Livskamp

Andhika Rivani
Chapter #3

Sign Language Class

Sore itu hujan baru saja berhenti, menyisakan wangi tanah yang menciptakan sekeping rasa rindu, begitu yang dibilang para penyair. Aku pernah membaca bahwa tiap turun hujan, dia akan membawa setitik rasa rindu. Ah… tapi itu hanya kata mereka saja yang ingin membuat hujan terlihat lebih estetis. Bagiku, hujan hanya membawa rasa malas, malas keluar rumah dan yang ada cuma rasa ingin tidur. Lagipula jika rasa rindu itu datang, untuk siapa dia akan berlabuh?

Aku suka hujan, tapi hanya saat aku tidak ada rencana kegiatan, saat sebaliknya, aku jadi sangat membenci hujan. Ahhhh…. sore hari ini akan sangat indah jika bukan karena Bella memaksaku ikut pergi ke kelas Bahasa isyarat. Sempat terpikir untuk membatalkan janji dan tak jadi ikut serta, namun kata-kata Bella seakan membuatku tak memiliki pilihan.

“Boleh aja sih gak ikut, tapi aku gak bakal tanggung jawab ya kalau pandangan Tania sama kamu jadi berubah. Kamu pikir cewek bakal tertarik sama cowok yang suka batalin janji?” Satu kalimat panjang dari Bella yang cukup membuatku jatuh dalam kondisi dimana aku tak memiliki pilihan lain.

Mau bagaimana lagi? yah, walaupun salah satu sisi dalam sudut otakku berusaha mengacuhkan perasaanku dari seorang Tania, namun, di sisi lain diriku yang lebih sentimentil, rasa tertarik pada Tania masih terdiam disana. Menghuni satu ruang kecil di sudut hatiku.

Dengan rasa malas aku mengambil handuk dan beranjak pergi ke kamar mandi. Sekilas aku melihat keadaan di luar sana, gerimis tipis masih turun, ditemani tiupan angin tipis yang terasa menyusup dari celah-celah kisi jendela. Beberapa motor terlihat lalu lalang melewati jalanan depan kosku yang basah, lengkap dengan jas hujan yang terpercik lumpur dan cipratan air di jalanan.

“Haaahhhh…. ini nih yang bikin malas, mau tampil oke di depan Tania juga percuma, celana jadi bakal basah sama kotor kena becekan air hujan di jalan," gumamku sambil membayangkan kondisiku setelah perjalanan nanti.

Tapi, ya kembali lagi, tak ada pilihan buatku di sini. Kutepiskan rasa malasku dan bergegas melangkah untuk mandi dan bersiap-siap.

“Wah tumben nih mau datang beneran, padahal cuacanya kaya gini? Haha…” Bella meledekku saat dia melihatku sudah sampai didepan kosnya. Bella keluar dari kosnya mengenakan blazer abu-abu dan celana panjang empat per lima yang berwarna gelap. Rambut panjangnya dia ikat simple dibelakang. Tubuh Bella yang ramping dan lumayan tinggi membuatnya hampir tak pernah mengenakan sepatu berhak tinggi.

Bella memang sudah mengenalku dengan baik. Diantara anak-anak Bergens sendiri, memang hanya Bella yang paling mengenalku. Bella yang paling tahu sifatku yang susah mengekspresikan sesuatu. Dia juga pasti menjadi yang paling pertama tahu saat aku ada masalah, di saat orang lain mengira aku baik-baik saja, karena sifatku yang suka memendam masalah sendirian.

Kami sudah satu kelas dari awal semester pertama, dulu kos kami berhadap-hadapan sampai dengan kami semester empat, yang berarti hampir dua tahun lamanya. Kami sama-sama mengambil jurusan kuliah yang sama, konsentrasi yang sama, dan juga aktif di UKM yang sama.

Di semester-semester awal dulu banyak yang mengira aku dan Bella berpacaran karena kemana-mana selalu berdua, mulai dari berangkat kuliah, kegiatan UKM, bahkan jalan-jalan keluar pun juga berbarengan. Tapi aku tegaskan, kami sama sekali tidak pernah berpacaran. Diluar fakta bahwa Bella memiliki pacar yang berkuliah di Bandung yang masih langgeng sampai sekarang, aku sama sekali tidak tertarik secara perasaan dengannya.

Bella adalah teman sharingku. Teman sharing berbagai macam hal, mulai dari masalah kuliah, teman-teman, musik, hingga masalah-masalah pribadi. Kedekatan inilah yang mungkin membuat kami memiliki chemistry yang kuat saat manggung berdua. Apakah itu yang disebut sahabat? Oh ayolah, mungkin aku dan Bella lebih tepat disebut musuh bebuyutan, yang selalu berdebat tentang berbagai hal. Haha….

“Udah gak usah ngejek. Ayo buruan berangkat, ntar hujan lagi!” Jawabku ketus. Aku tahu dia akan langsung memperolokku, dan aku malas memperpanjang percakapan karena hanya akan memberi kesempatan untuk Bella mengejekku lebih banyak lagi.

“Iya… iyaaa… wah Tania bakal makin kagum nih sama mas Alde. Hahaha….” Goda Bella lagi.

Aku diam saja, tak mau menanggapi godaanya.

“Kok diem aja mas Alde? Gak usah malu-malu gitu ah, muka kamu merah lho mas, Hahaha….” Bella seakan puas sekali menggodaku sore itu, namun tetap tidak mau aku tanggapi, malah akan makin menjadi nanti.

Hal yang aku takutkan, yakni hujan yang kembali turun, untungnya tidak terjadi selama perjalanan kami sore itu. Tania sudah sampai di lokasi saat kami tiba. 

“Haiii Tannn… udah lama nunggu?” Tanya Bella menyapa Tania yang sedang duduk di lobi kampus.

“Enggak Bell, aku juga barusan nyampai kok, paling baru sekitar sepuluh menitan," jawab Tania.

“Wah senengnya, Alde jadi ikut beneran nih. hehe….” Tania berpaling ke arahku dan tersenyum manis ssekali.

Tania nampak cantik sekali sore itu walau hanya memakai T-shirt di balik outer warna biru Navy dan celana panjang jeans dengan warna senada. Riasan tipis tidak melunturkan kecantikannya, malah lebih memancarkan kecantikan naturalnya. Dan wow… aku harus mengakui, aku benar-benar terpukau oleh auranya.

“Iya… kayanya menarik sih," jawabku singkat sambil menyembunyikan rasa terpesonaku.

“Masa sih? tadi bilangnya males ikut bukan awalnya?” Bella tiba-tiba nyeletuk yang langsung aku balas dengan pelototan mataku ke arahnya.

“Kamu sendirian Tan?” Tanyaku sambil mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku harap Tania tidak menghiraukan celetukan Bella barusan.

“Enggak, tadinya sih sama temen kampusku yang kemarin berangkat bareng kesana juga, tapi ternyata mereka mendadak gak bisa soalnya harus ketemu dosen pembimbing. Dan dari tadi pagi sampai sekarang belum kelar-kelar juga,” cerita Tania.

Oke, terima kasih Tania, aku jadi teringat dengan proposal skripsiku yang terbengkalai di dalam laci lemari kosku.

“Jadinya aku hari ini cuma ditemenin sama pacar aku, si Ucup. Lagi beli rokok dia,” tambah Tania.

EH….???

Tadi dia bilang pacar? Aku tidak salah dengar kan? 

“Tan….. kamu punya pacar? Kok kamu gak pernah cerita?” Bella seakan tahu apa yang ingin aku tanyakan namun tak bisa aku tanyakan.

“Punya… hehe….dia dulu mantan aku, sempet putus setahunan, terus balikan lagi, baru dua minggu ini kita balikan. Aku gak pernah cerita ya?” Wajah Tania tampak berseri-seri menceritakan hubungannya yang kembali tersambung.

“Iya Tan… kamu gak pernah cerita sih… tapi aku ikut seneng dengernya lho,” Bella masih tampak kaget mendengar cerita Tania dan kemudian menatap kearahku dengan tatapan yang salah tingkah.

Kami saling berpandangan, dan ya aku tahu… raut wajah Bella yang seakan mengatakan,“ Sorry, rencanaku gak berhasil…” tergambar jelas di garis mukanya.

“Nah itu dia datang! Cuuuupppp, Kenalin nih, temen-temenku main musik di Bergen! Hehe…” Teriak Tania pada seorang pemuda yang tampak berjalan kearah kami. Seorang pemuda yang tinggi dengan rambut panjang yang dikuncir dan tersenyum ramah ke arah kami.

“Ohh hai… salam kenal ya, aku sering diceritain Tania tentang Bergens, nanti kapan-kapan boleh dong ikut gabung. Hehe…” Lelaki yang aslinya bernama Yusuf itu memperkenalkan dirinya kepada kami. Impresi awalnya sih bagus, dia terlihat ramah dan supel. Seseorang yang mengasyikan jika ada di tongkrongan. Tapi jika ingat jika dia adalah pacar Tania, rasanya aku ingin menjauh saja dari kondisi ini. 

Ahhhh….. terus untuk apa aku ada di sini? Aku benar-benar sudah kehilangan semangatku untuk meneruskan acara ini. Namun karena sudah terlanjur basah, ya sudah lanjut saja, lagian tak mungkin juga aku meninggalkan Bella begitu saja.

“Yuk kita langsung berangkat aja, nanti keburu mulai kelasnya," ajak Tania kepada kami yang dijawab dengan anggukan.

“Alde, kalo misal mau batal gak apa-apa lho, kita melipir aja kemana gitu, nanti aku yang bilang ke Tania," bisik Bella di tengah perjalanan kami. Aku tahu mungkin dia tak enak juga padaku karena perkembangan situasinya benar-benar jauh dari pandangan awal kami.

Lihat selengkapnya