pulang dan bicarakan ini di rumah!! Merasa khawatir dengan Astrid dan masa depannya, Dian mendekat ke arah Astrid dan menggenggam tangan Astrid. Dian kemudian menarik Astrid menuju mobil di mana Raka saat ini sedang menunggu. “Kita bicarakan ini di rumah, Astrid!!”
“Nggak mau, Bunda!! Astrid nggak mau pulang!!” Astrid berusaha melepaskan tangannya dari genggaman tangan Dian dan memaksa tubuhnya untuk bergerak ke arah berlawanan dari Astrid.
“Bukankah kamu butuh penjelasan, Astrid? Kalau kamu butuh penjelasan, kita pulang sekarang dan bicarakan ini di rumah!!” Di usianya yang kini menginjak empat puluh tahun, Dian benar-benar melakukan sesuatu yang tidak akan pernah diduganya: bertengkar dengan Astrid dan berusaha menyeretnya pulang di tengah beberapa orang yang menonton perdebatan mereka.
Ahh benar-benar!! Dian mengeluh di dalam benaknya karena merasa malu. Aku benar-benar lelah dengan semua ini!! Tujuh belas tahun hidupku ini, kuhabiskan untuk membesarkan dan merawat anak ini. Tapi apa yang aku dapatkan sekarang?? Rasa malu, lelah dan frustasi. Aku tahu jadi seorang ibu adalah peran yang tidak akan pernah mudah, tapi apa ini?? Kenapa rasanya berat sekali?? Bahkan ketika anak ini sudah menginjak usia 18 tahun dan mengaku dewasa, dia masih saja membuat masalah layaknya anak kecil!! Kali ini, aku benar-benar merasa lelah dengan segalanya!
“Nggak mau, Bunda!! Astrid nggak mau pulang sama Bunda!!”