Lebih dari apapun, aku membenci bunga matahari.
Dengan kepala bunga yang begitu besar dan mahkotanya yang kuning menyala, tanaman itu tumbuh menjulang, melebihi tinggi tubuhku. Di bawah terik matahari yang bersinar di atas langit, tangkainya bergoyang mengikuti irama angin, bayangannya menari-nari dalam suatu simfoni yang tak kumengerti. Satu-dua rumpun mungkin tidak akan menjadi masalah, namun bila berdiri di tengah sebuah ladang yang penuh ditumbuhinya, siapapun pasti akan merasa terintimidasi―termasuk diriku.
Aku tidak begitu ingat mengapa aku bisa berada di sana, di tengah ladang bunga matahari. Yang pasti kuingat adalah aku sedang mengejar seseorang. Di tengah kumpulan tanaman yang tinggi menjulang, tangan-tangan kecilku hanya mampu menyentuh pangkal batangnya saja, tak mampu meraih lebih jauh dari sempitnya pandanganku. Seakan-akan tak ada habisnya, tanaman itu terus berada di depan mataku, menghalangiku dengan rapat walau aku terus-menerus menepisnya. Aku tidak tahu siapa yang sedang kukejar, aku pun tidak tahu mengapa aku harus mengejarnya. Namun di kepalaku saat itu hanyalah orang itu yang dapat kupikirkan, entah siapa dia karena aku sudah lama melupakannya.
Di tengah kebingungan dan keputus-asaan yang mulai melandaku, kutemukan sesosok wanita. Wajahnya sudah tak lagi kuingat, namun aku tahu sosoknya begitu familier. Entah mengapa wanita itu terlihat sangat bahagia; senyumnya merekah lebih indah dari bunga matahari yang mekar sempurna. Wanita itu menyebut sebuah nama, entah nama siapa yang dipanggilnya. Melihatnya, aku pun hanya dapat terdiam dan menangis―aku menangis melihat senyumnya.
.-.-.-.
Bagian IV: Bunga Matahari
.-.-.-.
“Ini ...?”
Bintang menoleh ke arah Kevin yang berdiri terdiam dengan tangan yang terulur. “Ah, Arya dan Daniel memberikannya padaku,” katanya, menjawab pertanyaan Kevin yang sebenarnya belum sempat ditanyakan. Diambilnya sebungkus benih kecil dari tangan Kevin, memperhatikan kulit benih dengan pola garis-garis hitam yang ada di dalam kemasannya. “Mereka bilang rumahku terlihat sangat membosankan tanpa bunga yang bermekaran. Padahal halaman depan rumahku sudah kupenuhi dengan tanaman.”
Kevin melempar pandangannya pada teras yang dimaksud Bintang. “Kau hanya memiliki kaktus ...” komentarnya. Memang benar Bintang memiliki pot-pot tanaman yang diletakkan dengan rapi, menghiasi teras rumahnya, namun yang ditanamnya hanya berbagai jenis kaktus.
“Kaktus sangat hebat, kau tahu?” Dengan cepat Bintang berkilah, tak ingin disalahkan. “Mereka tidak memerlukan banyak air, mereka juga tidak memerlukan tanah yang subur, dan lagi tidak rumit untuk merawatnya. Untuk orang yang tidak punya banyak waktu sepertiku, kaktus adalah pilihan yang sangat tepat. Lagipula kaktus juga memiliki bunga yang cukup bagus saat sedang mekar.” Ocehan Bintang tak sepenuhnya diacuhkan Kevin. Iris kelabu bocah sebelas tahun itu kembali terpaku pada benih-benih bunga yang ada di tangannya. Bintang bertanya, “Kau mau mencoba menanamnya?” dan Kevin hanya memandanginya. Dia sendiri terlihat ragu untuk menjawabnya.
“... kau tidak punya waktu untuk merawatnya, bukan?”
“Tidak masalah,” kata Bintang, “Selama kau tinggal di sini, kau bisa merawatnya untukku.”
Kevin tidak membalasnya.
.-.-.-.
Menjelang petang, Arya muncul di depan pintunya dengan senyum khasnya. “Hei, Bintang!” Sapanya, sembari mengangkat sebungkus kantong plastik penuh dengan makanan ringan. “Aku datang untuk bermain dengan adikmu,” katanya. Arya menyerahkan kantong plastik itu pada Bintang, langsung melangkah masuk melewatinya, berjalan menghampiri Kevin yang tengah mengiris bawang.
“Kevin~! Ayo main~!” ajaknya dengan riang, layaknya anak kecil yang mengajak temannya bermain bersama. Direbutnya pisau di tangan anak itu, kemudian dengan cepat menggiring Kevin ke ruang tengah, dan mendudukkannya di sofa. Dia pun mengambil laptopnya dari dalam tasnya.
Saat Arya tengah sibuk mengatur posisi laptopnya di meja, Bintang menyela, “Jangan terlalu sering mengajaknya bermain. Nanti dia kecanduan game sepertimu,” menegurnya layaknya seorang ibu pada anaknya.
“Tidak apa-apa, bukan? Aku tidak ingin Kevin menjadi orang yang tidak menyenangkan dan tidak dapat menikmati hidupnya; seperti seseorang.” Arya mendelik ke arahnya, jelas-jelas tengah menyinggungnya.
Bintang menggerutu, “Aku hanya tidak punya banyak waktu sepertimu.”
“Valeri akan memarahimu jika kau tidak berhenti kerja terus-menerus seperti itu, kau tahu?” Ujar Arya, setengah mengancam, setengah memprotes.
Kalimatnya itu hanya dibalas sebuah helaan napas dan “... kau juga, ‘kah?”
Tersinggung dengan sikap Bintang yang meragukannya seperti itu, Arya langsung menegurnya. “Hei! Aku ini temanmu! Tentu saja aku juga mengkhawatirkanmu!” Omelannya tetap tak digubris Bintang. Saat dia masih menggusarinya dalam hati dengan wajah masam, Arya tiba-tiba menyadari sesuatu. “Eh?! Tunggu dulu! Jangan-jangan kau tidak menganggapku sebagai temanmu!” serunya, secara dramatis memasang wajah tak percaya.
Bintang masih mengabaikannya, secara cepat mengalihkan topik. “Mana Daniel?”
“Ah ...!” Roman muka Arya langsung berubah menjadi jengkel. Untuk orang se-ekspresif dirinya, Arya sangat mudah berganti suasana hati, tidak seperti Bintang dan Kevin. “Dia pergi kencan dengan pacar barunya,” jawabnya kemudian setelah jeda yang cukup lama, disusul dengan bisikan kecil curahan rasa irinya. Daniel dan Arya sudah berteman sejak kecil―rumah keduanya bersebelahan dan mereka selalu bersama sejak lahir hingga kuliah. Keduanya juga memiliki hobi yang sama, setiap malam bermain online game dan mencoba membuat saluran YouTube. Walaupun keduanya selalu bersama layaknya lumut dan batu, Daniel jauh lebih populer daripada Arya, membuatnya mudah mendapatkan pasangan, berbanding terbalik dengan Arya yang belum pernah memiliki kekasih seumur hidupnya. “Padahal seharusnya hari ini kami mencoba game ini bersama; tapi dia lebih memilih pacarnya! Ini sama seperti William yang lebih memilih pergi dengan Valeri daripada bermain denganmu!”
Bintang mengangkat sebelah alisnya saat nama William dan Valeri diseret dalam pembicaraan mereka. “Yah, mereka ‘kan bertunangan. Lagipula ... akan sangat canggung jika aku mengatur-atur hubungan mereka ....” dalihnya. Bintang mengerti maksud Arya, namun memang terlalu jauh jika membandingkan hubungan William dan Valeri dengan Daniel dan kekasih barunya―apalagi Bintang juga tidak kenal pada pacar Daniel itu.
“Itu! Itu dia masalahnya!” Arya berseru tiba-tiba. “Dia belum pernah memperkenalkan kami! Jika saja aku mengenal pacar barunya, mungkin aku tidak akan sekesal ini!” katanya, menyimpulkannya begitu saja.
Eh?! Jadi di situ masalahmu?! batin Bintang, merasa kesimpulan Arya jauh meleset dari dugaannya. Namun Bintang tak ingin memperunyam masalah kecemburuan Arya itu dan memperdebatkannya terlalu panjang―pasti tidak akan ada habisnya. Arya sendiri pun terlihat tidak ingin membahasnya saat dia mendengus dengan keras.
“Hmph! Lupakan saja! Aku ingin memainkan game ini terlebih dahulu! Biarkan saja orang tidak setia kawan seperti itu!” Ujarnya sembari menekan tombol di laptopnya dengan cukup kasar. “Lagipula aku masih punya teman yang lebih baik dalam game dari pada Daniel! Iya, ‘kan, Kevin? Kau setuju padaku, ‘kan?” Tiba-tiba Arya mengalihkan perhatiannya pada Kevin yang sedari tadi hanya duduk diam terabaikan.
Bintang menegurnya lagi, “... jangan seret Kevin pada masalah pribadimu.”
“Hei, tidak sopan!” Protes Arya dengan nada marah, rupanya tahu Bintang sedang membicarakan masalah krisis harga dirinya. Arya pun kembali pada laptopnya, menghubungkannya pada tetikus, dan juga memasukkan sebuah cakram kompak berisi game-nya. Sembari menunggu proses instalasi, Arya dengan riang menjelaskan sedikit pada Kevin tentang game yang akan mereka dimainkan. Katanya, karena Kevin sangat cerdas, Arya dan Daniel sengaja memilih game teka-teki yang penuh dengan ilusi optik berjudul Superliminal.