Malam.
Isak tangisnya terdengar begitu keras. Di antara semak-semak bunga mawar yang berduri, tubuh mungilnya duduk bertinggung dipenuhi luka. Mengesampingkan lebam di sekujur tubuhnya lengan dan kakinya berdarah tergores duri mawar, merusak gaunnya yang putih bersih.
Tangisnya tidak berhenti ketika lolongan anjing dari tempat yang jauh menjadi riuh. Antara sakit di tubuh dan perih di hati, pilu itu ia tumpahkan segala-galanya dalam isaknya, bersamaan dengan air mata yang meleleh lembut, membasahi pipi bulatnya. Dia tersentak ketika kerisik dedaunan terdengar semakin gaduh―semakin mendekat. Dilupakannya tangis sendunya untuk sementara, rasa takut perlahan mulai menyelimutinya. Matanya terpaku pada kegelapan, pada arah suara itu berasal, mewaspadai apapun yang bergerak di baliknya.
Kersik itu semakin jelas, tidak mau berhenti hingga sosok seorang bocah laki-laki menyembul di antara semak mawar yang berduri. Dia terkejut, begitu pula si bocah laki-laki. Keduanya hanya terdiam saling memandang. Usai kejut itu digantikan oleh perasaan canggung, bocah laki-laki itu langsung berbalik pergi.
Sekali lagi dia tercengang dengan sikap bocah laki-laki yang muncul dan pergi begitu saja itu. Melihat seorang gadis kecil menangis sendirian di tengah malam seperti ini dengan tubuh penuh darah dan luka―apakah dia benar-benar tidak punya hati untuk sekedar bertanya “mengapa?” Batinnya. Perasaan kesal itu seketika menggantikan pilunya, membuatnya lupa dengan alasan dirinya menangis malam itu. Namun ketika hangatnya selimut dan panas tubuh dari sosok yang duduk di sampingnya menyelubunginya, dia kembali menangis untuk alasan yang berbeda.
.-.-.-.
Bagian II: Kunang-Kunang
.-.-.-.
“Omong-omong, Kevin benar-benar tidak cocok untukmu.”
Bintang melontarkan pernyataan itu ketika mereka berdua tengah sibuk memotong sayuran. Hari itu hari Minggu dan cuaca di luar cerah luar biasa. Matahari terlihat sangat bahagia di luar sana, dengan gumpalan awan putih yang terlihat menjauhinya di sudut-sudut cakrawala―terik cahayanya terasa hangat, namun tidak sepanas panggangan seperti pada hari biasanya. Dengan hari yang secerah itu, entah mengapa Bintang memutuskan untuk membuat sup ayam yang panas di siang bolong.
Kevin hanya diam mendengarkannya. Demamnya sudah turun sepenuhnya keesokan harinya. Kini sudah tiga hari berlalu sejak dia bertemu Bintang. Selama tinggal di sana, Kevin selalu membantu Bintang dalam hal memasak, menyapu, mencuci, dan juga menjaga rumah ketika Bintang pergi kuliah atau bekerja paruh waktu. Entah mengapa sosok Kevin sudah sepenuhnya diterima di kediamannya, bahkan tetangga dan teman-temannya tidak bertanya apa-apa tentangnya. Padahal dalam selayang pandang saja sudah jelas Bintang berbohong saat dia berkata Kevin adalah adiknya.
Setelah jeda yang cukup lama, Kevin pun menjawab pertanyaan Bintang. Tidak seperti biasanya, dia menjawab dengan canda. “Kau pasti akan terkejut jika kukatakan namaku adalah Nathaniel, Harry, atau Jay―”
“Atau Huckleberry Finn?”
Kevin terdiam sejenak, lalu bergumam dalam satu embusan napas, “... panggil aku Ishmael.”
Bintang mendengus tertawa mendengar nama-nama itu fasih diucapkan oleh bocah sebelas tahun sepertinya―terlebih pada kalimat mengesankan dari novel terkenal itu. Rupanya bocah itu tahu banyak tentang novel, bukan hanya novel modern namun juga novel klasik, lebih dari dugaannya. “Kau benar,” sahut Bintang, membenarkan. “Kurasa Huckleberry masih lebih baik ...”
“... karena aku kabur dari rumah?”
“Ya ... ah, tidak juga ... Hahaha.” Bintang tertawa sumbing untuk menutupi ketidak-nyamanannya. Dia tersenyum kikuk ketika Kevin hanya diam mengabaikannya dan kembali pada tugasnya memotong wortel. Pemuda yang lebih tua itu pun juga kembali pada pekerjaannya, namun pikirannya masih tidak mau melepaskan topik itu begitu saja. “Nathaniel jauh lebih cocok untukmu,” tambahnya kemudian, setelah berpikir ulang.
Kevin tidak langsung menanggapinya, gerakan memotong wortelnya juga berhenti sesaat. Gumaman kecilnya tidak terdengar jelas di telinga Bintang. Namun dari sorot mata sedihnya, Bintang sadar dirinya telah menginjak sebuah ranjau.
.-.-.-.
Valeri datang secara tiba-tiba tidak lama kemudian. Bagaikan sebuah badai yang menerjang, gadis itu berhambur membanting pintu rumah Bintang dengan wajah masam. Tanpa ketuk maupun salam, Valeri langsung menginjakkan kakinya ke dalam rumah, seolah-olah tengah dalam misi penyergapan. Gadis dua puluh tahun itu bergegas menuju dapur, mendapati teman masa kecilnya sedang mengaduk isi kuali dengan siulan bernada sumbing. Dengan suaranya yang terdengar sangat kesal sembari menghantam meja makan, Valeri berseru, “Kau benar-benar menghindariku!”
Bintang tidak langsung menghentikan siulannya, tangannya pun terlambat berhenti mengaduk. Pemuda itu hanya memandangnya dengan ekspresi setengah terkejut. “Oh, Valeri ...” ucapnya, “Sejak kapan kau datang?”
“Bintang, aku benar-benar marah.”
“Ah, ya. Maaf, maaf. Ponselku rusak karena hujan, jadi aku menyerviskannya.” Jelas Bintang, meminta pemakluman. Walaupun begitu tidak ada penyesalan dalam nada suaranya. Pemuda itu kembali mengaduk isi kuali yang mengeluarkan aroma kaldu ayam, mengabaikan keberadaan temannya yang masih marah kepadanya.
Valeri yang terabaikan kembali menggebrak meja makan dengan kuat. “Bintang―!”
“Oi, mereka kehabisan seledri ...―”
Kevin yang baru saja muncul dari pintu depan hanya dapat berdiri kikuk menghadapi ketegangan yang berlangsung di hadapannya. Bocah sebelas tahun itu terpaksa berbalas pandang dengan Valeri yang melayangkan tatapan tak percaya padanya. Sebelum sempat dia meminta bantuan dari Bintang, pemuda yang lebih tua sembilan tahun darinya itu sudah memahami posisinya dan menolongnya dengan berkata, “Ah, letakkan saja kembalian dan garamnya di meja.” Kevin tidak memiliki pilihan lain selain menurutinya, meletakkan sebungkus garam dalam plastik hitam di meja beserta koin pecahan lima ratusan. Iris kelabunya sesekali mencuri pandang pada gadis yang menatapnya dengan tajam, namun tidak sekali pun dirinya berani membalas pandangan itu. Dia bergegas pergi dan menghilang di balik pintu kamar, mengunci dirinya di dalam.
Untuk beberapa saat Valeri membatu, masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun setelah dia terbebas dari rasa terkejutnya, gadis itu mulai bertanya, “Mengapa dia ada di sini?” Nadanya sengit, begitupula dengan tatapannya. Namun Bintang enggan menjawabnya, tidak pula berniat menatapnya. “Bintang, kau akan berada dalam masalah besar jika kau―”
“Tenang saja. Dia hanya menumpang beberapa waktu di sini.”
“Bagaimana kau―?”
“Aku tidak menculiknya, oke?”
Valeri kembali bungkam. Dia tidak senang berhadapan dengan Bintang yang seperti itu. Berbicara dengan Bintang saat ini tidak lebih dari berbicara dengan sebuah batu, pikirnya. Gadis itu menghela napas panjang berkali-kali, melemaskan seluruh ototnya yang terasa tegang, kemudian kembali menatap Bintang dengan ekspresi yang lebih tenang. Sebuah resolusi menghidupkan sorot matanya. “Jika kau membutuhkan bantuanku, katakan saja. Kau tidak perlu memaksakan dirimu terlalu keras. Aku pasti akan menolongmu.” Ucapnya dengan penuh determinasi.
“Aku bisa mengatasinya sendiri.”
“Bintang―!”
“Ah! Sebenarnya ada satu yang ingin kumintai tolong darimu ....” Kali ini Bintang berbalik, senyumannya terlihat netral di wajahnya. Sedetik kemudian senyumnya berubah serengit jahil. Bintang kembali berkata, “Bisakah kaubawa Kevin ke gereja bersamamu?” dan Valeri tidak dapat menolak permintaan kecilnya.
.-.-.-.
Kevin tahu, sejak pertama kali pandangannya bertubrukan dengan sorot mata tajam milik Valeri, dirinya sadar apa yang mengganjal di benak gadis itu. Oleh sebab itu dia bergeming layaknya sebuah patung; diam dan pasif walaupun suasana yang menyelimutinya begitu mencekam, seolah-olah dapat mencekiknya hingga mati tak bernapas. Valeri sendiri terlihat gelisah, namun enggan mengajaknya berbicara. Pun gadis itu menolak untuk menatapnya secara langsung―matanya bergerak liar ketika tatapannya jatuh tanpa sengaja pada wajah Kevin.