Little Sun

Ei
Chapter #7

Awan Perak

Di hari pertama kuliah, Dosen Pembimbing Akademik kami, Pak Hilman, memanggilku dan Daniel ke ruangannya. Dalam ruangan sempit penuh dengan cendera mata dari berbagai negara yang dipajang di sana-sini, Pak Hilman duduk di salah satu dari empat kursi kecil yang mengelilingi meja bundar, di sampingnya seorang mahasiswa yang sepantaran dengan kami juga duduk menemaninya. Aku merasa pernah melihatnya sekilas; mungkin saat masa orientasi, tapi aku tidak benar-benar mengingatnya. Wajahnya yang tanpa ekspresi terlihat sangat dingin―aku belum pernah melihat seseorang yang memiliki roman muka seperti itu―namun selebihnya dia terlihat biasa saja.

Pak Hilman segera mempersilakan kami duduk di dua kursi yang kosong di seberangnya. Sayangnya kaki-kaki kursi yang kami duduki terlalu pendek sehingga Daniel harus melipat kakinya yang panjang dan tanpa sengaja membentur meja kayu yang ada di depannya. Aku dan seorang staf yang kebetulan lewat menahan tawa, Pak Hilman pun melemparkan candaan pada Daniel yang meringis kesakitan―semuanya merasa itu adalah hal yang lucu, namun tidak baginya.

Dengan tatapan yang sama dinginnya dengan ekspresinya, dia melemparkan pandangan pada dosen kami yang disertai dengan sebuah senyuman tipis; secara tidak langsung memintanya untuk memulai pembicaraan dalam diam. Tanpa banyak basa-basi, kami pun mulai memperkenalkan diri masing-masing dan mendapatkan orientasi singkat. Dari perkenalan itu aku pun tahu namanya adalah Bintang. Beruntung bukan nama yang begitu sulit―aku memiliki kelemahan dalam mengingat nama seseorang. Kami juga sekelas secara kebetulan, jadwal kami semuanya sama, jadi kupikir lebih baik mengakrabkan diri dengannya walaupun dia terlihat tidak ingin berteman dengan siapapun. Namun sebelum sempat aku berbicara dengannya setelah pertemuan kecil itu, dia sudah menyelinap pergi dan menghilang entah ke mana.

Tidak masalah, pikirku. Toh kami akan bertemu lagi di kelas besok.

Dan benar saja; keesokan harinya aku menemukannya di bagian pojok depan ruangan, duduk sendirian tanpa ada yang berani mendekatinya. Seolah-olah ada sebuah dinding tak kasat mata yang mengelilinginya, sangat sulit untuk masuk dalam jarak personalnya. Tapi tentu saja itu tidak masalah bagiku yang terlalu bebal. Kuhempaskan diriku pada kursi yang tepat bersebelahan dengannya, lalu berkata. “Kelas pagi sangat menyebalkan, bukan? Rasanya seperti kembali ke masa sekolah lagi.” Kataku, langsung berbasa-basi padanya.

Dia hanya melirik kepadaku, tatapannya skeptis. Mungkin dia tidak menyangka ada orang yang berani menyusup ke dalam batas pribadinya. Namun kemudian dia memalingkan muka, mengabaikanku begitu saja.

Ah! Jangan bilang dia sudah lupa padaku!

“Hei, kau tidak ingat padaku?! Padahal baru kemarin kita bertemu!”

“Aku tahu.”

“Lalu mengapa kau malah mengabaikanku seperti itu ...?”

Dia malah tertawa bisu, terlihat sangat menikmatinya―namun yang terpantul di matanya hanyalah kekosongan. “Aku hanya menjahilimu.” Jawabnya dengan sebuah seringaian kecil.

Ah ... kurasa aku tidak akan pernah akur dengannya ....

.-.-.-.

Bagian VII: Awan Perak

.-.-.-.

“Kevin ....”

Arya muncul di depan pintu dengan wajah lesu. Disodorkannya sebungkus kantong plastik berisi makanan kecil, langsung masuk begitu saja sebelum sempat dipersilakan. “Bintang tidak ada?” tanyanya setelah sekilas menengok dapur dan kamar Bintang. Kevin hanya mengedipkan mata sekali, seolah-olah tidak menangkap pertanyaanya. Namun Arya tidak begitu peduli dengan keberadaan sang tuan rumah―dia hanya memiliki urusan dengan Kevin.

Katanya, “Hei, Kevin? Kau mau membantuku menyelesaikan game ini? Ah, tidak―tolong bantu aku menyelesaikan game ini!” sembari menyodorkan ponselnya di depan wajah Kevin.

Kevin tidak menjawabnya, sedikit bergeser saat tangan Arya terlalu dekat dengan wajahnya, hanya melirik pada ponsel Arya yang menampilkan sebuah poster visual seorang anak kecil yang membawa alat penerangan di tengah jalanan yang gelap gulita. Judul yang tertera dalam poster tersebut adalah Yomawari: Night Alone, sehingga sudah dapat ditebak jenis permainan apa yang ingin dimainkan Arya. Karena dia sendiri juga tidak memiliki pekerjaan lain, dia pun menerima permintaan Arya.

Dengan cepat Arya mengeluarkan laptopnya, mempersiapkan segala hal yang diperlukannya di atas meja. Sembari menyalakan laptopnya, Arya berkata, “Terima kasih kaumau menemaniku bermain game ini, Kevin! Seseorang di saluran Youtube kami menyarankan game ini, tapi aku tidak terlalu suka pada hal yang menakutkan ataupun game horor.” Dia mengetikkan sesuatu di laptopnya. “Si sialan Daniel lagi-lagi lebih memilih jalan dengan pacarnya daripada bermain game ini denganku.” Gerutunya secara tiba-tiba. Tentu saja selalu seperti itu―Arya selalu berlari mencari Kevin saat Daniel tidak mau bermain dengannya. Bintang tidak menyukai game dan tidak memiliki banyak waktu untuk bermain, sedangkan William selalu menjadikan apapun sebuah persaingan bahkan dalam game yang tidak memiliki musuh sekalipun; hanya Kevin satu-satunya orang yang cukup menyenangkan untuk diajak bermain bersama, terlebih dia sangat cerdas dan pintar dalam memecahkan teka-teki. “Siapa nama pacarnya? Vanessa?”

“Esther.” Timpal Kevin. Sudah terlalu sering dia mendengar Arya salah menyebut nama itu, sampai-sampai dia mengingat nama yang benar.

“Ah! Terserah siapalah itu!”

Setelah berhasil masuk dalam aplikasi, keduanya duduk berdampingan dalam diam. Pembukaan game dimulai dengan seorang gadis kecil berpita merah dan anjingnya, yang bernama Poro, berdiri di depan sebuah terowongan. Latar belakang yang ditampilkan memang sedikit terasa menegangkan, namun visual gadis kecil dalam game tersebut sangatlah imut. Arya pun mempertanyakan mengapa game tersebut dapat tergolong horor walau visualnya sangatlah menggemaskan. Arya mengikuti tutorial game tersebut hingga dia mendapatkan sebuah batu. “Eh ...? Ini benar game horor?” tanya Arya, terus menerus mempertanyakan game yang belum tiga menit dimainkannya. Saat perintah dari tutorial berubah, Arya pun mengikutinya saja, menekan tombol yang diminta. Gadis kecil itu pun melempar batu yang dipegangnya, diikuti anjingnya yang melompat ke jalan untuk mengambil batu tersebut, namun tiba-tiba truk menyambarnya entah dari mana.

“Ah!” Hanya itu yang dapat keluar dari mulut Arya. Dia terlalu terkejut hingga tercegat melihat potongan adegan yang baru saja terjadi; begitupula dengan Kevin yang terdiam di sampingnya dengan mata terbuka lebar. Keduanya tidak menyangka hal tragis terjadi begitu awal di game tersebut, terlebih di bagian yang paling tidak terduga. “Hahaha!” Arya tertawa sumbing, “be, belum apa-apa sudah ada tragedi seperti ini!” komentarnya, seharusnya mencairkan suasana, namun gagal karena suaranya bergetar ketakutan. Kevin hanya mendelik padanya, sudah kembali pada ekspresi datarnya seperti biasa, sehingga Arya melanjutkan permainan itu.

Gadis kecil dalam game tersebut terbangun sembari memegang tali tuntun dan kalung anjing yang putus. Ia terlalu terguncang hingga tidak mengingat apa yang telah terjadi dan mengira anjingnya telah melepaskan diri dan kabur darinya, walaupun jejak darah masih terlihat jelas berceceran di jalan. Mereka pun melihat bagaimana gadis kecil itu pulang ke rumahnya dengan wajah sedih bercampur bingung. Di depan rumah gadis kecil itu, kakak perempuannya sudah menunggunya. Mendengar tentang anjing mereka yang menghilang, kakak perempuan gadis kecil itu pun pergi untuk mencarinya, namun dia tak kembali hingga hari berubah menjadi gelap. Mereka pun diminta untuk mencari kakak perempuan gadis kecil itu dan petualangan malam hari nan panjang pun dimulai.

.-.-.-.

Bintang tidak sengaja menabrak seseorang saat berbelok melewati koridor.

“Ah! Maaf―!” ucapnya sesaat setelah berhasil menyeimbangkan tubuhnya yang sedikit terpental ke belakang. Dia terlalu terburu-buru sehingga tidak berhati-hati saat berbelok. Ketika dia mengangkat wajahnya untuk melihat orang yang ditabraknya, senyuman William adalah hal pertama yang menyapanya. “Kau, ‘kah ...” desahnya dengan nada kecewa. Entah untuk apa William berada di sana, namun Bintang yakin dia sedang merencakan sesuatu.

William masih berdiri dengan tegap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Senyumannya diperlebar saat melihat reaksi Bintang. “Kau terlihat sangat terburu-buru.” Komentarnya dengan ringan, kedengarannya hanya berbasa-basi, namun sorot matanya mengintrogasi. Sepertinya dia tidak akan pergi sampai Bintang menjawabnya.

“Aku terlambat untuk memberikan tutor; jadi minggirlah!” Bintang mencoba menepis tubuh William, namun pemuda itu tidak bergeming dari hadapannya. Sebaliknya, William malah membuntutinya.

“Boleh aku ikut denganmu?” tanyanya, padahal dia sudah berjalan mengekor di belakangnya.

“Tidak, tidak. Jangan.” Jawab Bintang, terdengar panik. Jika William sampai mengikutinya, murid-muridnya tidak akan bisa fokus selama tutor berlangsung. “Kau pasti akan bosan di sana.” Katanya lagi, mencoba beralasan. Bintang mempercepat langkahnya, berjalan setengah berlari, namun William tetap dapat mengejarnya. Perbedaan panjang kaki mereka rupanya berpengaruh besar pada jarak langkah mereka, membuat William dapat mengimbangi langkah Bintang tanpa perlu mengubah kecepatannya.

“Aku ingin melihatmu mengajar.”

“Sudah kubilang jangan mengikutiku!”

“Aku hanya ingin memastikan kau bisa sampai ke ruangannya dengan selamat.”

“Huh―?” Bintang berbalik, hendak menatapnya. Namun tubuhnya tiba-tiba limbung, nyaris saja jatuh ke tanah jika saja William tidak segera menangkap lengannya. Dengan satu tangan, William menahannya untuk tetap berdiri, wajahnya terlihat sangat tenang seolah-olah dia sudah menduganya.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya, membiarkan Bintang bertopang padanya untuk sesaat. Ketika Bintang tak mampu menjawabnya, dia menggiring Bintang untuk duduk di bangku terdekat. Bintang menghela napas panjang, duduk membungkuk terlihat seperti bergelung pada dirinya sendiri, tangannya menutupi wajahnya. William berlutut di hadapannya, menyejajarkan tinggi mereka dan memeriksa keadaannya. Wajah Bintang telihat semakin pucat dari balik sela-sela jarinya, bulir-bulir keringat dingin terbentuk mulai membasahi dahinya. William pun bangkit berdiri, menghalangi pandangan yang dilemparkan orang-orang penasaran yang berlalu lalang. Mereka hanya bergeming seperti itu, hingga Bintang dapat mengangkat wajahnya dan bersandar pada bangku yang didudukinya. “Berikan ponselmu. Aku akan menghubungi temanmu yang dapat menggantikanmu.” William berkata sebelum sempat Bintang menyatakan kekhawatirannya.

“... ah ...” Bintang hanya menjawabnya dengan lemas. Tanganya meraih tas selempang yang dibawanya, mencari-cari ponselnya di dalam saku tasnya. “Hubungi Daniel saja ... nanti dia akan mencarikan orang lain yang bisa menggantikanku.” Perintahnya, membiarkan William mengetikkan pesan singkat pada Daniel. Setelah William mengirimkan pesan singkat tersebut, dia kembali mengalihkan pandangan pada Bintang yang masih duduk lemas di hadapannya tanpa mengembalikan ponselnya.

Lihat selengkapnya