Livskamp

Andhika Rivani
Chapter #2

Escape Room

Dua tahun lebih sudah berlalu sejak aku bertemu Kirana untuk pertama kalinya. Ya, aku bertemu dengannya saat di tahun-tahun terakhir kuliahku.

Aku ingat semester-semester akhir kuliahku yang cukup berantakan waktu itu, dimana semua saat itu seperti berjalan diluar rencanaku, semua yang aku bayangkan berjalan baik malah berjalan diluar semestinya. Namun, justru ditengah-tengah kekacauan waktu itu aku menemukan seseorang yang kemudian menjadi semangatku, Kirana.

Ingatanku berputar kembali ke masa-masa kuliah dulu, lebih dari dua tahun lalu, saat dimana aku menjalani tahun terakhir kuliahku yang ternyata semuanya cukup diluar rencana.

Dua tahun dua bulan yang lalu….

“Gimana proposal skripsimu bro? Udah di acc sama Bu Atik?” Tanya Fandi, salah satu teman kampusku.

“Hhhhhh….. gak bagus nih, udah bimbingan ke lima masih aja ada revisinya," jawabku.

”Emang lagi sial sih lo, bisa-bisanya dapet dosen pembimbing Bu Atik, dia kan sibuk, jadi susah ditemuin," kata Fandi lagi.

“Iya nih, lagi apes, jadi bikin males mikirin skripsi,” balasku.

“Tapi lo sendiri juga susah sih, Bu Atik kalau diturutin maunya bakal lebih gampang acc nya, Lo idealis sih, mau tetep maju pake idealisme lo,” Audrey, teman kampusku yang lain menimpali.

“Gimana lagi, aku males kalau nurutin dia ke metode analisis isi, enggak cocok kalau ngerjain penelitian kuantitatif, cuma analisis data doang," aku mencoba membela diri.

“Ya udah kalau begitu nikmatin aja haha…” ledek Fandi.

“Udah ah, aku balik dulu, bukannya pada nyemangatin pada, malah ngecengin doang,” ujarku sembari berdiri dari tempat dudukku dan melangkah pergi.

Salah satu hambatan dalam dunia perkuliahanku saat itu adalah skripsi. Ya, Skripsi! 

Kehidupan perkuliahanku terbilang lancar, sangat lancar malah. Semua teori sudah aku lahap habis tanpa ada satu mata kuliah pun yang aku ulang. Aku menyelesaikan semua mata teoriku dengan IPK total 3,75, lumayan bukan? 

Oh ya, sebagai catatan aku berkuliah di salah satu Universitas di kota Yogyakarta. Aku memang bukan seorang mahasiswa yang aktif di organisasi kemahasiswaan, namun aku cukup aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) musik, yah, hal ini tak lepas dari hobiku bermain musik.

Secara umum, kehidupan kampusku menyenangkan, namun mendekati tahun-tahun terakhir masa kuliahku, semua terasa mulai berbeda. Seakan aku disentil oleh Sang Pemutar Roda Kehidupan agar terbangun dari kehidupan nyamanku dan lebih merasakan sedikit kesulitan dalam hidup ini. Mulai titik ini, berbagai urusan kuliahku perlahan mulai terhambat.

Semua dimulai saat aku harus menjalankan program magang kerja. Mulai di titik inilah aku mulai merasakan hambatan itu. Aku merasakan betapa susahnya menemukan tempat magang secara mandiri.

Di kampusku saat itu, salah satu mata kuliah wajib di Semester akhir adalah mengambil mata kuliah job training atau magang kerja. Mahasiswa diwajibkan mencari tempat magang secara mandiri untuk melakukan kegiatan magang selama tiga bulan. Kriteria perusahaan dibebaskan asal sesuai dengan disiplin ilmu yang diambil.

Sebenarnya ada banyak perusahaan yang bisa aku tuju, namun semua terseleksi karena egoku sendiri saat itu. Well, aku lupa bilang, aku adalah seorang yang idealis.

Aku menganggap program magang saat kuliah ini menjadi suatu pijakan untuk kehidupan kerjaku setelah lulus kuliah nanti. Berdasarkan pemikiran itulah aku memberi batasan pada pilihanku sendiri untuk hanya mengajukan proposal magang pada perusahaan besar dengan harapan setelah masa magang berakhir, perusahaan bakal memberiku kesempatan kerja lanjutan di perusahaan tersebut setelah aku lulus nanti, karena aku yakin kinerjaku pasti akan memuaskan.

Dan berdasarkan idealisme yang naif dari seorang mahasiswa yang belum kenal kejamnya dunia kerja waktu itu, satu semester terbuang percuma tanpa aku bisa mendapatkan perusahaan tempat aku magang.

Ujung-ujungnya aku mengajukan proposal di perusahaan kecil milik salah satu kenalanku dan berhasil menyelesaikan mata kuliah magangku di semester depannya. Yah, ujung-ujungnya aku menyerah juga dari idealismeku saat semesta sudah tidak mendukungnya.

Kini, saat aku mulai mengerjakan skripsiku, saat aku sudah berada di menit-menit akhir perjuangan kuliahku, hal yang sama kembali terjadi. Lagi-lagi Sang Pemutar Roda Kehidupan seakan tak memberiku kupon kemudahan bagi kehidupan kuliahku lagi. Dari banyaknya dosen pembimbing yang tersedia, yang aku dapatkan adalah Bu Atik. Well, sebenarnya beliau adalah dosen yang bersahabat, namun beliau adalah dosen yang terkenal sangat sulit ditemui karena kesibukannya.

Dan lagi-lagi walaupun sudah tahu mendapat seorang dosen pembimbing yang sulit ditemui, egoku kembali berulah. Bukannya menuruti arahan sang dosen pembimbing untuk mengikuti metode penelitiannya, namun aku kembali terjebak dalam idealismeku untuk menjalankan skripsi sesuai yang aku inginkan. 

Semua karena egoku, lagi, karena aku beranggapan jika nanti aku akan lebih mudah mengerjakannya jika menggunakan metode yang aku inginkan.

Ujung-ujungnya bisa ditebak kan bagaimana arah cerita ini berjalan?

Tentu saja proposal skripsiku belum berhasil di setujui juga oleh dosen pembimbingku, dan masalah ini yang perlahan membuatku malas untuk menyentuh skripsiku dan di sinilah perlahan waktuku terbuang sia-sia.

-----------------

“Drrtttttt……….. drrrrrttttttttt…..drrrrrtttttttttttt," dering hp membangunkanku dari tidurku dan memaksaku untuk mengangkat telepon.

“De, ntar sore jangan lupa bawa efek gitar aku ke Bergen ya!” Ucap suara Rian, salah satu teman bermusikku di balik telepon.

“Iya… iya… masih ntar sore kan, masih lama," jawabku masih dengan suara malas orang baru bangun tidur.

“Kalo gak diingetin ntar kamu lupa De!” Ujar Rian lagi.

“Tenang, udah aku taruh di casenya tuh, tinggal bawa aja, enggak akan lupa,” bantahku.

Bergen adalah nama sebuah café tempat aku dan teman-temanku sering mengisi live session musik di sana. Sudah enam bulan ini aku rutin menjadi pengisi live musik di sana.

Bergen sendiri adalah café milik Gary, salah satu kawan kampusku yang dulu juga sempat aktif di UKM Musik. Gary sendiri yang menawariku dan beberapa temanku untuk mengisi live musik setiap hari Selasa, Kamis, dan Weekend. Dan tentu saja, bagiku yang sedang menggangur karena malas mengerjakan skripsi, ini adalah tawaran yang menarik untuk mengisi kegiatan di hari-hariku yang luang.

Matahari sudah berada di ujung barat dan hari sudah mulai gelap saat aku tiba di Bergen sore itu. Dengan membawa gitar Yamaha ku, aku melangkah masuk ke café yang sudah cukup ramai petang itu. Dari jauh aku melihat teman-temanku sudah pada berkumpul di salah satu sudut café, Ada Gary, Rian, Yosef, Bella, Ari, Zul, dan Lisa. Sepertinya aku termasuk yang paling terakhir datang.

Bergen memang café yang tergolong masih baru, namun belakangan tempat ini cukup ramai dan menjadi salah satu tempat para mahasiswa jogja untuk sekedar nongkrong, atau tempat singgah untuk mengerjakan tugas kuliah, yah mungkin karena tempatnya yang cukup eyecatching dan ada wifii yang cukup kencang, dua faktor penarik utama mahasiswa untuk datang.  

Gary menamai café ini Bergen, terinspirasi dari nama salah satu kota di Norwegia. Katanya itu adalah salah satu tempat yang ingin dikunjunginya paling tidak sekali seumur hidupnya. Bergen adalah kota yang indah katanya, setidaknya kalau aku membuka Google, yang aku temukan memang foto-foto kota yang cukup cantik, yang terletak di semenanjung Norwegia, sebuah kota di pinggir laut yang dibelakangnya terdapat pegunungan. Yah kalau melihat foto-foto di Google sih aku juga jadi pingin ke sana suatu hari nanti, apalagi Norwegia juga merupakan negara salah satu musisi favoritku, Kings of Convenience.

“Hallo Bergens semua!” Seruku.

Bergens, sebutan ini yang kami ciptakan untuk komunitas kecil kami, mantan anak-anak UKM seni yang kini pindah basecamp bermusik di Bergen.

Lihat selengkapnya