Yang kutahu adalah aku membencinya.
Pria itu―ayahku―aku sangat membencinya.
Sejak kecil, tidak ada satupun memori menyenangkan tentangnya. Hah! Jangankan memori―wajahnya saja tidak pernah kulihat di separuh masa hidupku. Pria itu hanya muncul ketika aku dikenalkan pada pelajaran yang mulai memiliki tingkat kerumitan, menarikku ke bawah bentang sayapnya sendiri dengan paksa, dan mengisolasiku dari teman-teman yang baru saja kukenal. Di bawah pengawasan ketatnya, aku diajari banyak hal―ekonomi, matematika, filsafat, politik, bermacam bahasa asing, dan lain sebagainya―di usia yang seharusnya belum mampu memahami kompleksitas yang tengah dihadapinya.
Dia pun banyak menuntut walau dalam diam. Tanpa sepatah kata, hanya duduk di sana memandang dengan tatapan penuh ekspektasi―mengamatiku yang susah payah berjuang mempertahankan kewarasanku layaknya hewan percobaannya. Dia tidak memujiku ketika aku melakukan sesuatu yang benar, tidak pula menegurku ketika aku melakukan sesuatu yang salah. Pun dia sama sekali tidak terlihat puas ketika aku berhasil melampaui segala tuntutannya. Dia hanya mengamati dari kursinya, memastikan entah apa yang ingin dipastikannya―tidak kurang, tidak lebih dari itu.
Kupikir mungkin dia begitu karena dia hanya menganggapku sebagai objek―bukan sebagai manusia, apalagi sebagai anaknya. Baginya setiap orang hanyalah objek yang dapat digunakannya untuk mencapai tujuannya sendiri, seperti sebuah alat. Dia yang tidak memiliki perasaan apapun pada manusia lainnya pastilah menganggapku demikian. Termasuk juga adikku, termasuk pula ibuku.
Namun dibandingkan pria itu, terlebih dari siapapun, Ibu adalah yang paling gila. Wanita itu begitu kuat―sifatnya tegas dan keras, menjunjung harga dirinya begitu tinggi, bahkan tidak kalah dari kaum pria dalam lingkar sosialnya. Sayang dia memiliki kelemahan fatal; dua titik buta miliknya yang terlalu menyusahkan adalah kepercayaannya yang terlampau rapuh dan cinta irasionalnya pada Ayah.
Sejak kecil aku tahu, Ibu tidak mempercayai siapapun. Dia akan sangat mudah mencurigai seseorang, termasuk keluarganya sendiri. Aku paham mengapa Ibu bersikap seperti itu―semakin tinggi kedudukanmu, semakin sedikit orang yang dapat kaupercaya. Walau ekstrim, kupikir itu adalah mekanisme alami untuk melindungi dirinya sendiri di dunia yang penuh dengan tipu muslihat; dan aku dapat memahaminya.
Namun begitu jika berkaitan dengan Ayah, ketidak-percayaan Ibu akan berubah mendekati paranoid. Dia akan menjadi tak terkendali jika ada seorang wanita di sekitar Ayah―siapapun itu, dengan alasan apapun juga, Ibu tidak akan mendengarkannya. Dan sekali lagi, aku sendiri paham mengapa Ibu seperti itu. Dalam pernikahan tak berdasarkan cinta, belum lagi terpaut usia yang cukup jauh, membuat Ibu selalu menderita sendirian dalam ketakutan dan cinta yang selamanya bertepuk sebelah tangan.
Sungguh aku tidak mengerti mengapa Ibu memilih mencintai pria tanpa perasaan sepertinya. Dia yang tak pernah menganggapnya sebagai manusia―bagaimana dia dapat mengembalikan cintanya? Ibu sendiri tahu bahwa ia tidak pernah dicintai Ayah. Terlebih lagi Ibu tidak pernah mempercayai Ayah dan semakin tidak mempercayainya; membuatnya hidup dalam ketakutan tanpa akhir. Lantas bukankah itu semua percuma?
Saat kutanyakan ini secara langsung pada Ibu, Ibu marah besar. Katanya lancang sekali bagiku memutuskan bahwa pernikahannya tidak memiliki arti. Katanya cintanya tidak bergantung pada perasaan Ayah padanya. Katanya ketidak-percayaannya tidak ada hubungannya dengan pernikahan maupun kehidupannya.
Egois, pikirku, dia hanya ingin memonopoli Ayah. Namun aku diam saja―rasa sakit dari tamparannya masih membakar pipiku.
Suatu hari Ayah pulang membawa seorang anak laki-laki. Setelah sekian lama menghilang, dia akhirnya kembali, membawa seseorang yang disebutnya sebagai anak-nya.
Pada hari itu, paranoia Ibu menjadi kenyataan―membuatnya semakin menggila.
Pada hari itu pula rumah ini berubah menjadi neraka di atas bumi.
Setiap hari, yang kudengar hanyalah tangisan Ibu. Amarah, kebencian, ketakutan, segalanya ditumpahkannya dalam ratapan tanpa henti―menggema begitu keras melewati koridor-koridor sepi hingga memenuhi kediaman yang luas ini. Tak lama kemudian, Ayah mengurungnya di kamar tersembunyi di ujung koridor. Kupikir akhirnya ia pun terlalu lelah untuk terus mendiamkannya seperti itu, muak dengan perilakunya yang irasional, dan memutuskan sudah terlampau cukup untuknya.
Selama kurang lebih tiga bulan, Ibu diasingkan di rumahnya sendiri. Tangis, jerit, runtukan, dan permohonannya berulang-ulang terdengar dari balik pintu kayu yang terkunci rapat, tak ada hentinya di malam maupun siang hari. Tidak butuh waktu yang lama, akhirnya Ibu menyerah dan meninggalkan kami untuk selamanya. Tidak ada yang tahu betapa besarnya beban yang dipikulnya sendirian, dalam rumah besar yang dingin dengan orang-orang tak berperasaan seperti kami, hingga akhirnya dia mati dalam ketakutan dan amarah yang terus memakannya hidup-hidup. Tidak ada yang dapat menyelamatkannya dari dirinya sendiri―kupikir hanya kematianlah yang bisa membebaskannya, satu-satunya jalan terbaik untuknya.
Di hari pemakaman Ibu, aku tidak menangis, tidak pula sanggup menatap wajahnya untuk terakhir kalinya. Aku takut melihat rupanya―takut melihat kesedihan yang membunuhnya secara langsung. Segila apapun dirinya, dia tetaplah ibuku, satu-satunya orang yang memperlakukanku bagai anaknya di masa kecilku.
Di hari itu, semua orang datang berwajah muram, kecuali Ayah yang tidak tampak batang hidungnya. Namun mereka semua seolah-olah sudah menduga ketidakhadirannya―tidak mempertanyakan, pun tidak berusaha mencarinya. Sekalipun dia adalah kepala keluarga sekaligus sebagai seorang suami yang bersumpah sehidup semati, aku merasa sedikit lega dia tidak datang di pemakaman Ibu; aku tak akan sudi jika Ibu harus melihat wajahnya, yang telah membuat kehidupannya bagai neraka di bumi, untuk kali terakhirnya.
Setelah peti matinya diturunkan ke liang lahat, semua orang berhenti membicarakannya; mereka ingin segera melupakannya. Tragedi itu ditutup rapat-rapat dan dikubur bersama jasadnya. Sejak saat itu tidak ada lagi yang dapat menyelamatkan rumah dingin nan mati ini. Semua orang saling tidak berbicara, wajah mereka muram diselimuti kabut kegelapan yang tidak akan pernah bisa dihilangkan. Mereka begitu putus asa hingga akhirnya mereka menemukan solusi; mencari kambing hitam untuk mereka salahkan. Secara cepat mereka saling tunjuk-menunjuk, mengorbankan yang paling lemah di antara mereka, sebelum akhirnya target sempurna segera ditemukan: anak itu.
Dia yang selalu diam tidak akan pernah bisa membela dirinya dari pandangan kebencian. Beban yang dipikulnya akan sangat besar, mampu meremukkan tubuh kecilnya hingga tidak bersisa. Aku sendiri tidak menyalahkannya, pun aku tidak mengasihaninya; setidaknya jika dia berusaha untuk membela diri walaupun sia-sia, mungkin aku akan mempertimbangkannya. Aku membencinya karena dia bergeming dan menerimanya begitu saja, seolah-olah sudah tidak ada hal lain yang dapat dilakukannya untuk memperbaiki segalanya.
Suatu waktu Stefan datang kepadaku dan bertanya, “Tidakkah itu keterlaluan membuatnya menghadapi semua ini sendirian?”
Kujawab dia dengan, “Tidak ingatkah kau apa yang telah kita jalani selama ini?”
Dengan itu dia bungkam, tak lagi datang dan mengeluh padaku. Aku tidak mengerti mengapa Stefan begitu bersimpati padanya―padahal anak itu sendiri tidak mau berusaha. Mungkin karena dia selalu berada di bawah bayanganku, seharusnya Stefan menyadari bahwa apa yang pernah dialaminya jauh lebih buruk dari anak itu.
Seharusnya dia tidak mengasihaninya.
Seharusnya anak itu bisa melampauinya.
Seharusnya ....
Seharusnya ....
Seharusnya ....
Entah mengapa diriku ini perlahan berubah seperti pria itu―terus menuntut, berekspektasi hal yang tak mungkin, memandang segalanya harus sesuai dengan pikirannya. Aku membencinya dan memutuskan untuk tidak menjadi sepertinya; tapi lihatlah diriku saat ini! Kurasa memang benar aku adalah anaknya―darah yang mengalir darinya terlalu kental dalam diriku hingga aku merasa muak karenanya.