Suaranya kencang ketika bertanya padaku, “Mengapa kau menangis?”
Segera aku tersentak dari lamunanku.
Sekilas, hanya sekilas, kulihat siluet payung merahnya berputar dari sudut mataku.
Silir angin yang mengamuk, menggoyang liar dedaunan. Kersiknya riuh seiring dengan lambaian ranting-ranting, bayangannya menari seirama bagai tangan-tangan membuai, merayu untuk masuk dalam pelukannya. Namun begitu aku tidaklah gentar; masih berdiri terpaku tanpa gelisah.
Di antara tetes hujan yang menghantam dengan kejam, di tengah kesunyian taman yang tak bernyawa, dan di bawah langit gelap nan kelabu, tak dapat kurasakan lagi dinginnya air yang rebas menerpa wajahku. Tubuhku kuyup, namun dekap kehangatan terasa memenuhi hatiku. Hangat sekali rasanya dekapan itu, hingga kurasakan diriku ini perlahan menjadi kosong, perlahan terhisap ke dalam buaiannya.
Dari keriuhan titik-titik air yang berlomba menyentuh tanah, seseorang tengah berbicara padaku―dia berdiri jauh di hadapanku. Siluetnya buram tak kulihat, hanya saja payung merah-menyalanya terasa familier. Samar-samar kudengar lantang suaranya mencoba menarik perhatianku, berdengung bagai gumaman lembut, lantunan pengantar tidur.
“Mengapa kau turut menangis? Apakah tidak cukup langit ini saja yang bersedih?”
Aku mendengus.
Entah dia tengah menjahiliku atau serius bertanya padaku, aku tetap merasa kesal karena ia mengusikku hanya untuk pertanyaan konyol itu. Hendak kuhardik dia dari hadapanku, namun dia bergeming dari pandanganku. Walaupun samar, dia tersenyum padaku―senyumannya masih sama seperti yang kuingat di hari itu.
“Aku tidak menangis,” jawabku, sembari mengusap wajahku dengan ujung manset bajuku. “Hanya saja air hujan ini masuk ke mataku ...” tambahku lagi, dengan nada setengah bercanda.
.-.-.-.
Bagian I: Air Hujan
.-.-.-.
Sepasang mata menatapnya dengan gusar, memelototinya dengan keras seolah-olah dirinya adalah hal terjanggal sedunia. Geraman pun terdengar dari pangkal tenggorokan, getarannya yang statis membuat tubuh siapapun merinding dan kaku mendengarnya. “Apa kau tahu letak kesalahanmu?”
Setelah panjang sunyi yang mencekik, pada akhirnya pertanyaan itu terlontarkan juga―tajam bagaikan pisau yang menghunus secara tiba-tiba.
Dia hanya mengangguk otomatis, kaku seperti robot. Peluh membanjiri wajahnya yang bersut, kedua matanya melotot, terpaku pada ujung sepatu kulit di hadapannya. Dia tak berniat mengangkat wajah dan beradu tatap dengan pria pemilik sepatu kulit murahan itu, enggan memperunyam masalah yang telah dibuatnya. Walaupun sangat menjengkelkan baginya, saat ini yang dapat dilakukkannya hanyalah setengah hati menundukkan kepala dan diam saja, layaknya seorang anak yang tengah dimarahi orang tuanya.
Sebuah gelengan kepala malah ditujukan pada sikap diamnya. Pria yang semakin naik pitam itu pun kembali angkat suara, “Kau benar-benar tidak pernah belajar dari kesalahanmu! Sudah berapa kali kau melakukan pelanggaran ini?!” Suara pria itu sudah serak karena terus berteriak, kakinya menghentak-hentak tanah, sepenuhnya dikontrol emosi. Namun pemuda di hadapannya bergeming, tidak merespon bahkan terlihat tidak tertarik dengan ucapannya.
Sebuah gelengan lagi, sebuah dengusan keras lagi. “Aku sudah muak dengan sikapmu itu! Mulai hari ini kau kupecat!” Pria itu segera berbalik, masih menghentak-hentakkan kaki, mulutnya tak berhenti meluncurkan cercaan. Belum puas, dia membanting pintu kaca dengan keras―suara debamnya terdengar mengejutkan.
Sedangkan pemuda yang ditinggal itu masih bergeming, terkejut dan kebingungan, setitik dari ekspresinya berubah kalut. Ada secercah keputus-asaan di sorot matanya, namun selebihnya dia tidak peduli. Ia melepaskan topi merah yang dikenakannya, membuangnya ke tanah, dan beranjak pergi begitu saja.
.-.-.-.
Hari itu hujan datang secara tiba-tiba―deras sekali, hingga semuanya terlihat kabur di bawah siramannya. Orang-orang yang memenuhi jalan kini sudah menepi dan berteduh, namun ada pula yang nekat melanjutkan perjalanan di tengah guyuran hujan yang semakin deras. Rupanya prediksi cuaca hari ini gagal dibawakan dengan akurat―membuat beberapa orang yang kehujanan menjadi kesal karena merasa terhambat. Memang betul pagi ini cuacanya cerah sedikit berawan―tapi siapa sangka sedikit berawan itu berujung hujan lebat di tengah hari?
Sebagai salah satu korban salah prediksi, Bintang berteduh di teras sebuah toko yang sedang tutup, menunggu hujan sembari memandang langit yang kelabu dengan bajunya yang sedikit basah. Hari ini dia tidak membawa payung karena dia tidak menyangka hujan akan tiba-tiba datang―ya, dia sangat rajin mengecek dan sangat percaya pada prediksi cuaca. Apalagi di tengah musim kemarau seperti ini, Bintang yakin seharusnya siang ini matahari masih enggan bersembunyi dan bersemangat untuk memanggang siapapun yang mencoba menantangnya.
Bintang terdiam, memperhatikan tetesan air yang jatuh dari langit dengan tatapan kosong. Raut wajahnya tak terbaca, sorot matanya sesaat kehilangan kilau cemerlangnya. Pikirannya entah berada di mana, tenggelam dalam dunianya sendiri.
Di tengah lamunannya itu, ponselnya bergetar. Bintang mengambil ponsel dari saku celananya dengan malas-malasan, wajah tanpa ekspresinya tidak berubah sedikitpun. Setelah membaca nama yang tertera di layar ponselnya, dia langsung menghela dan mengembuskan napas panjang. Seolah-olah beban-baru diletakkan di pundaknya yang lelah, Bintang menerima panggilan itu.
“Ya―?”
“Kau dipecat lagi.”
Bingo! Selalu saja langsung ke inti―tanpa basa-basi.
Hahaha. Bintang hanya terkekeh getir, tak tertarik untuk membahas masalahnya hari ini. “Kau benar-benar cepat mendengarnya ...” komentarnya sembari berkacak pinggang sebelah tangan.
Cepat sekali Valeri mendengarnya, Bintang sampai kagum. Padahal belum setengah jam yang lalu Bintang dipecat dan Valeri sudah menggusarinya. Bintang tidak benar-benar memperhatikan apa yang Valeri ucapkan setelahnya, menyibukkan diri dengan memandang guyuran hujan yang semakin menggila di hadapannya. Baginya ucapan Valeri hanyalah sebuah rekaman usang yang tak perlu diulang, jadi dia tidak perlu benar-benar memperhatikannya.