Aku memungut seekor kucing saat usiaku 7 tahun.
Ah, bukan berarti aku memeliharanya; Mama alergi bulu kucing sehingga aku tidak dapat membawanya pulang bersamaku. Kucing itu berbulu halus, warnanya hitam legam, terlihat begitu angkuh dengan tubuhnya yang ramping dan supel―namun iris matanya yang hijau kekuningan terlihat begitu besar, kontras dengan bulunya yang gelap. Sorot matanya menyimpan rasa penasaran dari anak kucing yang belum dewasa. Ekornya yang panjang berlenggak-lenggok setiap kali ia berjalan, bergerak begitu anggun, lemah gemulai.
Dia tak bernama―dia adalah kucing liar. Sering kulihat ia berkeliaran di sekitar rumahku, tetapi dia tidak pernah terlihat kotor maupun memiliki luka yang merusak penampilannya seperti kucing liar lainnya. Dia begitu anggun, begitu cantik, begitu berbeda. Seolah-olah dia adalah kucing rumahan yang dimanja bak seorang raja, sikap dan penampilannya menunjukkan bahwa ia bukanlah kucing biasa.
Terkadang kulihat beberapa orang mencoba untuk mendekatinya. Kupikir mereka hendak membawanya pulang setelah melihat penampilannya yang tidak seperti kucing liar lainnya. Namun kucing itu begitu cerdik―dia selalu berhasil lolos dari kejaran orang asing. Hanya padaku saja kucing itu mau menurunkan kewaspadaannya, membiarkanku mengelus bulu-bulunya yang lembut dengan manja. Aku tahu bahwa aku akan terus merasa bersalah karena tidak dapat membawanya pulang bersamaku, namun aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak datang menghampirinya ketika dia mulai mengeong padaku. Setiap hari, kudatangi kucing itu sembari membawakannya beberapa makanan yang diam-diam kubeli dengan uang sakuku.
Suatu hari aku menemukannya tergeletak begitu saja dengan isi perut yang tercerai-berai. Matanya yang selalu menyimpan rasa penasaran kini menatapku kosong dan mati. Dengan mulut setengah terbuka, wajahnya tak berekspresi. Bulu-bulunya yang hitam pun terlihat kehilangan seluruh kilau cemerlangnya. Entah kucing lain, entah anjing liar, atau entah siapa yang tega melakukan hal kejam itu padanya―siapa yang dapat kusalahkan?
Dari darah yang menggenang dan luka di perutnya, aku tahu bahwa kematiannya pastilah berlarut, sangat menyakitkan. Bayangkan saja: di sudut gang kecil, di jalanan yang sepi, dengan perut berburai, sakit tak tertahankan, perlahan-lahan mati, dalam ketakutan, dan tanpa pengetahuan tentang apa yang akan dihadapi selanjutnya ....
Namun lebih dari sakit yang menyiksa, lebih dari rasa takut akan kematian, apakah kesepian tanpa ada yang memedulikannya-lah yang terlebih dahulu membunuhnya, aku pun tidak tahu.
Kudekap jasadnya dalam pelukanku, tidak peduli darah maupun tanah mengotori bajuku. Satu kehangatan telah hilang darinya, dan tubuhnya menjadi lebih ringan dari sebelumnya. Jika kuingat kembali bagaimana aku biasa menggendongnya, aku tahu―sesuatu telah hilang darinya.
Ah ... jiwanya benar-benar telah pergi, pikirku.
Sembari memeluk tubuh yang telah lama dingin itu, aku pun berpikir apakah kematianku nanti akan sama dengannya.
.-.-.-.
Bagian III: Kucing Hitam
.-.-.-.
William adalah teman masa kecil Bintang dan Valeri.
Sejak kecil dia sering sakit-sakitan; berkali-kali dilarikan ke rumah sakit karena tubuhnya yang begitu rentan. Banyak yang berasumsi bahwa akibat masa kecilnya yang nyaris tidak lepas dari rumah sakit itu sifatnya menjadi begitu pemalu dan lemah lembut. Semasa sekolah William selalu diingat sebagai sang Pangeran Tersenyum yang selalu tersenyum kepada siapapun, bahkan pada orang yang tidak dikenalnya. Dia akan tetap mematri senyum tipisnya walaupun sedang sedih, marah, atau saat merasa kesakitan sekalipun.
Saat kecil, tubuh William terlihat sangat rapuh; seperti sebuah gelas yang akan pecah apabila disentuh. Tak ada yang menyangka dia tumbuh menjadi pemuda yang sangat tampan dengan tubuh tinggi dan gagah, begitu bugar hingga tidak ada lagi yang ingat bahwa dia begitu lemah semasa kecilnya.
William juga sangat cerdas―intuisinya sangat tajam. Ditambah pengetahuannya yang luas, kemampuan berkomunikasinya yang sangat baik, dia pun cakap dalam memperhatikan detail lingkungannya. Tanpa perlu penjelasan ataupun mengajukan pertanyaan, William akan tahu jika ada yang salah. Dia akan segera tahu jika orang di sekitarnya dalam masalah. Sensitivitasnya itu terkadang digunakan untuk membantu teman-temannya, namun lebih banyak ia gunakan sebagai kartu as tersembunyi. Dengan kemampuan seperti itu, dia dapat menjadi kawan terbaik sekaligus musuh terburuk bagi siapapun yang ingin terlibat dengannya.
Suatu hari William tiba-tiba berada di ruang tengah rumah Bintang, duduk berseberangan, dan sedang bermain catur melawan Kevin. Bintang yang baru saja sampai langsung disambut senyuman khas William. “Oh! Kau sudah sampai.” Katanya, tidak terkejut sama sekali. Ekspresinya yang tenang dan senyuman tipis yang terukir di wajahnya terlihat sedikit mengintimidasi. Sudah jelas dia sangat menantikan kepulangan Bintang dan bermaksud untuk membicarakan sesuatu.
“Will ...” sebut Bintang, “sejak kapan kau kembali dari Australia?”
“Tadi pagi. Sekitar jam sepuluh. Aku langsung ke sini setelah mendengar cerita dari Arya.” Jawabnya. Tak berapa lama perhatian William pun kembali pada permainan catur yang sedang dimainkannya. Sambil setengah bergumam, William berpikir sejenak. Kemudian tanpa ragu tangannya menggerakkan bidak putih yang masih tersisa di papan. Katanya, “Adik-mu ini sangat pandai bermain catur; bagaimana kau mengajarinya?”
“Aku tidak mengajarinya.” Sahut Bintang, masih berdiri di depan pintu.
“Oh, ya?”
Bintang diam tak menanggapinya. Dia tahu William sudah menyadari bahwa Kevin bukanlah adiknya, walaupun William sendiri bersikap seolah-olah dia tidak tahu. Jika Valeri mengenal keluarga Kevin, besar kemungkinan William juga mengenal mereka―lingkar sosial orang kaya jauh lebih sempit dari apa yang orang awam pikirkan. Bintang akhirnya bergerak dan duduk di sofa panjang di sebelah kursi yang diduduki William dan Kevin, meletakkan tasnya di sebelahnya, dan memperhatikan keduanya memainkan permainan mereka yang hampir selesai. Dilihat dari buah catur yang tersisa, William memiliki lebih banyak buah catur yang tersebar di atas papan, namun Kevin memiliki opsi pergerakan yang lebih menguntungkan. Setelah memahami jalannya permainan itu, Bintang menyeletuk, “Kau akan kalah dalam sepuluh giliran.” Katanya. “Mau kaumakan bentengnya ataupun tidak, rajamu akan tetap terkepung.” Ditunjuknya kuda putih milik William yang selangkah lagi memakan benteng hitam Kevin.
“Hmm ...” William bergumam, lama sekali. “Sudah kuduga kau juga menyadarinya.” Katanya kemudian. William bergeser dari tempat duduknya, menyandarkan punggungnya dengan nyaman ke kursi. Diangkatnya kedua tangannya, senyuman yang terukir di wajahnya berubah menjadi getir. Dengan setengah hati, dia mengakui, “Aku menyerah. Tidak ada gunanya memainkan permainan yang tidak akan kumenangkan.”
Sedangkan itu, Kevin hanya diam mengabaikannya, masih berpikir seraya memperhatikan papan hitam-putih di hadapannya. Sesaat kemudian, Kevin berkata, “Tidak juga. Jika kau menggerakkan kudamu ke sini, kau masih bisa membalikkan keadaan.” Jemarinya yang kecil dengan cekatan memindahkan kuda putih milik William ke salah satu tempat yang kosong. Dari sana, kuda putih itu cukup dekat dengan raja Kevin namun juga cukup jauh dari jangkauannya.
William berpikir sejenak. “Tapi kau pasti akan mengambil gajahku dan maju terus hingga menyudutkan rajaku.”
“Kau bisa memindahkan menterimu ke sini.”
Selesai Kevin meletakkan menteri putih itu, William terdiam. “Ah!” serunya, setelah menyadari sesuatu. “Remis dalam tujuh giliran, ‘kah ...?” Gumamannya terlalu keras sehingga dapat didengarkan Bintang. Kemudian William menatap terkagum-kagum pada papan catur di hadapannya. Seolah-olah pemandangan di hadapannya berubah, dalam sekejap ekspresi getir yang telah dipasangnya berubah menjadi sebuah kegembiraan, layaknya anak kecil yang akhirnya mendapatkan mainan baru yang selalu diinginkannya. Dibetulkannya letak kacamata di wajahnya, mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali, lalu tersenyum pada Kevin dengan penuh rasa bangga. “Kau memang hebat! Tidakkah kau ingin mencoba ikut kejuaraan catur? Kurasa kau akan menang dengan mudah!” Pujinya, tetapi Kevin tidak menanggapinya, begitu pula dengan Bintang―siapapun juga pasti akan meragukan pujiannya. Sarkasme terselubung itu dapat mudah dilihat oleh keduanya, William sendiri pun tidak sungkan untuk menutup-nutupinya. Pemuda berkacamata itu bangkit berdiri, hendak beranjak pergi dari tempatnya. “Baru kali ini aku kalah dua kali berturut-turut―walaupun yang terakhir seharusnya remis. Mungkin lain kali kita coba bermain shogi, dengan begitu tidak akan ada remis lagi.” Katanya, dengan santai berjalan menuju pintu.
Sebelum William sampai di depan pintu, Bintang berseru untuk menghentikannya, “Bukankah kau ingin membicarakan sesuatu denganku?” Mendengarnya, William langsung berbalik menghadapnya, senyumannya masih terpasang elok di wajahnya.
“Tidak juga. Aku hanya ingin bertemu dengan adik-mu.” Jawabnya singkat. William pun segera pergi.
Melihat temannya―yang datang secara tiba-tiba―pergi begitu saja, Bintang mengalihkan perhatiannya pada Kevin. Berdasarkan pembicaraan mereka, William telah dua kali dikalahkan Kevin dalam permainan mereka―sesuatu yang bahkan Bintang sendiri tidak bisa lakukan. Tanyanya, “Kau berhasil mengalahkannya dua kali?” memastikan apa yang dikatakan William memang benar. Kevin hanya mengangguk kecil, tidak begitu peduli. “He-eh ...” Bintang pun beralih memujinya, “Mungkin William ada benarnya; kau bisa menjadi juara turnamen catur dengan mudah. Walaupun seperti itu, dia sendiri sering mengikuti turnamen catur tingkat nasional. Tidak banyak yang bisa mengalahkannya―aku saja belum pernah bisa mengalahkan William.”
Anehnya kali ini Kevin menyahut, “Tidak juga. Aku mengenal seseorang yang lebih hebat darinya.”
“Ah ... orang yang lebih hebat dari William, ‘kah?” Setelah membeo perkataannya, Bintang menatap langit-langit, memandang ke kejauhan seolah-olah sedang berpikir keras. Jika ada orang yang lebih hebat dari William, apakah orang itu juga semenyebalkan dirinya? “Aku jadi penasaran pada orang seperti itu ....” Ujarnya, tanpa sadar mengatakannya dengan keras.
“Kau tidak bisa menemuinya.” Kata Kevin. Sorot mata yang biasanya menatap secara monoton, kini terlihat serius. “Ayahku sudah meninggal setahun yang lalu.”
Tidak dapat membalasnya, Bintang hanya bungkam.
.-.-.-.
Saat William duduk sendirian di atas ranjangnya, tiba-tiba anak itu muncul; tanpa suara menyelinap masuk melewati pintu kamarnya. Iris gelapnya mendelik ke arahnya, menghantarkan sensasi kejut yang mengalir di sekujur tulang punggungnya. Dari gaun rumah sakit dan selang infus yang masih tertanam di lengan kanannya, William tahu dia pun seorang pasien sepertinya.
William bertanya, “Siapa kau?” Sedangkan anak itu terdiam.
Sorot matanya yang masih memandang dengan dingin tidak sekalipun meninggalkannya. Kedipannya lambat, membuat William gugup menantinya. “Bintang,” sahutnya kemudian, setelah lama berdiam―bungkam.
“Ah, uhm ....” William hanya mengangguk, tidak dapat membalasnya. Lidahnya menjadi kelu, tenggorokannya terasa kering. Andai saja pertanyaannya itu dikembalikan lagi padanya, pembicaraan mereka mungkin tidak berhenti begitu saja.
William memperhatikan anak yang terlihat sebayanya itu dengan seksama. Dia terlihat lebih pendek dari William, dengan rambut hitam acak-acakan, dan iris mata gelap yang besar. Wajahnya agak pucat―mungkin karena penyakitnya―ada sepotong perban dan plester yang tertempel tepat di bawah tulang selangka kirinya. Dia membawa kantong cairan infus yang terhubung langsung dengan lengannya melalui selang plastik; kantong yang nyaris terkuras habis isinya itu digantung pada tiang beroda, memudahkannya untuk membawanya ke manapun dia pergi.
Anak bernama Bintang itu mendekatinya, menatap intens pada buku yang tengah dibacanya. Lama sekali mereka terdiam, tiba-tiba dia beralih menatap matanya secara langsung. “Kau membaca itu?” tanyanya, menunjuk buku di tangan William dengan dagunya.
William memandang buku yang terbuka lebar di pangkuannya, secara refleks mengikuti arah yang ditunjuk Bintang. “Ah! Ya―aku sedang membacanya.” Jawabnya, memperlihatkan sampul tebal yang terbuat dari kulit pada Bintang. “Buku ini sebenarnya punya kakakku, tapi dia meminjamkannya padaku sebelum berangkat ke Rusia. Kakakku, Nathan, sedang kuliah di sana. Dan ....” Bintang tidak mendengarkannya, tanpa bersuara mendudukkan diri di kursi tepat di samping ranjang William. William yang berbicara dengan antusias perlahan kehabisan kata-kata, bungkam melihat lawan bicaranya mengabaikannya.
Namun ketika Bintang sudah duduk di atas kursi, tiba-tiba dia kembali berkata, “Pada akhirnya Akaki mati dan menjadi hantu,” sungguh mengejutkan William.