Suaranya kencang ketika bertanya padaku, “Mengapa kau menangis?”
Segera aku tersentak dari lamunanku.
Sekilas, hanya sekilas, kulihat siluet payung merahnya berputar di sudut mataku.
Silir angin yang mengamuk, menggoyang liar dedaunan. Kersiknya riuh seiring dengan lambaian ranting-ranting, bayangannya menari seirama bagai tangan-tangan membuai, merayu untuk masuk dalam dekapannya. Namun begitu aku tidaklah gentar; masih berdiri terpaku tanpa gelisah.
Di antara tetes hujan yang menghantam dengan kejam, di tengah kesunyian taman tak bernyawa, dan di bawah langit gelap nan kelabu, tak dapat kurasakan lagi dinginnya air yang rebas menerpa wajahku. Tubuhku kuyup, namun dekap kehangatan terasa memenuhi hatiku. Hangat sekali rasanya dekapan itu, hingga kurasakan diriku ini perlahan menjadi kosong, perlahan terhisap ke dalam buaiannya.
Dari keriuhan titik-titik air yang berlomba menyentuh tanah, seseorang tengah berbicara padaku―dia berdiri jauh di hadapanku. Siluetnya buram tak kulihat, hanya saja payung merah-menyalanya terasa familier. Samar-samar kudengar lantang suaranya mencoba menarik perhatianku, berdengung bagai gumaman lembut, lantunan pengantar tidur.
“Mengapa kau turut menangis? Apakah tidak cukup langit ini saja yang bersedih?”
Aku mendengus.
Entah dia tengah menjahiliku atau serius bertanya padaku, aku tetap merasa kesal karena ia mengusikku hanya untuk pertanyaan konyol itu. Hendak kuhardik dia dari hadapanku, namun dia bergeming dari pandanganku. Walaupun samar, dia tersenyum padaku―senyumannya masih sama seperti yang kuingat di hari itu.
“Aku tidak menangis,” jawabku, sembari mengusap wajahku dengan ujung manset bajuku. “Hanya saja air hujan ini masuk ke mataku ...” tambahku lagi, dengan nada setengah bercanda.
.-.-.-.
Bagian IX : Baskara
.-.-.-.
Dibandingkan dengan anak-anak lainnya, tubuhku adalah yang paling lemah. Jika aku berlari terlalu kencang, jantungku akan berdegup begitu cepat, hingga terasa sesak―menyakitkan. Ibu asuh selalu mengingatkanku untuk tidak terlalu memaksakan diri, namun kurasa kekhawatiran itu juga percuma. Daripada berlari di lapangan, aku lebih suka menghabiskan waktuku dengan membaca buku.
Dengan buku, aku dapat menggenggam dunia. Tidak peduli seberapa lemahnya diriku, aku dapat menjelajah hingga relung terdalam, terbang bebas bagaikan burung di udara, berlayar membelah lautan dengan kapal pesiar mewah, merasakan teriknya matahari di padang yang gersang, mendaki puncak tertinggi, dan pergi mencari inti bumi. Aku dapat melakukan segalanya, meski ragaku bergeming dari tempat ini, jiwaku sudah berkelana jauh, jauh sekali ke tempat yang belum kuketahui, dan aku sudah puas dengannya. Dalam perjalanan itu aku menyadari satu hal; bagaimana pun karakter utama memiliki sahabat, kawan, teman seperjalanan, pada akhirnya dia hanya sendirian. Hanya dirinya sendiri yang dapat dipercayainya, hanya dirinya sendiri yang tidak akan mengkhianatinya. Bahkan bila dirinya dapat memiliki teman sejati hingga akhir hayatnya, tetap saja yang menantinya adalah kesendirian.
Hahaha―sungguh, itu bukanlah pemikiran yang seharusnya dipikirkan bocah sepuluh tahun sepertiku.
.-.-.-.
Kakak berpayung merah menemukanku tengah asik membaca buku di bawah pohon mahoni.
Tidak ada yang tahu namanya―anak-anak panti asuhan hanya memanggilnya demikian karena dia selalu membawa payung merah ke mana pun dia pergi. Dia selalu datang ke panti asuhan untuk bermain, tak acuh pada perbedaan usia anak-anak itu hampir separuh dari bayanya. Walaupun banyak orang dewasa yang mencibir penampilan dan perilakunya, dia sama sekali tidak peduli. Bahkan ketika orang-orang merasa iba padanya, dia sama sekali tidak tersinggung.
Seakan dia sudah terbiasa pada hal itu―dia mengabaikannya.
Dia bertanya padaku apa yang tengah kubaca. Kujawab ia dengan menunjukkan sampul buku di tanganku tanpa sedikit pun mengeluarkan suara.
“Kau membaca itu?” tanyanya lagi dengan wajah terkejut bercampur tidak percaya.
Aku hanya mengangguk malas, sedangkan dia langsung tertawa pahit.
Mendengar tawanya itu membuatku menatap bingung pada sampul buku di genggamanku. Seekor kucing di sampul itu balas menatapku dengan mata besarnya. Memang apa salahnya membaca ‘I Am a Cat’ karangan Natsume Souseki? Aku bertanya pada diriku sendiri, namun tidak menemukan letak kesalahannya.
Kakak berpayung merah menghentikan tawanya dengan sebuah dehaman, lalu dia tersenyum ramah padaku. Dapat kulihat kegetiran muncul di balik senyumnya, namun aku menahan diri untuk bertanya mengapa. “Kau benar-benar hebat bisa membacanya ...” katanya kemudian, hendak memujiku. Namun bagiku, ucapannya itu terdengar seperti sebuah sindiran.
Aku mengangkat kedua bahuku. “Ini tidaklah sesulit itu, sungguh ....”
“Tidak, tidak.” Kakak berpayung merah menyela dengan tergesa-gesa. Senyuman yang terpoles di wajahnya melebar setengah jari. “Aku tidak bermaksud menyindirmu. Maksudku, novel itu terjemahan dalam bahasa Inggris, bukan? Aku saja belum tentu bisa, sedangkan kau dengan lancar membacanya. Kupikir itu sangatlah hebat mengingat perbedaan usia kita. Lagipula ... tidak banyak orang yang tahu tentang bagusnya novel klasik. Kau pasti sangatlah jenius,” ujarnya lagi, secara langsung memujiku.
Dia langsung duduk di sampingku tanpa permisi, seolah-olah aku sudah mempersilakannya terlebih dahulu. Namun ketika dia sudah duduk untuk beberapa saat, dia baru bertanya apakah aku mengizinkannya untuk duduk di sampingku.
Aku mendengus melihat kelakuannya. “Kau terdengar seperti Waverhouse di dalam buku ini,” komentarku, dan itu tepat mengenainya.
Dia tertawa karenanya. “Benarkah?” tanyanya, lalu dia bergumam sangat panjang. “Bisa kau beri tahu mengapa?”
“Kau berbicara besar, tapi tidak pernah serius dalam ucapanmu.” Aku menggumamkan jawabanku. “Tidak ada yang tahu apakah kau itu benar-benar hebat atau hanyalah penipu yang sedang menutupi kebodohannya. Tidak pula ada yang tahu kapan kau berbohong dan kapan kau benar-benar mengeluarkan segalanya dari lubuk hatimu. Semuanya hanya berputar dalam satu lingkaran penuh dan kau terus memutar-balikkan ucapanmu untuk menutupi jati dirimu.”
Tidak seperti dugaanku, Kakak berpayung merah masih mempertahankan senyumnya dan mendengarkanku dengan seksama. Dia tidak mengelak, tidak pula membenarkan ucapanku. Dia terlihat hendak berkata, “Kau mungkin benar, tapi kau juga salah,” namun belum kudengar keluhan itu darinya. Ketika hening di antara kami terasa mulai mencekik, tiba-tiba Kakak berpayung merah menghela napas panjang, lalu menggumam sembari berpikir. “Kalau kau memang berpikir seperti itu tentangku, aku tidak keberatan,” katanya pada akhirnya. Senyumnya masih saja tidak luput dari wajahnya. “Kau benar-benar mirip si karakter utama. Selalu berpikir kritis dan selalu menganggap dirimu rasional―seperti kucing itu,” katanya lagi sembari melirik pada kucing di dalam sampul buku, jelas-jelas tengah menyindirku.
Sudah kuduga dia tidak terima dengan pendapatku.
Aku mengabaikan ucapannya, namun pikiranku terlanjur terjun, menyelam untuk menangkap maksud kata-katanya. Entah mengapa ucapannya tak dapat kusingkirkan dari benakku; terus berputar-putar di kepalaku. Bisa saja kubantah ucapannya itu dengan mudah, tetapi aku ragu untuk melakukannya. Ucapannya mungkin benar, namun juga terasa salah bagiku. Seakan aku sudah termakan kata-katanya, aku mencoba untuk merasionalkan diriku.
“Tidak masalah kau menyamakanku dengan kucing itu. Bagiku lebih baik menjadi seperti itu―seperti seekor kucing yang membanggakan dirinya sendiri tanpa melakukan apa-apa selain mengecam, daripada menjadi seorang manusia bodoh dan tidak bermoral ...” ujarku kemudian setengah sadar, seolah-olah aku tengah berbicara di dalam mimpiku.
Kakak berpayung merah terdiam cukup lama dan mempertimbangkan ucapanku. Hendak kutepis ucapanku sebelumnya, menyatakan bahwa aku hanya bercanda, namun dia sudah bangkit berdiri sambil berkata, “Setiap orang―tidak, setiap makhluk hidup memiliki moral mereka masing-masing. Kau tidak dapat mengatakan apakah itu benar ataukah salah bagi mereka, karena yang mana pun itu adalah hak mereka untuk menentukannya.”
Dia memandangku dengan tatapan dan senyuman yang sedu bagaikan sinar rembulan. Tidak menyilaukan, tidak pula memberi kehangatan―senyumannya memiliki sebuah perasaan terpendam yang tidak kumengerti. “Jangan pernah berpikir kau lebih baik dari mereka ataupun mereka lebih baik darimu. Tidak masalah kau menjadi keras kepala―pada akhirnya semua orang hanya memikirkan dirinya sendiri untuk menjustifikasikan segalanya―tapi jangan pernah menjuluki orang lain dengan kriteriamu. Kau dapat menilai semua hal sesuai dengan hati dan logikamu, lalu biarkan orang lain memutuskan bagi dirinya sendiri dengan moral mereka; begitulah seharusnya dunia yang sempurna di mana kita saling menghargai dan menghormati.”
Terkesan pada ucapannya, aku hanya diam tertegun. Sungguh cara berpikir yang unik; cara pikirnya tentang utopia terdengar sangat realistis namun juga sangat mustahil untuk dicapai. Begitu polos, begitu sederhana; aku tidak menyangka ada orang dewasa yang mampu berpikir sejujur itu. Aku pun berpikir demikian―apabila semua dilihat hanya dalam ruang hitam-putih, mengapa kita tidak bisa menjadi warna merah di dalamnya? Mengapa kita tidak menjadi sesuatu yang ideal bagi kita tanpa memedulikan penilaian orang lain dan membiarkan orang lain menjadi sesuatu yang mereka inginkan tanpa menduga-duga jati diri maupun kemanusiaannya?
Jika saja dunia tidak sekompleks ini, pikiran polos dari sudut pandang anak kecil seperti itu pasti sudah menyelamatkan dunia dari peperangan dan penderitaan sejak dulu.
Kakak berpayung merah membuka payung kesayangannnya walaupun hari itu tidak turun hujan. Dia mendelik padaku sembari berpikir. “Hei, daripada kau kesepian di sini, bagaimana jika kau ikut bersama kami ke taman bermain?” ajaknya, lagi-lagi salah menilaiku. Kontras dengan ucapan idealnya barusan, dia selalu saja dia mengiraku sebagaimana dia mengira apa yang orang lain rasakan jika berada di posisiku.
“Aku tidak kesepian,” sanggahku dengan kesal. Kupasang wajah bersut ketika dia terlihat tidak menyesal karena sudah dua kali melakukan kesalahan―yang pertama adalah kalimatnya yang masih hangat di telingaku; yang kedua adalah karena dia benar menebakku. Walaupun ekspresi dan kalimatku keras padanya, aku tetap memilih untuk meraih uluran tangan itu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan hangatnya genggaman tangan seseorang.
.-.-.-.
Tidak pernah sekali pun aku mencoba berbicara dengan anak-anak panti asuhan lainnya. Mereka terlihat tidak masuk akal dan konyol―mungkin karena mereka masih anak-anak dan belum matang, namun bagiku yang tidak pernah bertingkah layaknya sepantaranku, mereka di luar rasionalku. Aku selalu menghindari mereka, walaupun terkadang satu-dua dari mereka yang masih penasaran mendekat dan tidak membiarkanku sendiri. Pada akhirnya mereka semua menyerah dan melupakanku layaknya mainan yang sudah tidak menarik lagi. Atau mungkin sebenarnya mereka hanya menuruti keinginan egoisku untuk menyendiri. Entahlah, yang mana pun, kurasa mereka tidak mugkin berpikir sekompleks itu.
Hari ini pun Kakak berpayung merah datang untuk bermain. Tingkah dan ekspresinya selalu saja kontras di mataku, seolah-olah setiap detil yang dilakukannya menjadi sebuah enigma bagi pengamat seperti diriku. Ah, mungkin lebih tepatnya eksistensinya itu sendirilah yang telah menjadi enigma bagi diriku.
Ucapannya masih terngiang dengan jelas, bergema begitu keras di dalam kepalaku. Apa motifnya, aku pun tak tahu. Dia selalu mencuri pandang ke arahku, lalu tersenyum ambigu, seolah-olah sedang mempermainkanku. Tak lama kemudian dia mendekat, mulai berbicara padaku, mengabaikan anak-anak yang dari tadi mengelilinginya. Dia duduk di sampingku tanpa permisi dan mulai mengoceh sesuka hatinya. Walau aku terlihat sangat terganggu oleh kehadirannya, aku tahu dia menyadari bahwa aku mendengarkannya dengan cermat.
Suatu waktu aku bertanya padanya, “Mengapa kau selalu menghabiskan waktumu bermain dengan anak-anak di sini?”