Little Sun

Ei
Chapter #5

Boneka Kecil

Suatu hari, Ayah pulang sembari menggandeng tangan seorang anak. Usianya kala itu baru lima tahun, namun ekspresi suramnya tidak sesuai dengan bayanya.

Ketika ditanya siapa namanya, anak itu terdiam, seolah-olah telah lama melupakannya.

Ayah berkata bahwa dia adalah anggota baru di keluarga kami. Tentu saja semua orang terkejut, namun tidak ada yang berani angkat suara. Ayah tidak akan menerima pertanyaan, lebih-lebih sebuah kritikan. Selama anak itu tinggal bersama kami, tidak ada yang mengacuhkannya; terkecuali Ibu.

Sejak awal, Ibu menduga anak itu adalah anak dari wanita simpanan Ayah. Selama tiga puluh delapan tahun pernikahan mereka, Ibu sadar Ayah tidak pernah puas dengan dirinya―mungkin karena pernikahan mereka hanyalah hasil perjodohan tanpa cinta, sehingga Ayah merasa tidak bahagia.

Sejak kedatangan anak itu, Ibu tidak pernah menyembunyikan kebenciannya. “Diablo! Diablo!” begitulah jeritnya setiap kali siluetnya terlihat selayang pandang di sudut matanya. Terlalu sering kudengar nama itu disebut, hingga kupikir ‘Diablo’ adalah namanya. Sejak saat itu, Ibu bersikap tidak biasa―lebih sering dia mengamuk, lalu menggila; hingga Ayah memutuskan untuk mengurungnya.

Di malam yang sunyi, selalu kudengar Ibu menjerit, meraung-raung. Suaranya memekik, di antara kesedihan, amarah, dan juga kegilaan. Namun tidak ada satu pun yang menolongnya, tidak ada satu pun yang berani mengeluarkannya dari sana.

Melihat Ibu yang diperlakukan bagai binatang membuat semua orang di kediaman kami pun membenci anak itu. Semua menyalahkannya atas kegilaan yang menimpa Ibu dan sikap Ayah yang semakin tidak rasional; semuanya, termasuk diriku. Dalam tahun-tahun berikutnya diberlakukan sebuah aturan baru―tidak ada yang boleh berbicara dengannya. Aku tidak begitu mengingatnya, kurasa kakak-lah yang pertama kali mempeloporinya, kemudian diikuti oleh para pelayan dan juga diriku. Kupikir perlakuan itu terlalu keras bagi seorang anak kecil sepertinya, namun tidak pernah kulihat dirinya menangis, pun tidak pernah kulihat dirinya tersenyum. Seolah-olah anak kecil yang Ayah bawa pada hari itu hanyalah sebuah boneka semata, tidak ada kesedihan maupun perasaan dalam iris kelabu yang kosong, bagaikan telah lama mati.

.-.-.-.

Bagian V: Boneka Kecil

.-.-.-.

Pagi itu William kembali datang untuk menantang Kevin bermain shogi. Padahal baru semalam dia dikalahkan oleh Kevin dalam permainan sengit yang berlangsung nyaris dua jam lamanya. Bintang yang semalam hanya memperhatikan mereka dari samping dapat merasakan aura kompetitif yang begitu membara dari dua orang yang sama sekali tak berekspresi itu, membuatnya bergidik saat melihat William tetap tersenyum ketika menerima kekalahannya―Bintang yakin dia tak salah melihat kilat dendam yang teredam di balik senyuman manisnya.

Beruntung pagi itu hari Minggu; Arya dan Daniel sudah terlebih dahulu menyeret Kevin dalam permainan mereka. Saat William melihat Kevin sudah dimonopoli oleh keduanya, dia hanya berdiri kikuk di depan pintu―sebuah pemandangan yang tidak biasa. Mereka semua hanya saling memandang dengan wajah kebingungan, canggung untuk mengangkat suara. Sepersetengah detik kemudian, William, Arya, dan Daniel sudah bersiap untuk melontarkan argumen masing-masing.

Arya-lah yang selalu menjadi pembuka pembicaraan. “Hei, Will! Kau ‘kan sudah bermain dengan Kevin semalam! Sekarang giliran kami yang bermain!” Protesnya disertai anggukan dari Daniel.

“Eh ...? Tapi Kevin lebih suka bermain shogi daripada game daring kalian.” Balas William, senyumannya dilemparkan pada Kevin untuk mendapatkan dukungannya. Kevin hanya mengangkat kedua bahunya dengan wajah datar.

“Tidak juga,” jawabnya kemudian, tidak setuju.

“Tuh, ‘kan! Kau dengar sendiri! Kevin lebih suka bermain game bersama kami!” Arya berseru dengan bangga, entah mengapa.

Namun Kevin juga tidak sependapat dengannya. “Aku tidak dapat memahami game ini ....”

Keluhan Kevin hanya terdengar samar-samar; kecuali untuk William yang mendengar sangat jelas di telinganya. “Ho-oh ... dia bilang dia tidak bisa memahami game kalian.” Katanya, secara sengaja memprovokasi Arya dan Daniel. Sebelum sempat mereka kembali saling melempar argumen, Bintang menyarankan mereka bermain bersama. Bintang yang sedari tadi diam memperhatikan akhirnya tidak sabar melihat teman-temannya yang bertingkah lebih kekanak-kanakan dibandingkan Kevin.

Pilihan mereka jatuh pada permainan kartu Uno setelah melewati proses perdebatan panjang. Akhirnya mereka duduk melingkar di lantai―Bintang menggelar tikar sebelum mereka duduk. Daniel menawarkan diri untuk membagikan kartu, namun mereka sepakat giliran dimulai dari Kevin terlebih dahulu. Setelah mendapat penjelasan singkat dari Arya dan Daniel tentang peraturannya, permainan pun dimulai. Tidak banyak pembicaraan di awal permainan, mereka fokus pada kartu masing-masing. Satu per satu kartu mulai lepas dari tangan mereka, tertumpuk satu sama lain di tengah lingkaran sesuai giliran, terkadang satu atau dua dari mereka harus menambah kartu di tangannya dari tumpukan lain yang sudah disediakan.

“Hei, Bintang,” Arya tiba-tiba memanggilnya setelah permainan sudah berjalan beberapa menit, “kau tidak merasa tanaman di rumahmu bertambah semakin banyak?” Tanyanya, sembari melirik pada tanaman dalam pot yang semakin banyak memenuhi sudut ruang tengah.

Bintang menjawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari kartunya. “Valeri yang membawanya.”

“He-eh .... Kau sangat penurut padanya ....”

“Mau bagaimana lagi? Rumah ini masih milik Valeri.”

“Eh?! Bukannya dia memberikan rumah ini padamu?!”

Yang menjawabnya pertanyaan itu adalah William. “Bintang tidak ingin berhutang budi padanya, jadi dia ingin membayarnya dengan uangnya sendiri.” Kata William, menyeletuk, kartu di tangannya sudah habis sedari tadi. “Walaupun aku tidak yakin butuh berapa tahun untuknya melunasi itu semua ....”

“Uwah ...! Seharusnya kauterima saja―ah! Daniel kau lupa bilang uno!”

“Cih! Seharusnya kau tidak ingat.” Gerutu Daniel seraya mengambil dua buah kartu dari tumpukan kartu yang tersedia.

“Aku hanya tidak ingin merepotkannya ...” Bintang meletakkan satu dari dua kartunya yang tersisa. “Uno.”

“He-he-he-he!” Tawa Arya terdengar aneh―dia mencoba meniru tawa penjahat dalam film. Dengan seringaian penuh percaya diri, Arya memilih salah satu kartu di tangannya. “Mungkin kau harus berpikir ulang dan tidak menyia-nyiakan kesempatan seperti itu! Reverse!” ujarnya sembari meletakkan kartu reverse berwarna kuning.

Bintang meletakkan kartu terakhirnya―tiga kuning. “Aku selesai.”

“Wahaha!” William hanya tertawa sebagai penonton.

“Hoo-i!” Daniel meletakkan tak hanya satu kartu, melainkan seluruh kartunya yang sama-sama memiliki angka tiga sekaligus.

Melihat strateginya berbalik menyerang dirinya sendiri, Arya menjadi panik. Kini hanya dirinya dan Kevin yang tersisa untuk melanjutkan permainan. “Oi, oi, oi! Daniel, kau kejam sekali mengeluarkan warna biru yang tidak dimiliki Kevin!” protes Arya setelah menyadari kartu terakhir yang diletakkan Daniel adalah kartu tiga biru. Entah mengapa dia ingat betul Kevin selalu melewatkan gilirannya saat kartu biru keluar. “Tidak apa-apa, Kevin! Kau masih bisa mengalahkan mereka di permainan berikutnya!” Katanya, mencoba untuk menenangkan Kevin, namun secara tidak langsung juga membongkar bahwa dia meyakini Kevin akan kalah darinya―padahal dia masih memiliki tiga kartu dibandingkan Kevin yang hanya memiliki dua kartu tersisa.

Lihat selengkapnya