“Kakak!!!”
Dian berteriak kencang tapi suaranya tidak bisa keluar dan hanya menggema di dalam hatinya. Tapi Dian masih tidak menyerah. Sekali lagi, Dian memanggil Ratih dan berusaha untuk tidak berpisah dengan Ratih.
“Kakak!!!”
Suara Dian tetap saja tidak keluar dan usahanya lagi-lagi berakhir sia-sia. Ratih tersenyum sebelum benar-benar menghilang dalam kegelapan dan Dian hanya bisa menunggu sebelum dirinya sendiri juga ditelan oleh kegelapan yang sama yang akan memisahkan dirinya dengan Ratih.
Ini terlalu cepat! Padahal masih banyak yang harus aku katakan padanya! Pada akhirnya Dian hanya bisa memejamkan matanya menerima kegelapan itu dan pasrah.
“Bunda!! Bunda!!”
Tak berselang lama, suara berisik itu benar-benar mengganggu ketenangan Dian. Siapa yang memanggilku? Tadinya ... Dian tidak ingin menghiraukan panggilan itu karena mendadak di sekujur tubuhnya, Dian merasakan rasa sakit yang belum pernah dirasakan.
“Bunda!! Bunda!!”
Tapi suara itu tidak berhenti memanggil Dian dan berhasil membuat tidur Dian terganggu. Huft! Dian mengembuskan napas panjangnya sebelum memutuskan untuk membuka kedua matanya.
“Bunda!! Bunda!!!”
Begitu membuka kedua matanya, Dian menemukan Astrid sedang menatapnya dengan jarak yang dekat. Melihat Astrid, Dian tahu bahwa keinginannya untuk mati dan mengakhiri hidupnya yang berat masih belum diterima oleh Tuhan. Sayang sekali, Tuhan masih tidak ingin bertemu denganku!
“Bunda!! Apa Bunda bisa melihat dan mengenaliku??” tanya Astrid sembari menunjuk dirinya sendiri.
“Ehm. Bunda bisa melihatnya dengan jelas. Kamu benar-benar berisik sekali!!” ujar Dian lemah.
“Bagaimana keadaan Bunda? Apa Bunda merasa sakit atau apa? Atau mungkin Bunda ingin minum??”
Dian menyipitkan kedua matanya dan menatap tajam ke arah Astrid karena Astrid sama sekali tidak menyadari ucapan yang sedikit kesal karena mengganggu tidurnya yang nyenyak. “Bunda baik-baik saja, Astrid. Kamu bisa berhenti bertanya ini dan itu.”
Tes, tes. Air mata Astrid jatuh dan membuat Dian terkejut.
“Kamu?? Kenapa tiba-tiba menangis??”
Astrid memeluk tubuh Dian yang masih berbaring di ranjang. Astrid memeluk erat dengan air mata yang terus bercucuran hingga membasahi pakaian Dian.
“Maaf, Bunda!!! Gara-gara Astrid, Bunda akhirnya kecelakaan dan harus menjalani operasi. Dokter bilang Bunda akan bangun dalam beberapa hari, tapi Bunda tidak bangun-bangun!! Astrid takut! Astrid takut sekali Bunda akan pergi seperti ayah dan ibu!! Di dunia ini, Astrid cuma punya Bunda seorang!! Astrid nggak mau kehilangan lagi!” Astrid bicara dengan sesenggukan karena tangisnya.
“Bunda kira kamu sudah dewasa dan siap pergi ninggalin Bunda. Kenapa sekarang takut kehilangan Bunda?” tanya Dian sembari mengingat pertengkaran terakhirnya dengan Astrid.
“Nggak, Bunda!!” Astrid menggelengkan kepalanya sembari memeluk Dian. “Jika menjadi dewasa artinya Astrid harus siap kehilangan Bunda, maka Astrid akan memilih selamanya jadi anak-anak! Sampai kapanpun Astrid nggak akan pernah siap kehilangan Bunda!!”
Dian tersenyum kecil mendengar ucapan Astrid. Dian mengangkat tangannya dan menemukan selang infus terhubung dengan pergelangan tangannya. Dian meletakkan tangannya di atas kepala Astrid dan membelai rambutnya dengan lembut. “Dasar!! Apa kamu nggak tahu di mata setiap orang tua mau seberapa dewasa anaknya, mau setua apapun umur anaknya, di mata orang tua mereka tetaplah anak-anak yang harus dilindungi. Itu sudah jadi naluri orang tua yang nggak akan bisa berubah meski waktu berubah. Astrid juga begitu kok! Di mata Bunda, Astrid tetap anak-anak yang Bunda harus lindungi!!”
“Huwaaaa!!!! Bunda!!! Astrid minta maaf sudah marah dan pergi dari rumah!! Astrid minta maaf sudah melawan Bunda!! Astrid minta maaf, Astrid bersalah sama Bunda!!!!”
Butuh waktu lama bagi Astrid untuk menghentikan tangisannya di tubuh Dian. Bahkan Raka yang tadinya sempat pergi menemui dokter dan membeli makanan untuk Astrid, harus ikut membujuk Astrid untuk melepaskan pelukannya di tubuh Dian. Begitu berhasil dibujuk dan makan makanan yang Raka belikan, Astrid akhirnya jatuh tertidur setelah selama beberapa hari ini menolak tidur karena takut kehilangan Dian dalam tidurnya.
“Kamu akhirnya bangun juga, Dian.” Setelah Astrid tertidur, Raka menyapa Dian dengan benar.
“Ehm. Tuhan sepertinya masih enggan menemuiku. Jadi Dia mengirimku kembali kemari meski aku mengeluh lelah dengan segalanya.” Dian membalas sapaan Raka dengan sedikit bercanda dan senyum di bibirnya. “Apa selama beberapa hari ini kamu terus di sini bersama dengan Astrid?”
“Ya.” Raka yang duduk di samping ranjang Dian, menggenggam tangan Dian. Genggaman itu begitu erat, menunjukkan rasa takut yang tidak diperlihatkan Raka di wajahnya. “Kamu benar-benar membuatku takut, Dian. Kamu melompat begitu saja untuk menyelamatkan Astrid tepat di depan mataku!”
“Ehm. Tubuhku bergerak sendiri.” Dian melirik ke arah Astrid yang tidur nyenyak. “Meski aku bukan ibu kandungnya, kurasa aku sudah terbiasa jadi ibunya dan tanpa sadar naluriku sebagai ibu muncul. Be-berapa hari aku tidak sadarkan diri??”
“Sekitar empat hari.”