Tim penelitianku memilih melakukan donasi buku di tiga panti asuhan saat kami berada di Indonesia. Aku tidak mengerti mengapa mereka memilih demikian, namun aku tidak dapat memprotes. Aku sendiri menyukai buku―jadi kupikir itu adalah ide yang cukup bagus. Tim kami yang terdiri dari 10 orang dibagi menjadi tiga kelompok untuk menyalurkan donasi di tiap panti asuhan. Aku pergi bersama dua rekanku, Benjamin dan Ludwig. Kami membeli beberapa buku bacaan anak dan juga buku bergambar, namun karena kesalahanku, buku yang kami kumpulkan terlalu banyak.
Ben memprotesku melihat banyaknya buku yang kubawa. “Kau tidak menghitungnya dulu, huh, Felix?” tanyanya dengan nada ketus. Ludwig juga terlihat sangat terkejut melihat banyaknya buku yang kubawa, namun dia tidak berbicara apa-apa.
Kataku, “Tidak apa-apa, bukan? Mereka jadi punya lebih banyak pilihan buku yang dapat mereka baca,” mengelak sekaligus membungkam keduanya. Kami pun pergi sekitar pukul sembilan pagi menggunakan jasa taksi. Setelah menemui kepala yayasan dan pengurus panti asuhan, barulah kami dipersilakan bertemu dengan anak-anak manis nan imut yang penuh dengan energi dan rasa penasaran. Selama pembagian buku, tidak ada satu pun dari mereka yang berebutan, bahkan mereka akan saling berbagi jika ada buku yang mereka sama-sama sukai―menunjukkan bagaimana para pengasuh panti asuhan mampu mendidik mereka dengan baik.
Ketika sedang sibuk membagikan buku, seorang anak berusia sekitar lima tahun berdiri terdiam di depan tumpukan buku, matanya menatap intens pada sebuah buku yang dipegangnya. Aku mendekatinya, merasa gemas melihatnya sangat berkonsentrasi seperti itu. “Sudah menemukan buku yang kausuka?” tanyaku dengan nada sehalus mungkin. Anak itu mengangkat wajahnya, balik menatapku dengan iris gelapnya yang memantulkan keingin-tahuan. Dia tidak mengangguk, tidak pula menggeleng, masih memandangku tepat di mata. Aku pun melirik pada buku yang dipegangnya, namun aku malah terkejut dengan apa yang ada di tangannya.
Buku yang seharusnya tidak terlalu tebal itu terlihat sangat besar di tangan mungilnya, sampulnya yang menampilkan seekor kucing yang sedang tertidur pastilah menjadi alasan utama dia tertarik padanya. Sayangnya buku tersebut sudah berpemilik―yaitu aku. Sepertinya aku telah melakukan kesalahan dan tak sengaja memasukkan bukuku ke dalam kumpulan buku yang akan dibagikan hari ini.
Aku mencoba sehalus mungkin untuk memintanya menggembalikan buku itu padaku. Kataku, “Oh, maaf. Buku itu adalah milikku―aku tidak sengaja mencampurnya dengan buku-buku yang lain. Jadi bisa kaukembalikan padaku?” sembari mengulurkan tanganku padanya. Namun anak itu menolak, menyembunyikan buku itu di balik punggungnya. “Buku itu isinya hanya tulisan semua, apalagi itu ditulis dalam bahasa Inggris. Kau tidak akan mengerti dengan apa yang tertulis di sana.” Ujarku, sembari menunjukkan buku bergambar yang cocok dengan usianya.
“Lihat buku ini! Lebih banyak gambarnya dan penuh warna! Lihat! Ada beruang dan singa!” Kutunjukkan beberapa karakter yang ada di buku yang kupegang, namun anak itu bersikeras menginginkan buku yang saat ini dipegangnya.
Aku pun kebingungan untuk menghadapinya sehingga salah satu pengasuh panti asuhan datang untuk membantuku. Sayangnya anak itu sangat keras kepala dan menolak untuk melepaskannya; dia malah menangis saat pengasuhnya mencoba merebut bukunya dengan paksa. Aku pun tidak sanggup melihatnya―memilih untuk menengahi keduanya.
“Aku tidak masalah untuk memberikan buku itu. Tapi kau tahu? Buku itu akan merasa sedih jika tidak ada yang membacanya. Untuk saat ini kau tidak akan bisa memahaminya karena buku itu ditulis dalam bahasa Inggris―jadi dia pasti akan merasa sangat sedih ....” kataku pada anak itu, masih berharap dia mau menyerah. Namun anak itu malah membalas perkataanku.
“Kalau begitu aku akan belajar bahasa Inggris sekarang.” Ujarnya, matanya dihidupkan oleh determinasi yang sangat besar. Aku belum pernah mendengar seseorang yang sangat bersungguh-sungguh sepertinya.
Walau terkagum dengan determinasinya, aku melihat sebuah celah. "Kau bahkan belum bisa membaca, bukan?"
"Aku akan belajar membaca juga!"
Aku tertawa geli mendengarnya. “Kalau begitu, begini saja: aku akan mengajarimu membaca dan juga berbahasa Inggris selama ada di sini―yah, itu kurang lebih sekitar tiga bulan. Jika kau dapat menguasainya sebelum aku kembali ke Jerman, aku akan memberikan buku itu padamu.” Perkataanku itu disambut tatapan tak percaya dari orang dewasa yang berada di ruangan tersebut. Ben bahkan menyikutku dan membisikkan betapa kekanak-kanakannya diriku setelah mendengarnya. Namun aku bergeming dari penawaranku; begitu pula dengan anak itu. Dia menerimanya tanpa ragu, matanya yang begitu hidup dengan determinasi terasa sangat panas walaupun ekspresi di wajahnya begitu dingin.
Sepulangnya dari panti asuhan itu, Ben langsung memarahiku habis-habisan. “Kau benar-benar kekanak-kanakan! Tidak bisakah kau mengalah padanya?!” serunya, benar-benar tak percaya pada sikapku tadi, “padahal kau hanya perlu membiarkannya melihat isinya! Toh, jika dia tahu isinya hanya tulisan dalam bahasa asing, dia akan segera bosan dan tidak menginginkannya lagi!”
“Anak itu tidak akan melepaskannya semudah itu, Ben.” ucapku, menyangkal perkataannya. Awalnya aku juga berpikir demikian―namun melihat betapa besar determinasi yang terpancar dari matanya, aku pun sadar bahwa anak itu tidak akan melepaskannya begitu saja. Ben akhirnya menyerah berdebat denganku, sudah tidak peduli dengan perilakuku yang tidak masuk akal. “Lagipula tidakkah kau penasaran sejauh mana kemauannya dapat membawanya?” tanyaku dengan sebuah senyum usil.
Ben malah semakin memarahiku karenanya.
.-.-.-.
Bagian VIII: Pelangi Merah
.-.-.-.
“Kau yakin dengan itu?”
William menghentikan langkahnya dengan pertanyaan singkat. Bintang berbalik memandangnya, sebuah senyum simpul terpoles di wajahnya. “Tidak masalah, bukan?” katanya, balik bertanya. Matanya menatap langsung pada William, namun sorot matanya kosong. “Yang kami lakukan saat ini hanyalah saling menjilat luka―namun dengan sebuah keluarga, dia mungkin akan menjadi lebih baik.” Tambahnya kemudian.
William menghela napas, tidak habis pikir Bintang mampu tersenyum seperti itu. “Tidakkah dia akan sangat kecewa?”
“Hm ... mungkin saja ...” jawab Bintang, tidak yakin pada jawabannya sendiri. “Tapi kita tidak punya pilihan lain. Aku tidak ingin dia menjadi rusak seperti diriku.”
“Tidak ada yang salah darimu, Bintang.”
“Ya―karena aku masih memilikimu dan Valeri, serta Arya, dan juga Daniel.” Bintang memperlebar senyumannya yang berubah menjadi getir. William merasa tidak nyaman melihatnya seperti itu―melukai dirinya sendiri. “Tapi aku tidak bisa melewatkan kesempatan ini untuknya ....” kata Bintang lagi. Kali ini dia berbalik dan melanjutkan langkahnya. Ditinggalkannya William yang masih membatu di belakangnya. “... ah. Mungkin sebenarnya aku tidak ingin dia menjadi sepertinya ...” Tiba-tiba dia berkata seperti itu, nyaris terlewatkan oleh William.
“Bintang?”