Little Sun

Ei
Chapter #6

Momen Sunyi

―Madrid, enam tahun yang lalu.

Entah bagaimana aku dapat bertemu dengannya kembali.

Gadis kecil yang belum genap setahun itu, kini telah tumbuh menjadi seorang wanita yang begitu memesona. Wajahnya cantik namun dingin membeku, dengan tatapan tajam dari iris keabu-abuannya yang begitu menusuk tepat pada jiwa. Rambutnya yang hitam bagai kegelapan malam terurai begitu anggun, melengkapi lekuk tubuhnya yang indah. Kulitnya pucat tanpa cacat, nyaris terlihat transparan, menyebabkan pipi dan bibirnya terlihat begitu merah merekah. Mungkin dia tak dapat mengingatku, namun aku sangat mengenalinya. Begitu mirip parasnya dengan wanita yang dulu kucintai―bagaimana aku dapat melupakannya begitu saja?

“Heh ... jadi Anda mengenali ibuku,” katanya, tidak ada rasa ketertarikan dalam nada suaranya. Roman mukanya tidak pula menunjukkan ekspresi yang berarti. Dia menepis seluruh pembicaraan tentang keluarganya begitu saja, pergi entah ke mana dengan pria yang selalu mengerubunginya.

Setiap hari kulihat dia bersama pria yang berbeda dari hari sebelumnya. Entah sejak kapan dirinya seperti itu, aku tidak mampu menanyakannya. Mungkin akibat tiadanya keluarga yang mampu meyokongnya, dia menjadi liar tidak terkendali. Berkali-kali dia harus berurusan dengan polisi, hingga aku terpaksa datang untuk melepaskannya dari jerat hukum. Walaupun begitu dia tetap melakukan apapun sesuka hatinya, seolah-olah tidak ada penyesalan sama sekali darinya.

Malam itu dia kembali secara tiba-tiba. Dalam ingatan yang samar, adalah kesalahanku tidur dengannya―aku tergoda oleh tangis bisunya. Begitu keras kusebut nama ibunya, hasrat yang lebh dari tiga puluh tahun kupendam kulampiaskan begitu saja padanya. Sama sepertiku, tidak ada yang dilihatnya dariku, seorang pria tua yang hampir berkepala enam―mungkin yang dilihatnya hanyalah pelampiasan semata, mungkin juga karena dendamnya. Sejak malam penuh peyesalan itu, aku kembali kehilangannya―dia pergi tanpa jejak entah ke mana.

Lima tahun kemudian kudengar kabar bahwa dia telah meninggal di Firenze akibat serangan jantung. Usianya begitu muda, masih dua puluh enam tahun ketika dirinya meninggal secara mendadak. Segala darinya adalah sebuah kesalahan―sejak awal, bahkan mungkin jauh sebelum dirinya dilahirkan, eksistensinya adalah sebuah kesalahan. Kupikir hidupnya pasti dipenuhi oleh penyesalan sehingga apa yang dapat ditinggalkannya hanyalah kutukan untuk dunia ini. Mungkin dia juga meninggalkan satu-dua kutukan untukku, dan mungkin saja dia masih menaruh dendam padaku, bahkan hingga saat ini. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana saat kematiannya dipenuhi runtukan, penyesalan, dan rasa kesepian.

Beberapa waktu kemudian aku mengetahui bahwa dia pun meninggalkan sebuah harapan kecil yang kini begitu rapuh dan redup, nyaris mati mengikuti jejaknya. Sama seperti dirinya, aku dapat mengenalinya dalam sosok anak laki-laki itu. Rambutnya yang hitam legam, kulitnya yang pucat, serta irisnya yang keabu-abuan nan dingin membeku. Selayang pandang anak tu terlihat bagaikan sebuah boneka kecil tanpa jiwa, namun bila diperhatikan seksama, sorot matanya hanya menampilkan kesedihan dan jurang kekosongan tanpa ujung. Ada lubang yang begitu besar dalam dirinya sehingga anak itu begitu hampa, begitu rapuh, nyaris tak bernyawa.

Seakan-akan telah putus asa, aku berusaha untuk tidak mengulang kesalahan itu lagi. Kubawa anak itu pulang bersamaku, mengangkatnya setara dengan anak-anak kandungku, membesarkannya dengan pendidikan terbaik, dan menjauhkannya dari dunia yang hanya dapat menyakitinya. Kupikir dengan begitu dia akan memaafkanku, baik dirinya maupun ibunya yang telah lama mati. Namun tentu saja, dunia yang telah dikutuknya ini lebih kejam dari apapun. Apa yang kuharapkan tidaklah sama dengan kenyataan yang kuhadapi. Tanpa kusadari, anak itu pun hancur di tanganku sendiri―dan aku mengulangi kesalahanku lagi dan lagi.

.-.-.-.

Bagian VI: Momen Sunyi

.-.-.-.

Tidak seperti biasanya, hari itu begitu kelam. Bukan hanya awan mendung yang bergerombol, menggantung tinggi di langit dan menutupi matahari, tetapi juga karena Valeri membawa seorang tamu. Bintang adalah satu-satunya orang yang tidak mengenalnya―Kevin dan William jelas mengenalnya melihat keterkejutan mereka saat Valeri mempersilakan tamunya masuk. Namun satu hal yang pasti bagi Bintang, kedatangan orang itu bukanlah untuk mengubah hari yang suram.

“Hei, sudah lama kita tidak bertemu ....” Kata orang itu dengan senyum dipaksakan. “Kau benar-benar sudah tumbuh besar.” Tamu yang berdiri dengan kikuk di samping Valeri itu terlihat cukup muda―mungkin tidak lebih tua tiga-empat tahun dari Bintang sendiri. Dari wajahnya, sekilas Bintang dapat melihat kesamaan dengan rupa Valeri, sehingga dia pun menyadari apa yang tengah terjadi di hadapannya. Sebelum sempat William memberi kode untuknya pergi dari ruang tengah, Bintang sudah menarik diri ke arah dapur, duduk di salah satu kursi dengan kedua tangan yang terlipat, memberikan tamunya dan Kevin sedikit ruang privasi untuk berbicara empat mata. William dan Valeri pun merunut di belakangnya namun keduanya memilih untuk berdiri daripada duduk sepertinya.

Sedangkan dua orang yang ditinggal di ruang tengah hanya berdiri saling memandang, tidak satu pun dari mereka yang berani mengalihkan perhatian. Akhirnya pemuda itu membuka suara―Stefan berdeham untuk menghilangkan kecanggungan. “Kau mungkin bertanya-tanya, mengapa setelah sekian tahun lamanya aku baru berbicara padamu sekarang. Aku sendiri tidak tahu―aku mungkin hanya melakukannya sesuai egoku. Ah! Uhm ...” Perkataannya terpotong tepat di tengah, tidak dilanjutkannya walau berapapun detik telah berlalu.

Kevin bergeming, ekspresinya tidak terbaca. Bibirnya membentuk sebuah garis lurus, dahinya tidak berkerut. Perlahan sorot matanya meredup, berubah persis seperti langit yang kelam di hari itu―di kala pertama kali dirinya bertemu Bintang. Melihatnya, Stefan pun teringat pada tujuannya berkunjung. Ia pun bersiap, menarik napas panjang, sebelum berkata, “Maafkan aku―tidak, maafkan kami atas perlakuan kami kepadamu selama ini.” Kepalanya menunduk, kedua bahunya terjatuh lemas. Suaranya tidak begitu keras, namun hening yang begitu mencekam membiarkan gema suaranya terdengar hingga ke dapur. “Aku tahu kau mungkin tidak akan pernah menerima permintaan maaf ini dan ... aku tidak bisa memaksamu untuk menerimanya. Aku yakin kau sangat menderita karena perlakuan kami selama ini, jadi ... sekali lagi kami minta maaf.” Katanya lagi, dari nada dan ekspresinya sudah jelas dia sangat tulus.

Sebuah desah panjang terlepas begitu saja dari bibir Kevin, mengejutkan Stefan. Tidak biasanya dia bersikap tidak sopan seperti itu―lebih sering dia diam daripada menampilkan ketidaktertarikannya secara terang-terangan. Ucapnya, “Percuma saja kau melakukan itu,” dengan nada bergetar yang meredam emosi. Tidak sekalipun sorot matanya beralih dari Stefan. Iris kelabunya yang gelap kini semakin gelap, ditutupi sebuah luapan emosi yang tak dikenalnya. “Aku sudah lama melupakannya.” Katanya lagi.

“Eh?”

Hanya itu yang dapat Stefan ucapkan. Kepalanya terangkat, kedua matanya membulat sempurna. Ekspresinya berubah menjadi kebingungan yang bercampur ketidakpercayaan. Baru kali ini Stefan menampilkan ekspresi seperti itu. “Melupakannya, katamu ...?” tanyanya, hanya membeo ucapan Kevin. Reaksinya menjadi lambat akibat keterkejutannya. “Ba, bagaimana bisa kau mengatakan itu?”

“Mengapa tidak?”

Stefan kehilangan kata-kata. Seakan-akan napasnya tercegat di tenggorokannya, Stefan membuka mulutnya namun tidak ada suara yang keluar darinya. Dia dapat mengerti jika Kevin tidak mau menerima maafnya, bahkan dia akan mengerti jika dia mengarahkan seluruh kebenciannya saat ini juga. Tetapi melupakannya ...?

“.... Ka, kau tidak bisa mengatakan itu! Kau tidak bisa ... selamanya berlari seperti itu!” serunya, panik. Lebih dari rasa tidak percayanya, lebih dari kebingungannya, dia merasa dikhianati.

Kevin diam, namun diamnya benar-benar berbeda dari biasanya. Kali ini dia benar-benar tidak peduli―dia tidak mau membahasnya lebih panjang lagi. Meski demikian Stefan masih bersikeras. Tidak dibiarkannya Kevin berbalik pergi dan kabur begitu saja. “Jika kau melupakannya, itu artinya kau juga mengatakan bahwa semua rasa bersalahku tidak ada artinya. Semua penderitaan ini tidak ada artinya. Bahkan kematian Ibu juga tidak ada artinya!”

“Lalu apa yang kauinginkan dariku?” Nada suara Kevin naik satu oktaf, terdengar jelas hingga ke telinga Bintang. Emosinya naik ke permukaan, bergema dalam suaranya. Walau begitu ekspresinya masih dingin membeku―netral, layaknya tak pernah terjadi apa-apa. Tidak sekalipun iris kelabunya memantulkan apa yang ada dalam hatinya. “Kau ingin aku meminta maaf untuk sesuatu yang bahkan tidak kulakukan?” tanyanya, secara terang-terangan menyerang Stefan.

“...!”

Stefan tak mampu menjawabnya. Dia tidak akan pernah bisa menjawabnya.

“Kau merasa bersalah karena kau memang melakukan sesuatu yang salah padaku―mendiamkanku seperti itu, menganggapku tak pernah ada. Tetapi apa yang telah kulakukan padamu? Apa kau ingin berkata bahwa keberadaaanku sendiri adalah sebuah kesalahan?” tanyanya lagi, kali ini jauh lebih tajam. Seluruh emosi yang dipendamnya akhirnya keluar ke permukaan; meletup, bagai sebuah gunung yang tak lagi sanggup menahan magma.

Lihat selengkapnya