Little Sun Have Sun Forever

Vania Daniswara
Chapter #2

Chapter 01 - It's Not Living, If It's Without U

"Apa motivasi kalian berdua bikin tatto di tangan kalian? Kalian itu masih SMA, nggak usah aneh-aneh. Cukup belajar saja apa susahnya?!" Seorang pemuda tampan yang duduk di balik kursi kemudi itu terus saja menyampaikan ceramahnya pada sepasang remaja SMA yang duduk di jok belakang.

Keduanya terdiam seraya menundukkan kepalanya enggan mengangkatnya. Kedua tangan mereka saling memilin. Takut, satu kata yang dapat menggambarkan kondisi hati keduanya.

Brian, pemuda itu masih terus memberikan petuahnya. Ia tidak habis pikir lagi dengan segala kelakuan adiknya, mereka terus saja membuat masalah jika ia kembali dari perjalanan dinas keluar kota.

Ia baru saja sampai di rumah setengah jam yang lalu, kemudian ia mendapat telepon dari wali kelas adik-adiknya yang mengabarkan bahwa kedua adiknya telah membuat masalah dan memanggilnya ke sekolah untuk menjemput mereka.

"Kalian dengerin yang Abang bilang, nggak?" tanya Brian sembari melirik ke cermin yang mengarah ke belakang untuk melihat respon kedua adiknya.

"Dengar, Bang." Jawab keduanya bersamaan.

"Bagus."

"Sebagai hukumannya, dalam dua bulan kedepan kalian hanya boleh keluar pakai transportasi umum. Motor kalian Abang sita. Batas pulang nggak boleh lebih dari jam sembilan malam. Kalau lebih dari itu, gerbang Abang kunci dan kalian silakan pikirkan sendiri akan bermalam di mana."

"Terakhir. Abang nggak mau lihat lagi tatto itu sebelum memasuki usia legal kalian. Minimal usia 18 tahun, kalian baru Abang izinkan bikin tatto. Paham?"

Dua remaja SMA itu menganggukkan kepalanya patuh, membuat Brian menyunggingkan senyum tipisnya. Ia senang bila melihat kedua adiknya menjadi anak manis yang penurut, bukan pembangkang seperti yang orang-orang katakan padanya.

Tak terasa setengah jam sudah perjalanan, kini mereka telah sampai di rumah. Mereka turun bersama-sama setelah Brian memarkirkan mobilnya. Arkha dan Adhara, dua remaja itu masih takut menatap wajah garang Brian. Mereka hanya menunduk dan berjalan di belakang Brian hingga mereka memasuki rumah.

Di ruang tamu Bik Atun yang sedang membersihkan meja pun turut bingung melihat Brian membawa pulang Arkha dan Adhara. Terlebih lagi melihat dua remaja itu yang membuntuti Brian dengan kepala menunduk. Sepertinya sesuatu telah terjadi di antara mereka. Bik Atun menebak kedua bocah labil itu membuat masalah di sekolah hingga Brian murka.

"Masuk ke kamar. Hari ini nggak ada jatah main. Renungi masalah kalian di kamar masing-masing!" Suara Brian kembali terdengar. Pemuda itu mengurut batang hidungnya, cukup pusing mengatur kedua adiknya. Sebenarnya ia tahu, tatto yang tertempel di tangan adik-adiknya itu adalah tatto temporer yang mereka dapatkan saat akhir pekan kemarin di sebuah mall. Mereka memang hanya iseng saja, tetapi keisengan mereka itu bikin geger satu sekolah.

Setelah mendengar perintah Brian, Arkha dan Adhara menaiki tangga dan memasuki kamar mereka sesuai dengan perintah Brian. Di dalam kamar Adhara segera mengganti seragam sekolahnya dengan kaos oversize warna hitam dan celana jogger berwarna abu. Rencananya ia akan mengisi waktu luangnya untuk merampungkan gambaran desain gaun yang kemarin tidak sengaja ia gambar.

Berbeda dengan Adhara, Arkha yang juga sudah mengganti bajunya dengan kaos dan kolor pendek kesayangannya itu justru memilih tidur sembari mendengarkan playlist musik rock yang semalam ia buat. Ya, Arkha sangat menyukai musik rock, berbeda dengan Adhara yang lebih menyukai musik genre pop. Namun, kedua anak itu sama-sama menyukai grup rock asal London.

Mari bercerita sendikit tentang dua bocah labil yang sering membuat Brian sakit kepala. Adhara Mesha Gauri Warren atau sering dipanggil Dhara merupakan adik kandung dari Brian Khevandra Warren. Jarak usia mereka terpaut 12 tahun. Saat ini Adhara masih berumur 17 tahun, sedangkan Brian sudah mendekati kepala tiga atau 29 tahun. Namun, meskipun sudah memasuki usia matang untuk menikah, Brian tak kunjung menikah. Entah apa alasan dan tujuannya, padahal ia sudah memiliki kekasih juga.

Adhara dan Brian merupakan anak dari Merua Warren, seorang pelukis terkenal yang karyanya sudah banyak dikenal di Asia khususnya di Indonesia. Ibu mereka, Nala Gistara berprofesi sebagai seorang pemimpin perusahaan manufaktur yang bergerak di industri sabun.

Lahirnya Adhara di dunia bersamaan dengan lahirnya seorang anak laki-laki bernama Arkha Natha Madaharsa atau biasa dipanggil Arkha yang merupakan anak tunggal dari pasangan suami istri yang cukup terkenal. Ayahnya juga seorang pelukis terkenal bernama Kanezka Aditya dan ibunya Mettadevi Sajani Yudistia seorang koki di sebuah hotel, mereka berdua menjelajah dunia tanpa membawa Arkha. Itulah mengapa sejak Arkha berumur delapan tahun ia dititipkan pada keluarga Adhara. Namun, sebuah kejadian buruk menimpa keluarga Adhara yang membuat kedua orang tua Adhara tidak lagi bersama. Hal itulah yang membuat Arkha dan Adhara berakhir diurus oleh Brian seorang diri.

Lamunan Adhara yang sedang duduk sendiri di balkon kamar langsung buyar ketika Arkha tiba-tiba saja duduk di bangku sebelahnya dengan kedua mata yang masih tertutup. Gadis itu mendengus pelan, ini bukan kali pertama pemuda itu tidur berjalan.

"Gue ketemu kecoa di Malioboro masa tadi, cuy!" Arkha mengigau dengan nada tinggi, membuat Adhara terlonjak kaget. Ingin rasanya ia menonyor kepala Arkha saat ini atau memukulnya jika bisa, tapi sayang sekali sekarang Arkha sedang dalam kondisi tidak sadar.

Adhara melirik sinis pada Arkha. "Ya terus kenapa kalo ketemu kecoa di Malioboro?"

"Ck, masa lo nggak tau sih. Kecoanya tuh main basket sama Bik Atun di belakang rumah. Gue aja kaget liatnya."

"Tolol!" Adhara tidak bisa menahan hasratnya lagi untuk tidak menonyor kepala Arkha saat ini.

Sedetik kemudian, Arkha berdiri dan langsung berjalan pergi meninggalkan Adhara di balkon. Karena takut Arkha berbuat yang tidak-tidak, gadis itu mengikutinya dari belakang. Untung saja Arkha berjalan masuk ke kamarnya. Adhara masih mengikutinya, ia juga melihat bagaimana gilanya Arkha bahkan ketika ia sedang mengigau berjalan sekaligus. Pemuda itu baru saja menggelar selimutnya di lantai, kemudian ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan membiarkan selimutnya tergeletak begitu saja.

Dengan menggeleng-gelengkan kepalanya, Adhara mengambil selimut Arkha, melipatnya dan meletakkannya di atas ranjang. Ini siang hari, Arkha tidak akan mungkin memakai selimutnya. Setelah merasa semua beres, Adhara kembali ke kamarnya. Tidak lupa ia menutup kembali pintu kamar Arkha.

***

Suara ringtone alarm dari lagu Shake it Off membangunkan Adhara yang masih nyaman dengan mimpinya. Ia melenguh sesaat sebelum tangan kanannya meraih ponselnya yang masih berteriak-teriak meminta alarm segera dimatikan.

Ia mendudukkan tubuhnya, beberapa menit terdiam untuk mengumpulkan nyawanya yang masih berkeliaran di alam mimpi. Hampir saja ia tertidur kembali bila tidak mengingat pagi ini ia harus berebut kamar mandi dengan sahabat kecilnya.

Dengan langkah tergesa, ia meraih bathrobe yang tergantung di belakang pintu kamarnya, kemudian berlari kecil keluar kamar.

Kedua mata Adhara membola ketika melihat Arkha dengan muka bantal juga baru keluar dari kamarnya. Mereka saling berpandangan satu sama lain, sedetik kemudian pandangan mereka teralihkan pada pintu kamar mandi yang berada di antara kedua kamar mereka.

Seakan tersadar, Adhara segera berlari untuk meraih gagang pintu kamar mandi. Namun, sialnya pagi ini sepertinya dewi fortuna sedang tidak berpihak padanya, karena Arkha terlebih dahulu meraihnya.

"Sayang sekali, ternyata dunia sedang baik pada pangeran Arkha pagi ini." Kata Arkha dengan nada meledek.

"Anjir! Gue duluan, Kha!" Kesal Adhara seraya menghentakkan kakinya.

Arkha tersenyum kemenangan sembari masuk ke kamar mandi. "Eits, pagi-pagi nggak boleh mengumpat ya cantik, nanti kalah cantik sama Beauty." Balasnya dengan senyuman jahil, kemudian menutup pintu kamar mandinya.

Adhara mendengus sebal. Ia memilih untuk mengurus anak bujangnya terlebih dahulu. Langkahnya berhenti di depan kandang kucing berwarna hitam yang terdapat seekor kucing jantan ras bombay dengan bulu berwarna hitam dan mata kuning. Dia adalah Jamal, anabul kesayangan Adhara.

Jamal terbangun dari tidurnya dan mengeong ingin meminta makan. Dengan telaten Adhara memberi makan untuk Jamal dan tidak lupa juga membersihkan kotoran Jamal di pasirnya.

"Makan yang banyak ya ganteng. Biar makin sehat, makin lebat bulunya, makin gede, makin ganteng juga pastinya anak ibu," ucap Adhara sembari mengelus kepala Jamal dengan penuh kasih sayang. Sesekali ia tertawa melihat tingkah lucu Jamal ketika makan.

Sembari menunggu Arkha menyelesaikan ritual mandinya, mari bercerita tentang dua sahabat itu.

Adhara dan Arkha sangat menyukai langit dan matahari, karena katanya langit ketika sedang cerah-cerahnya itu sangat mengagumkan. Mereka akan sedih bila senja tiba, dan akan senang kembali ketika fajar datang. Seperti saat ini, sebenarnya ini masih subuh, terlalu pagi untuk bangun dan bersiap untuk sekolah. Namun, bagi Adhara dan Arkha, ini adalah waktu yang tepat untuk mereka melihat fajar sembari bercerita banyak hal. Mereka berebut kamar mandi, karena ingin melihat fajar dalam kondisi wangi dan rapi. Cukup konyol, tapi itulah mereka.

Selain itu, Adhara juga punya mimpi tinggi untuk menjadi seorang desainer yang memiliki label sendiri untuk pakaian-pakaian buatannya. Sedangkan Arkha bercita-cita ingin menjadi arsitek dan membangun perusahaan arsitektur sendiri. Oleh karena itu, kemanapun mereka pergi, pasti membawa dua sketch book. Satu milik Adhara dan satu lagi milik Arkha.

Pintu kamar mandi terbuka, Arkha muncul dari dalam dengan memakai handuk yang menutupi bagian bawahnya saja. Adhara berdecak, ia kesal karena kebiasaan buruk Arkha tersebut. Tidak tahu kah Arkha bahwa ia panas dingin dibuatnya.

"Lo pikir bagus kayak gitu?" tanya Adhara menutup kedua matanya agar tidak melihat Arkha yang sedang topless di depannya.

"Justru gue mau banggain tubuh gue yang bagus ini."

Lihat selengkapnya