“Ka-kak??” Dian berteriak karena menyadari apa yang sedang terjadi di hadapannya saat ini bukanlah mimpi dalam tidurnya. “Ka-kak?? Ba-bagaimana bisa Kakak??”
Ratih melepaskan pelukan eratnya di tubuh Dian dan memandang Dian. Satu persatu wajah Dian diperhatikan oleh Ratih dengan saksama dan ketika Ratih selesai, Ratih tersenyum memandang Dian.
“Kakak? Kenapa diam saja??” tuntut Dian.
Huft. Ratih mengembuskan napas panjangnya sebelum menjawab pertanyaan Dian. “Ini mimpi panjangmu, Dian. Aku datang kemari mengunjungimu karena kamu tidur terlalu lama, Dian.”
Dian melihat Ratih bicara dengan santainya seolah pertemuan yang jelas tidak mungkin ini bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.
“Ba-bagaimana bisa Kakak datang ke mimpiku??” tanya Dian yang masih tidak bisa memahami situasinya saat ini. “Tunggu!!!”
Dian menatap sekelilingnya dan mendapati ruangan di mana dirinya berada adalah ruangan serba putih. Tunggu sebentar!! Mimpi?? Setelah memperhatikan tak ada apapun di ruangan serba putih kecuali ranjang di mana Dian berada dan Ratih yang juga mengenakan pakaian serba putih, Dian sadar apa yang ada di matanya saat ini bukanlah sesuatu yang nyata. Jadi ini benar-benar mimpi??
“Seperti yang kamu lihat, ini adalah mimpi, Dian. Pertemuan kita ini adalah ujung mimpimu karena kamu telah tidur dan bermimpi untuk waktu yang panjang, adikku tersayang.”
Eh? Dian terkejut mendengar ucapan Ratih karena seolah mendengar pikirannya. “Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku bisa ada di sini?”
“Untuk masalah itu, kita bahas nanti, Dian. Sekarang ada yang harus aku katakan lebih dulu padamu, Dian.“ Ratih mengangkat tangannya dan meletakkan tangannya di atas kepala Dian seperti kebiasaan Ratih kepada Dian saat masih muda dulu. “Terima kasih banyak, adikku tersayang. Kamu benar-benar sudah bekerja keras membesarkan putriku yang merepotkan itu.”
Dian melirik tangan Ratih dan merasakan kehangatan tangan itu menyebar ke kepalanya. Dian menatap Ratih lagi, kali ini dengan perasaan sedikit kesal. “Hanya terima kasih saja?? Bukankah bayaran itu terlalu murah?? Anakmu-Astrid benar-benar menyusahkanku, Kak!! Apa Kakak tidak melihat pengorbananku membesarkan anakmu? Aku bahkan belum menikah ketika usiaku sudah 40 tahun.”
“Aku lihat itu, Dian.” Ratih tersenyum mendengar keluhan Dian padanya dan mengangkat tangannya yang berada di atas kepala Dian. “Ahhh, harusnya kamu dulu seperti sekarang ini.”
“Maksudnya??” Dian mengerutkan keningnya tidak mengerti.
“Jika sejak dulu kamu bisa mengeluh seperti ini, mungkin hubungan kita akan lebih baik, Dian! Tak tahukah kamu, aku selalu berharap kamu bicara seperti ini padaku dulu?”
Dian mengerutkan keningnya masih tidak mengerti. “Kenapa aku harus melakukannya?”
“Jika kamu melakukannya setidaknya kamu bisa menyalurkan rasa kesalmu padaku karena ucapan orang-orang yang terus membandingkanku denganmu, Dian! Jika kamu banyak bicara seperti sekarang, mungkin ... kita berdua bisa berbagi lebih banyak rahasia dan saling cerita satu sama lain lebih baik dari dulu.”
Dian mengerutkan keningnya lagi dan kali ini kerutan itu lebih besar dari sebelumnya. “Ka-kakak tahu soal itu?? Kakak tahu aku pernah membencimu?”
“Tentu saja tahu. Aku ini kakakmu, Dian. Apapun yang terjadi padamu, aku selalu tahu karena aku selalu mengawasimu, Dian.” Ratih tersenyum kecil pada Dian. “ Aku tahu dan karena tahu, aku memutuskan untuk kuliah di Jakarta dan memberikanmu tempat berdua dengan ibu yang selalu menyudutkanmu karena keberadaanku.”
Sial! Kakak benar-benar menyebalkan!! Dian mengeluh di dalam benaknya mendengar ucapan Ratih. Di saat yang sama, Dian menundukkan kepalanya karena rasa penyesalan kembali datang dalam dirinya. Langit tetap langit. Luasnya langit itu bak hati manusia yang penuh maaf dan penuh dengan kebijaksanaan. Tak heran aku selalu menganggap Kakak sebagai langit. Lihat sekarang!! Selama aku membencinya, Kakakku sama sekali tidak pernah membenciku meski tahu aku membencinya. Ini benar-benar menyebalkan!!
“Aku tahu kamu sedang kesal sekarang, Dian!!”