Jika membicarakan tentang Parcho, manusia dari NTB. Gue jadi teringat waktu itu, beberapa bulan yang lalu, yang gue lupa tepatnya kapan, tapi yang gue inget, gue masih punya sumber untuk memperoleh uang dengan jaminan agunan cinta, dari si Fera. Iya si Fera anak Lurah. waktu itu masih siang, bukan sore apa lagi malam. Gue lagi duduk manja di bangku bawah pohon mangga, nyeruput kopi sambil ngerokok. Pikirkan deh, gimana caranya nyeruput kopi dan menghisap rokok di waktu yang bersamaan.
Parcho yang kamar kosnya berada di bangunan sebelah rumah gue itu datang dengan wajah dilipat. Mungkin lagi terkena syndrome keong sariawan, tapi gue gak yakin. Tanpa permisi, si Parcho itu duduk di samping gue. Karena otak gue memerintah untuk menanyakan gerangan apa yang membuat wajahnya yang gak tampan itu cemberut, alhasil gue bertanya.
"Kenapa cho?,"
"Saya punya uang 20 ribu, tapi saya orang pengen beli itu bakso Parmin dan Rokok satu bungkus," katanya lesu.
"Ya terus masalahnya apa cho? Tinggal beli aja apa susahnya?," Jawab gue sambil mengangkat kaki kanan ke atas bangku.
"Masalahnya saya punya uang tidak cukup Tar. Ini uang hanya 20 ribu. Kalo saya membelikan ini uang untuk bakso yang harganya 10 ribu, rokok tidak terbeli, begitupun sebaliknya,"
Ah, pucuk dicinta, Parcho pun tiba. Ide brutal pun muncul dari kepala.
"Sini uangnya,"
"Buat apa? Mau kamu pinjam saya punya uang?," Tanyanya sedikit kaget.
"Enggak lah, mau bakso sama rokok kan?."
"Iya."
"Yaudah sini makanya. Lekas lah. Lama sekali kau," kataku menirukan logat medan. Padahal awalnya ingin meniru cara berbicara si Parcho.
Tanpa bertanya lagi, Parcho memberikan uang 20 ribu nya itu ke gue.
"Lo tunggu disini."
Setelah Parcho mengangguk yang tandanya siap gerak, gue langsung berjalan menuju pangkalan si Parmin. Melewati rumah Sevi, dan tiang listrik. Pangkalannya berada di sebelah selatan rumah gue, yang jaraknya hanya 50 meter. 50 meter 49 senti. Hanya dengan waktu 3 menit, gue sampai di pangkalan.
"Min, gue mau minta tolong sama lo," gue memasang wajah memelas, setelah sebelumnya menarik nafas panjang.
Si Parmin yang sedang duduk itu mengangkat wajahnya lalu menatap gue setelah menekuk dahinya "minta tolong opo?," (Opo=apa)
"Lo tau kan si Parcho?," Tanya gue pada Parmin.
Parmin mengangguk sambil tetap memandang gue.
"Ck.. kasian dia min, laper pengen makan. Tapi gak punya duit," gue menjelaskan sambil ikut duduk di sebelahnya.
"...."
"Kayanya lo harus beramal biar pembeli lo rame Min," lanjut gue.
"Beramal gimana maksud elo?," Tanya nya dengan logat jawanya yang kental.
"Iya, jadi lo kasih gih si Parcho satu bungkus bakso, Insya Allah dagangan lo laris min,"
Si Parmin terlihat seperti berpikir. Gak tahu mikirin apa, yang jelas bukan mikirin soal cinta. Tapi soal satu porsi bakso yang harus ia lepas dengan cuma-cuma. Belum saja si Parmin menjawab, ada ibu muda yang menggendong anak kecil, dan kemungkinan besar anak itu adalah hasil diskusi panjang semalaman dengan suaminya, datang ke pangkalan ini.
"Bentar," kata si Parmin ke gue sambil berdiri, lalu menghampiri si ibu muda. Ah benar saja, ibu muda itu akan membeli baksonya si Parmin, maksud gue dagangannya, bukan baksonya yang lain.
Setelahnya Parmin kembali berjalan ke arah gue dan duduk. Handuk kecil ia usap ke pelipis dan pipinya. Lalu menjulurkan lidah dan menariknya lagi.
"Kenapa min?."
"Huh.. Sumuk," (sumuk=gerah)
"Nah min, kerasa sendiri kan, di dunia segini panasnya, apalagi di neraka min, makanya sedekah itu bisa jadi penolong min," gue berkata seperti itu sama Parmin. Karena dirasa gerahnya dia adalah kesempatan manis untuk gue.
Parmin manggut-manggut seperti santri yang sedang di beri wejangan oleh kyainya.
"Yowis, tak buatin satu. Demi amal ibadah." Akhirnya si Parmin menyetujui meskipun terlihat gurat ragu diwajahnya.
Setelahnya, si Parmin memberikan satu kresek berwarna hitam yang isinya satu bungkus bakso.
"Nih, semoga jadi pahala untuk gue ya Tar."
Ah itu dia si Parmin yang ingin beramal di siang ini dengan merelakan satu bungkus baksonya demi perut si Parcho. Lalu karena saya ingat, uang 20 ribu itu gue tukar dengan sebungkus rokok gudang garam yang harganya 18 ribu. 2 ribu nya, gue sumbangin buat yang punya warung, biar dia cepat kaya, dan Parcho akan puas.
***
Lo lihat, gue udah sampai di halaman rumah dengan Parcho yang menanti disana.
Wajahnya yang dilipat berubah bersinar ketika tahu gue membawa apa yang dia idam-idamkan.
"Nih cho, bentar gue ambilin dulu mangkuk sama air minum,"
"Wih, baik sekali kamu jadi orang Tar. Takut jadi merepotkan saya."
Dua hari kemudian..
Gue mau ke rumahnya Sevi siang itu. Baru aja sandal mau dipakai, Parcho memanggil gue dari sebrang yang segera mendekat untuk mempersingkat jarak.